Bab 1

1.2K 164 9
                                    

"Lah cah ayu.. kados pundi kabaripun? Kok empun lami mboten nate mriki?" (anak cantik.. bagaimana kabarnya? Lama tidak kesini?)

Mitha tersenyum, sembari berbisik, "Coo..viid.."

Bu Mirah pun bereaksi, dengan membentuk bibirnya membulat seperti huruf O.

Sudah hampir dua bulan, Mitha tidak berkunjung ke tempat makan favoritnya itu, gudeg bu Mirah. Biasanya dalam seminggu, Ia bisa berkunjung kesana 4-5 kali. Menurut lidahnya, gudeg itu berbeda dari yang lain, rasanya memang manis khas makanan Yogyakarta, tetapi bumbu rempahnya lebih light dan tetap sedap untuk lidahnya, terlebih lagi tempatnya.

Iya, tempatnya sangat nyaman, tenang, meskipun keluar masuk beberapa orang membeli, tetapi Mitha punya tempat tersembunyi untuk menikmati gudeg favoritnya itu.

Gudeg bu Mirah masih terletak di dalam area Benteng Keraton.

Apa bu Mirah itu Abdi Dalem?

"Cah ayu.. kados pundi? Punapa sampun angsal jodoh sampeyan?" (Anak cantik.. gimana? Apa sudah ketemu jodohnya?)

"Aduh bu.. ingkang wonten kula keparing covid. Estu empun ketingal tuwo sanget nggih kula bu? Sudah buanyaak orang nanyain jodoh terus." (aduh bu.. yang ada saya malah ketemu covid. Emang bener aku udah kelihatan tua banget ya, Bu?)

Bu Mirah tertawa, "Lah kula kan remen taken kabaripun sampeyan. Sampun pinten setunggaling sampeyan dados pelanggan kula? 8 warsa nggih, puniku lami banget.." (Lah, saya kan suka nanya kabarnya mbak Mitha. Sudah berapa lama mbak Mitha jadi pelanggan saya? 8 tahun ya, sudah lama itu..)

Mitha sudah hidup di kota itu selama hampir 8 tahun, Ia kuliah di salah satu PTN di kota gudeg itu dan mendapat pekerjaan disana. Entah, mungkin saja memang rezekinya ada disitu.

Setelah lulus kuliah selama 4 tahun, Mitha mendapatkan pekerjaan, berawal sebagai admin kredit disalah satu bank BUMN di kota tersebut. Meskipun Ia harus melawan rindu karena berjauhan dari keluarganya, tetapi prinsipnya tidak pernah lepas untuk bisa mandiri. Membeli segala kebutuhannya sendiri, tanpa harus menggantungkan keluarganya.

Di tahun keempat pada pekerjaannya, Mitha terbilang cukup dalam hal materi untuk kehidupannya sendiri. Beruntungnya orang tua Mitha tidak membebankan biaya untuk merawat mereka, alias Mitha bukan golongan generasi sandwich, karena Ayah Mitha masih bekerja sebagai wiraswasta bidang ternak. Dengan mandirinya, Mitha justru Ayah dan Ibunya masih seringkali mengiriminya uang bulanan karena takut putrinya itu hidup kekurangan.

Usia 28 tahun memang sudah tidak muda lagi, bagi standar perempuan di Indonesia, angka kritis kalau kata orang, yang sudah dari sananya membuat standarisasi sendiri. Padahal semua tidak harus terukur dengan angka.

Apalah arti sebuah angka? Menurut Mitha yang penting adalah pencapaian hidup, entah di usia 40 tahun, 50 tahun, orang masih bisa terus berjalan, sampai menemui pencapaian hidupnya.

Apa yang belum Mitha raih di usia saat ini? 

Iya-iya, jodoh, aku adalah si jomblowati..

"Ya sampun padosaken kula jodoh bu." Jawab Mitha ke Bu Mirah. (Ya sudah, cariin saya jodoh Bu.)

"Leres? Saestu?" (Benar? Sungguhan?)

Mitha mengangguk.

"Menawi kados puniku saranipun kula tetep sami kalih ingkang rumiyin, sampeyan dengan mas Rana." (Kalau begitu, saran saya, masih tetap sama seperti dulu, mbak Mitha dengan mas Rana..)

****

8 tahun yang lalu

"Mit.. gudeg yuu."

Favorite (Food) PlaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang