Nyale

70 1 0
                                    

Hallo...

Sedikit cerita, dulu aku buat cerita ini untuk tugas sekolahku dengan tema Bencana, dari pada nganggur di laptop jadi aku upload di sini hehehe.

Selamat membaca dan semoga berkenan.

Jangan lupa kasih bintang dan tinggalkan jejak yaa...

Aku nunggu banget nihh saran dan kritikan dari teman-teman buat perbaikan di ceritaku selanjutnya. 

--------------------------------------------------------------------------------

"Lahum fiihaa faakihatuw wa lahum maa yadda'uun

Salām, qaulam mir rabbir raḥīm" Q.S Yasiin 57-58

Suara tangisan pilu dan orang mengaji tidak pernah absen mengiringi langkahku melewati tenda-tenda pengungsian. Saat ini adalah hari ke sepuluh setelah goncangan itu menghancurkan semuanya, memisahkan mereka dari orang-orang tersayang, merampas senyuman yang dulu selalu terukir di wajah. Semua sudah tidak ada lagi, yang ada sekarang hanya orang yang saling diam, merenung dan memikirkan bagaimana kehidupan mereka selanjutnya.

Aku menghampiri anak kecil yang sudah aku cari sejak tadi, dia sedang duduk dibalik pohon palem dibelakang tenda-tenda para pengungsi.

Aku ikut duduk lesehan disebelahnya "assalamualaikum Andra" sapaku pada bocah berpipi chubby yang kutaksir usianya 6 tahunan ini.

"Wa'alaikumsalam Kak Hanum" dia menatapku sejenak sebelum kembali melihat taburan bintang di atas sana

Berkali-kali aku menggesekkan kedua tangan kearah berlawanan untuk mengurangi rasa dingin. Udara malam hari disini sangat dingin, ditambah lagi letak pengungsian yang berada lahan terbuka membuatku semakin menggigil.

"Andra ngapain malam-malam disini? nggak dingin apa?" tanyaku

"Hmm... Aku kangen sama ayah dan ibu, Kak" raut kesedihan tidak bisa disembunyikan diwajahnya "kapan ya aku bisa ketemu mereka lagi?" lanjutnya.

Masih jelas di ingatanku ketika Andra menangis sesenggukan melihat jenazah orang tuanya dikebumikan.

"Kak Hanum, sekarang bang Ali sedang apa ya ?" tanya-nya yang membuat aku bingung harus menjawab apa.

Ali adalah satu-satunya keluarga yang masih dia harapkan sekarang, namun hingga saat ini masih belum ada kabar terkait kakak kandung Andra itu. Saat kejadian Ali sedang menimba ilmu di sebuah pondok pesantren di desa sebelah.

Aku menarik nafas sejenak sebelum memberikan seulas senyum untuknya. "Andra belum makan ya? Makan dulu yuk, Kak Hanum udah bawa makanan buat Andra" kataku sambil memperlihatkan sebungkus nasi yang sudah aku bawa sejak tadi.

Andra hanya diam tidak menggubris perkataanku

"Andra makan dulu ya, setelah makan kita berdo'a ke Allah biar Ayah dan Ibu Andra di tempatkan di tempat yang terbaik, terus Andra segera ditemukan dengan Bang Ali juga" bujukku, namun dia masih enggan menyentuh nasi dihadapannya.

"Andra harus makan, kalau nanti Andra sakit siapa yang mau do'akan ayah, ibu sama Bang Ali?" rayuku lagi hingga akhirnya dia mau memakan nasi bungkus yang aku bawa.

Sesak sekali dadaku melihat keadaannya sekarang, anak yang masih membutuhkan kasih sayang dan mimbingan orang tuanya harus rela menerima keadaan ini. lima hari mengenal Andra membuat aku sedikit tau tentangnya, setelah kepergian orang tuanya dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi kecuali Bibinya yang menjadi TKW di Malaysia dan Ali kakak kandungnya yang saat ini sedang mengenyam pendidikan di salah satu Pesantren, namun hingga saat ini masih belum diketahui keadaanya karena pesantren yang di tempati Ali juga terdampak bencana gempa bumi.

 ***

Sekitar pukul 9 pagi aku bersama relawan lainnya sudah berada di posko untuk menyiapkan bantuan berupa pakaian, selimut, makanan siap saji, makanan ringan, obat-obatan dan masih banyak lagi untuk dibagikan kepada warga. Berbagai macam ukuran kardus tersusun disekitar kami, tidak sabar aku melihat senyum mereka setelah menerima barang-barang bantuan ini, terimakasih orang-orang baik yang telah menyisihkan hartanya untuk saudara kami di sini.

"Wil, Kardus yang di pojok itu nggak sekalian dibagi sekarang?" tanyaku pada Wildan, salah satu rekan relawanku.

"Nggak tau Num, coba kamu tanya Kak Azka aja di depan," jawabnya

"Oke, aku tanya Kak Azka dulu." aku berajak ke luar posko untuk mencari Kak Azka ketua tim kami.

Aku tidak menemukan Kak Azka di depan Posko, mungkin dia sedang ada keperluan di tempat lain dan aku memilih untuk menghampiri Pak Mustiari yang aku lihat sedang sibuk menata barang-barang yang baru turun dari truk. Pak Mustiari merupakan salah satu tokoh masyarakat di Desa Senaru, Lombok Utara ini.

"Ada yang datang lagi ya Pak?" tanyaku

"Iya Mbak, alhamdulillah akses jalannya sudah diperbaiki, jadi pengiriman barangnya lancar," jawabnya

"Alhamdulillah," ucapku

"Oh iya Pak, kardus-kardus yang dipojok boleh di bagikan sekarang juga Pak?" tanyaku lagi dengan menunjuk ke arah dalam posko

Tidak paham dengan kardus yang aku maksud, Pak Mustiari berbalik tanya padaku "Kardus di pojok mana Mbak?"

"Kardus di pojok belakang posko Pak" jawabku

Pak Mustiari terdiam sejenak, mungkin sedang mengingat kardus-kardus yang aku maksud. "Jangan Mbak, kardus itu sudah ada pemiliknya. Bukan untuk umum"

"Maksudnya bagaimana Pak?" tanyaku lagi, masih bingung dengan jawaban Pak Mustiari. Bukankah barang-barang bantuan ini diperuntukkan untuk semua warga? kenapa harus di pisah-pisah?

" Itu kiriman khusus Mbak dari kerabat mereka yang diluar Lombok. Kayak saya kemarin, dapat kiriman dari anak saya yang tinggal di Jawa." Jelasnya.

Aku menganggukkan kepala beberapa kali sebagai pertanda aku paham dengan penjelasan Pak Mustiari. "Beruntung sekali ya Pak, yang punya saudara atau kerabat yang tempat tinggalnya jauh dari kita."

"Iya Mbak, itu salah satu manfaat kalau kita mempunyai banyak relasi."

"Bener banget Pak," ucapku. "Ya sudah Pak, saya mau kembali kedalam. Mari Pak." lanjutku berpamitan dengan Pak Mustiari.

Aku kembali ke dalam posko melanjutkan menata kardus-kardus yang tadi sempat tertunda. 

------------------------

Lanjut nggak?


Cerita PendekWhere stories live. Discover now