eps.4

50 6 0
                                    

   "fasilitasnya bagus, kayaknya yang ngekos juga pada seumuran lo, lantai duanya ada empat kamar, lantai satunya ada dua kamar, terus di situ udah di lengkapi sama dapur di lantai satu, ada ruang santai, ruang tamu, sama ruang keluarga, kamar lantai dua udah di lengkapi kamar mandi dalam, kipas juga udah ada, kamarnya juga luas,"

Doyoung, kakak tertua di keluarga Renjun menjalankan tugasnya sebagai kakak, mengurus semua persiapan adiknya untuk minggat,

"masih ada kamar kosong gak mas?"
"kabarnya, masih ada 1 kamar kosong di lantai dua"
"mas Winwin tau gue mau pindah? Mama?"
"dia yang nyaranin lo minggat ke situ, mama mah tau banget gue bakal bawa elo ke kosan mana," sejenak ada jeda di kalimat Doyoung, dia membalas chat, "kasian Mama pusing liat lo di sini, dikit dikit ngerengek minta balik Surabaya,"

"lah, lo berdua yang buat gue gak betah di rumah!"
"salah lo, bawel"

Renjun melanjutkan kegiatan persiapannya yang tertunda,

"ada wifi gak, mas?"
"kosan di Jakarta gak ada wifi?"
"iya si anak Jakarta," Renjun menatap sang abang sejenak, "Mas, bantuin gue pindah pindahan ya?"
"gue ada kejaan, ntar lo sama Winwin aja berdua"
"siap, si paling sibuk!".

Renjun tak sengaja berpas pasan dengan Bundanya Haechan, dan itu tentu menimbulkan beberapa pertanyaan di kepalanya, tapi dia harus semyimpannya lebih dulu,

"Bunda apa kabar?"

sapa Renjun, dan wanita yang masih awet muda itu menoleh, senang mendapati anak temannya yang sudah lama tidak ia temui,

"baik, kamu apa kabar? Mau ngekos di sini?"
"baik bunda," Renjun menyalim Bunda yang sudah Renjun anggap ibu sendiri, "iya bunda, Renjun mau ngekos di sini, bunda sendiri? Siapa anak bunda yang mau ngekos di sini?"

Bunda, ia terbiasa memanggil wanita yang mempertahankan cantiknya hingga saat ini dengan sebutan itu,

"Haechan mau ngekos di sini katanya," Bunda menjawab seadanya, dan Renjun merasa tebakannya benar, "bunda mau peluk Renjun, udah lama juga kita gak ketemu!".

"ge winwin, di sini juga? Mau ngekos di sini ge?"

Hendery yang tengah berjalan jalan mengelilingi bangunan itu menemukan teman masa kecilnya, dan menjadi anak kedua dari keluarga teman adiknya,

"gak lah, ngapain gue ngekos kalo gue ada rumah,"
"jadi lo mau ngapain di mari?"
"Renjun mau gue titipin di sini,"
"sama Haechan dong nanti,"
"gue doain baik baik deh mereka,"
"semoga gak makin parah aja dah mereka Ge, ngeri gue liat mereka diem dieman".

"Bunda, ini di tarok di mana?"

Haechan keluar dari kamarnya, mencari keberadaan bunda tersayangnya yang sudah menghilang dari penglihatan, tetapi dia menemukan hal lain, dan hal itu mengusik pikirannya,

"Haechan, sini dulu! Ada Renjun ini,"

Langkah kaki lelaki kelahiran Juni itu terasa berat berjalan ke arah sang Bunda. Berbeda dengan Renjun yang detak jantungnya seakan berhenti, dia belum siap harus bertemu dengan Haechan saat ini,

"apa kabar Ren?" Haechan berusaha tersenyum di hadapan Renjun,
"baik, lo gimana?" dan Renjun juga mencoba agar tidak canggung sedikit pun,
"baik juga,"

Yang namanya suasana canggung diantara orang dekat yang perlahan merenggang memang tak dapat dihindari,

"denger denger kalian satu kampus, kok bunda gak pernah liat kalian bareng?"

Renjun diam, kepalanya juga ikut berhenti berpikir, dia saja baru tau jika dirinya dan Haechan satu kampus,

"Haechan aja gak tau kami satu kampus Bun,"
"emang Renjun ambil fakultas apa?"

Haechan juga ikut menunggu jawaban Renjun,

"fakultas Seni bun,"
"Haechan kan fakultas Hukum, mana pernah ketemu,"

Bunda Haechan tidak tahu saja jika kedua remaja yang beranjak dewasa ini saling melambungkan tatapan kearah lain, tak ingin saling bertatapan.

Ketukan kamar Haechan mengganggu kefokusan laki laki yang tengah duduk di depan laptop, dia mengusap wajahnya, kemudian menatap jam yang sudah menunjukan jam setengah satu malam,

"Haechan.. gue nemu kucing, kasian, dia sekarat,"

Pintu terbuka, menampilkan lelaki dengan hoodie abu abu tua, dan celana cream berdiri seperti anak hilang, Renjun,

"dimana kucingnya?"
"gue tinggalin di bawah, deket rak sepatu.."

Haechan menghela napas, dia merapikan rambut Renjun yang sepertinya baru saja di terpa angin malam. Renjun hanya diam saat jari Haechan menyentuh rambutnya,

"kenapa gak di bawa naik aja?"

Haechan berjalan lebih dulu, melangkah ke tempat anak kucing itu di tinggalkan Renjun.

"di kasih nama apa?" Renjun berbicara ketika ia tengah merapikan kotak P3K yang miliknya,
"mau lo, apa?"

Haechan bermain dengan kucing berwarna putih belang belang hitam merespon seadanya pertanyaan Renjun,

"Haeren"
"Haeren?"

Haechan menatap Renjun, nama yang di sebutkan Renjun pernah menjadi susunan nama untuk keduanya, sebelum mereka merenggang, dan terpisah sejauh ini,

"iya, kan bagus?"
"bagus," Haechan menatap Renjun, matanya ia pejamkan sejenak, sedankan Renjun tak menyadari tatapan yang di berikan Haechan, lalu lelaki Juni itu berbisik dalam batinnya, "bagus untuk di kenang"

"ada saran nama lain?"
"gak ada, udah itu aja"
"oke, sekarang nama kamu Haeren.." Renjun berbisik pada si kucing,
"tapi, kenapa nama gue di awal?"
"ya, gak papa kan?"

Haechan tak protes, dia memilih diam dalam pikirannya, terlalu menyakitkan nanti jika dia mengungkit luka yang sudah lama hilang diantara mereka berdua, cukup dia yang tersakiti, Renjun jangan.

"lo nemu di mana kucingnya?"

Haechan bertanya ketika yang menjadi subjek dalam pertanyaanya tengah asik dengan kucing di gendongannya,

"pas lagi nugas gue laper, terus gue nyari makan deh di luar, eh nemu di pinggir jalan,"
"lo keluar gak ngasih tau gue?"
"kenapa emang?"
"gak baik kena angin malam,"

Renjun menatap Haechan yang menatapnya, saat tatapan mereka bertemu Haechan yang lebih dulu membuang tatapannya ke arah lain,

"gue gak mau ganggu lo"

Haechan tak langsung merespon kalimat itu, "kenapa gue harus ngerasa terganggu?"

itu hanya gumaman halus milik Haechan yang hanya di dengarkan oleh Renjun, namun ada lanjutan dari kalimat yang di biarkan Haechan terkurung di hatinya, "kalo kehadiran lo yang tiba tiba aja udah ngeganngu gue".

hyuckren; BERAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang