2 [END]

134 18 1
                                    


Hansa melirik Kaivan. Kaivan sejak tadi memperhatikan tempat terakhir Pak Prawara terlihat.

"Selain bodoh, kamu juga tak punya inisiatif apa pun untuk segala hal, ya?" sindir Hansa. "Jika Pak tua itu ayahku, maka aku akan segera mencarinya. Ini tempat asing! Bisa saja dia dililit ular atau—"

"Berhenti! Jangan cari gara-gara lagi!" Seseorang membekap mulut Hansa dengan kesal. Hansa segera mendorong tangan temannya itu sambil melotot. Belum sempat Hansa mengeluarkan kata-kata pembelaan, terlihat Pak Prawara muncul dan berhenti sebelum garis aspal.

"Bisa bantu saya mencari kunci bus? Dari tadi saya mencarinya, tetapi tidak menemukannya." Pak Prawara memasukkan kedua tangannya ke kantung celana katunnya. "Seingat saya, saya menaruhnya di kantung celana. Tidak ada."

Hansa sudah bersiap untuk mengeluarkan kata-kata penuh caci makian. Dia memang terkenal sering kurang ajar kepada yang lebih tua. Kepada guru di sekolah saja dia melawan, tak heran jika hal yang sama akan dia lakukan kepada Pak Prawara.

"Tidak heran lagi! Saya sudah berpikir begitu, Pak! Pasti karena kunci yang hilang!" seru salah satu siswa sambil menutup bibir Hansa yang ingin mengeluarkan kalimat pedas.

Kaivan sudah berdiri dan mengikuti ayahnya. Setengah dari mereka ikut membantu Pak Prawara sementara yang lain tetap di dekat bus menunggu para siswi, termasuk Hansa yang jika dia ikut hanya akan membuat rusuh.

Di sepanjang jalan Pak Prawara tak bicara bahkan saat siswa lain mengajaknya bicara. Kaivan menyadari ada gelagat aneh dari ayahnya, tetapi dia hanya diam.

Seseorang yang dia ikuti jalannya tak seperti jalan khas ayahnya sendiri. Ayahnya selalu berjalan sedikit tertatih akibat kecelakaan bus yang pernah ayahnya alami 10 tahun lalu.

"Ayah lewat di mana saja?" tanya Kaivan sambil menyalakan senter handphone. Namun, Pak Prawara tak bicara. Hanya terus berjalan dan melewati pohon yang sangat lebar. Kaivan dan 4 siswa lain heran karena Pak Prawara tiba-tiba tak terlihat.

"Pak?" panggil seorang siswa dengan bibir bergetar. Dia menyadari ada keanehan yang terasa sejak tadi, tetapi hanya mengikut alur sebagaimana yang terjadi.

Kaivan melihat sekitar dan ketenangannya berubah menjadi kepanikan. Tak ada tumbuhan tinggi, tetapi pohon-pohon yang tinggi dan besar mampu menghilangkan cahaya yang bisa menjadi penerang.

"Aku akan mencarinya, kalian cari kunci," kata Kaivan.

"Bukan kah sebaiknya kita tak berpisah?" sahut yang lain. Kaivan seketika berhenti dan menghela napas, lalu dia mengangguk.

Salah seorang siswa menyoroti seseorang yang tergeletak di atas tanah. Dia meneguk ludah dan memanggil Kaivan dengan suaranya yang gemetar.

"Lihat di sana," katanya, mengarahkan cahaya dari ponsel kepada pria tua yang tak lain adalah Pak Prawara.

Kaivan terkejut. Sontak dia berlari dan berjongkok di samping ayahnya. "Ayah? Ayah!" Berkali-kali dia memanggil ayahnya yang tak kunjung bergerak. Salah satu siswa memeriksa denyut nadi di tangan. Tak ada detak. Denyut di leher. Tak ada juga. Terakhir mendekatkan telinganya ke dada Pak Prawara.

Tak ada suara detak jantung. Seketika wajahnya pucat pasi dan melihat siswa lain selain Kaivan dengan pandangan yang bisa mereka mengerti.

Kaivan tidak menerima apa pun mengenai kondisi ayahny. Dia hanya berpikir ayahnya masih hidup. "Bantu aku membawanya ke bus!"

Suara teriakan samar-samar disertai hentakan sepatu beberapa orang membuat mereka teralihkan. Perlahan suara teriakan samar itu semakin jelas.

Esha. Siswi itu terus berteriak, "Jangan!"

DEWI AIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang