☾
"Aku pernah mendengar kalau Tuhan juga memiliki manusia favorit." Menopangkan dagu pada kepalan tangan, mendecakkan lidah dan menggeleng takjub, gadis itu melirik sang kawan yang berwajah semasam lemon. "Mereka berdua pasti salah satunya. Kau pun pasti sudah menyelamatkan sebuah negara di kehidupanmu sebelumnya, bukan?"
Kanna memperhatikan kawannya lekat sebelum melemparkan senyum sepat. Kalau memang ia pernah menyelamatkan sebuah negara, gadis itu jelas tak akan pernah dipertemukan dengan si kembar. Tidak di rumah dan tidak di sekolah. Namun, lihat apa yang terjadi sekarang. "Aku malah merasa kalau sudah membebaskan delapan lusin kriminal dari penjara."
Lilith tak mendengarkan. Ia memiliki bakat untuk tak menggubris apa yang tak ingin didengarnya dan Kanna acapkali merasa dengki karena tak bisa melakukan hal serupa. Gadis bersurai pirang dengan sepasang mata sebiru lautan tersebut dengan mudah kapabel dalam mengabaikan mereka yang membencinya, memusatkan perhatian kepada yang menyukainya; dan dengan cara sesederhana, tetapi sulit dilakukan, secara persentase, ia mungkin dapat dinobatkan menjadi warga desa paling bahagia yang pernah ada. Terkekeh-kekeh, Lilith menyahut kalem, "Jantungku bisa berhenti berfungsi jika memandang mereka terlalu lama."
"Kau menyukainya?"
"Maksudnya suka yang benar-benar suka?" Ia menggeleng. "Aku hanya mengagumi wajah cantik dan tampan. Namun, meski sudah terseret kemari, menurutmu, keduanya memiliki kekasih di Seoul sana, tidak? Maksudku, sedikit sekali orang tampan yang tetap menyendiri." Menggulirkan netra pada Kanna, ia tersenyum miring jahil. "Kau sama sekali tak ingin tahu?"
"Tidak."
"Ayolah."
"Memang tidak."
"Kenapa?" Gadis tersebut menaikkan satu alis, mendesak begitu ingin tahu saat menuding curiga. "Sesuatu terjadi, ya?"
"Kenapa kau jadi tajam sekali kalau bukan soal pelajaran sekolah?"
Lilith tersenyum penuh kemenangan. Jadi benar. "Manusia, kan, diciptakan dengan kekurangannya masing-masing."
Ya ampun. Memalingkan pandangan, menemukan Jungkook tengah tertawa dan melemparkan senyum hangatnya pada semua orang untuk menyapa (mereka datang menghampiri bak sekumpulan domba yang digembala anjing, sebetulnya), Kanna mengembuskan napas. Taehyung sendiri konsisten setengah menelungkup di meja dengan kepala dimasukkan ke tas untuk menghindari konversasi, berpura-pura terlelap dengan sang saudara yang berkata menutupi: "Kelelahan," katanya. "Perjalanan dari Seoul dan semua persiapan yang harus dilakukan agak memakan banyak energi."
Para gadis bergemuruh. "Wah, cara bicaranya saja keren sekali."
Kanna mendadak ingin mencebik. Tunggu saja sampai mereka menghina kimchi buatan ibumu dan berkata betapa menyedihkannya dirimu. Namun, mereguk kembali kalimatnya, ia lantas menyahut tak habis pikir, "Terkadang aku heran sekali dari mana kau mendapatkan energi sebanyak ini untuk mengoceh."
Lilith merengut. "Tidak menjawab pertanyaanku, tahu."
"Tidak ada yang terjadi." Ia menarik napas panjang, mengeluarkan kotak pensil dari dalam tas, menggeleng yakin. Mencari tahu hanya akan memberikan informasi yang tak diinginkan. Kalau sudah demikian, salah-salah, daripada merasa jengkel atas perlakuan yang si kembar lakukan, ia malah akan merasa iba. Hal tersebut jelas tak terdaftar dalam segelintir hal yang Kanna sukai. "Aku cuma memang tidak mau tahu."
"Kau ini agak-agak lesbian, ya?"
Kanna terkekeh-kekeh meledek. "Kalaupun iya, seleraku bukan kau, Jelek."
"Eiy, mana mungkin. Semua orang doyan aku." Lilith hampir mengatakan sesuatu kalau saja tak menyadari sesuatu, terdiam sesaat, lalu merendahkan nada bicara pada satu sekon kemudian. "Ini mungkin perasaanku saja atau memang yang satu itu memandangimu penuh kebencian?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lagrange Point
Fanfic"Seseorang baru saja membeli rumah kosong di sebelah rumah, lho," ujar Mama pada suatu hari, menarik napas simpati, lalu melanjutkan hati-hati, "Dari kabar yang Mama dengar, katanya mereka berasal dari keluarga kaya raya yang sekarang sudah jatuh ba...