Kaca III.

30 5 0
                                    

        "Nakula! Aku bawain kamu es krim!" Sebulan setelah insiden kecerobohan Nakula, kini anak-anak kecil itu bermain layaknya bagaimana mereka sering bermain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

        "Nakula! Aku bawain kamu es krim!" Sebulan setelah insiden kecerobohan Nakula, kini anak-anak kecil itu bermain layaknya bagaimana mereka sering bermain. Tetapi, Nakula kini seringkali bercerita dan lebih cerewet daripada sebelumnya. Ia menjadi lebih dekat dengan Hiel, dan selalu membuat Hiel tertawa, seolah tak ingin Hiel menangis lalu keluar setetes air mata pun.

"Wuah, makasih banyak! Oh, omong-omong aku mau cerita deh," ungkap Nakula sembari mengambil alih es krim dari tangan Hiel. 

Hiel yang tampaknya merasa tertarik pun segera mendudukkan dirinya ke lantai sembari memakan es krimnya. "Apa tuh? Ngga yang 'kemarin' kan?" Nakula menggeleng cepat, ia mengulum bibirnya sejenak sebelum berbicara. "Kenapa Nakula selalu ngerasa kurang, ya? Kayak nya Hiel juga ngerasa gitu ke aku."

Netranya menatap Nakula lekat, "Engga kok. Nakula keren, hebat, terus bikin ketawa juga. Tapi kalo kurang was-was iya, kamu kan ceroboh banget!" goda Hiel yang membuat sang empu menggaruk alisnya, malu.

"Ya udah deh semisal gitu, tadi kamu tau ngga? Kemarin pas tidur, Nakula hampir dicium sama cicak tau! Untung nya meleset sih." Hiel tertawa lepas, membayangkan betapa jijiknya Nakula ketika dihinggapi cicak, di mana Nakula sangat benci dengan cicak.

"Kamu sih, mau tidur tuh liat-liat langit kamar nya. Semisal ada cicak, ukur dulu pakai jari kalau jatuh beneran jatuh ke tempat kamu atau nggak, gitu." Saran dari Hiel betul-betul didengarkan baik oleh Nakula, namun Hiel hanya menahan tawanya, "Masuk akal, oke deh!" 

Keduanya menikmati sore itu dengan tenang, memakan es krim bersama di teras. "Hiel, kalo semisal Nakula pergi terus hilang, kamu tulis ya apa yang kamu rasain tiap hari di buku diary," ujar Nakula yang membuat si lawan bicara menautkan kedua alisnya.

"Tadi baru aja geleng-geleng ngga ngomongin itu, ngga nanyain itu. Kenapa sekarang nanya lagi, sih?" Nakula mengalihkan pandangannya ke kolam ikan, "Cuma bilang, kok. Biar nanti Nakula ngga lupa, Hiel kan tau Nakula ceroboh, pelupa lagi," jawab Nakula.

Alasannya selalu beda.

"Cih, iya-iya. Hiel catet saran-saran kamu di buku catatan Hiel, khusus Nakula. Dari yang Nakula bilang ngga boleh lupa buat kasih makan ikan, terus ngga boleh lupa sama nyiram tanaman, apalagi?" Hiel berpikir sejenak, "Oh! Corat-coret sapu tangan rajut dari kamu, petik bunga melati terus disebarin ke depan rumah, banyak banget aku sampai ngga hafal. Aneh ih kalo dipikir-pikir lagi," komentar Hiel pada Nakula, namun Nakula hanya diam tak berkutik.

"Nanti Hiel tau kok maksudnya."

Setiap kali Nakula berbicara hal seperti itu, ia selalu merasa janggal, "Emangnya kamu mau kemana?" Nakula merubah posisi nya menjadi lebih nyaman.

"Sulawesi."

Hiel membelalakkan matanya, "Serius? Kenapa ngga bilang dari awal aja? Aku jadi mikir yang aneh-aneh, Nakula!" ia hanya mengusak surai rambutnya, "Maaf, hehe."

Hiel menghembuskan nafasnya pelan, "Berangkat kapan emang?" tanya Hiel yang dijawab dengan Nakula mengedikkan bahunya.

"Besuk ke sungai, ya."

______________

        Hiel hari itu bersiap-siap dengan pakaian yang berbeda dari biasanya, ia memakai dress putih, rambutnya yang digerai indah, sepatu kets putihnya, serba putih. Entah apa yang merasuki diri Hiel namun ia merasa harus memakai semua itu pada hari ini. Tak lama kemudian, Nakula datang, juga berbeda dari biasanya. Menggunakan kemeja hitam, dan celana jeans. Hiel mendatanginya dan tertawa kecil, "Kenapa kamu jadi beda banget?"

"Ngga tau, pengen aja."

Hiel mengangguk mengerti. Hari masih siang, keduanya pergi sendirian ke sungai yang jarak nya tak jauh dari kedua rumah mereka. Mereka hanya bermain sebentar karena takut hal yang tak diinginkan terjadi. Ditengah perjalanan mereka lengkapi dengan cerita-cerita semalam.

"Hiel, kamu tambah cantik pake dress itu."

Hiel merekahkan senyumnya, "Ngga sia-sia dong Hiel dandan secantik ini, makasih! Nakula juga tambah rapi," ujar Hiel yang tak menghilangkan senyumannya sama sekali, Nakula juga mengucapkan terima kasih. Setibanya di sana, mereka segera berjalan ke arah jembatan dan menikmati pemandangan dari situ. Tak berbeda dari setiap kali mereka datang, hanya saja penampilan mereka hari ini menambah keelokkan siang itu. 

"Hiel." Si pemilik nama menolehkan kepalanya, "Ya?"

"Kalau Hiel ke sini sendirian, bawa satu bunga melati ya. Biar ngga kesepian." Lagi-lagi, dan lagi. Hiel memejamkan matanya sejenak kemudian membukanya kembali. "Nakula, masih kurang berapa saran?"

Nakula hanya tersenyum, "Dikit lagi, mungkin."

"Melati itu cantik, wangi, warnanya bersih. Maka nya Nakula suka banget sama melati. Melati itu kayak Hiel, temen yang paling Nakula suka, udah gitu Hiel baik, ngga pilih-pilih temen," lanjut Nakula. Hiel mendengarkan kata per kata yang dilontarkan oleh Nakula, ia senang dengan cerita dan celotehannya, Hiel hanya mengangguk, entah apa yang harus ia jawab, pikirannya berkecamuk. "Begitu, ya. Okay, aku inget saran Nakula."

"Sama tulis satu kata di secarik kertas Hiel terus Hiel masukkin ke botol kaca," pinta Nakula. Hiel hanya membuka mulutnya sedikit tak mengerti. "Aduh, iya Nakula," final Hiel sebagai penutup bahan topik di jembatan, ia ingin menikmati pemandangan di situ, namun hanya datang memecahkan berbagai kalimat-kalimat Nakula yang ia sendiri bingung apa maksud dari semuanya.

Semua berjalan dengan baik, hingga tak sadar keduanya sudah menduduki bangku kelas enam, mereka sudah merayakan hari Kasih Sayang seperti biasa. Unik nya, Hiel memberi Nakula buket bunga dari kertas, bersama bingkai dengan foto yang sudah mereka ambil sebelum bulan Februari. Juga, sehari setelahnya, Nakula memberi Hiel bunga dari lego yang sudah ia rakit sendiri selama dua minggu. 

Pagi itu, sepulang dari ibadah, Nakula dan Hiel duduk bersama di taman Gereja, memakan jajanan dari kantin, sama-sama menunggu ibundanya yang sedang membahas sesuatu di dalam tempat ibadah. "Hiel mau sekolah mana?"

Yang ditanya memberhentikan aktivitas makan gorengannya, "Sekolah favorit aku, dong! Bener-bener idaman di Jogja banget!" Hiel menjawab dengan antusias, "Kalau kamu?"

"Belum kepikiran."

Tak lama setelahnya, Hiel membuka suaranya, "Nakula, janji ya tetep nemenin Hiel sekalipun Hiel keterima di SMP idamannya Hiel," ujar Hiel pada Nakula. Setelahnya tak ada jawaban apapun, hingga Nakula menjawab, "Iya, Hiel."
Hiel mengacungkan jempolnya tanda senang." Jangan mikir yang aneh-aneh, pentingin dulu tes nya," saran Nakula pada Hiel dan yang diberi tahu lagi-lagi mengacungkan jempol kemudian melanjutkan menyantap gorengannya. "Mau?"

"Engga, buat Hiel aja."

Sejenak mereka sibuk dengan dunia masing-masing, menyantap gorengan, meminum segarnya es sirup siang bolong saat itu. "Hiel, makasih ya." Hiel bingung, ia merasa tidak melakukan sesuatu yang bergitu berharga saat itu, "Untuk?"

"Semua. Semangat buat tes nya, kalo ada keluh apapun, Nakula 'di sini' kok."



۫  𓂃 ˖ © chchanie - 2023 𖥦  ָ ࣪

Baloney.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang