eps.5

92 7 2
                                    

warning; homophobic;angst(?)

Haechan merasa hari ini adalah hari yang bagus, hari yang terasa bagaimana aura berbeda yang dianugrahkan oleh semesta, ia dapat merasakan bagaimana desiran lain yang mengalir pada dirinya, desiran hangat saat dia berjalan dengan sosok yang menjadi temannya sejak kecil. Dan di hari yang menurut Haechan sempurna ini, ada suatu rencana yang akan dia rencanakan, ada suatu rencana yang ia siapkan dengan sepenuh hati yang membuat anak lelaki kelas 3 SMP itu menghabiskan waktunya untuk mendekorasi sebuah pohon sebagus mungkin,

"kira kira Renjun bakal suka gak ya?"

Dia berbicara di depan pohon besar itu, berbicara pada diri sendiri, bertanya akan bagaimana reaksi kekasih hatinya nanti,

"kalo gue di tolak semoga gak sedih sedih amat lah ya.." dia mengelus pohon itu, "semoga dengan gue menyatakan perasaan, hubungannya gak rusak ya?".

"Tar malam, ke Pohon Haeren yuk?"

Haechan mengajak teman pulangnya itu menyinggahi pohon besar yang biasa mereka panjati untuk melihat tebaran bintang di langit malam,

"bentar lagi ujian chan, kita harus belajar" penolakan halus,
"ayolah, kali ini aja, nanti gue gak ngajak ngajak lagi deh,"
"oke, tapi lo harus kasih tau gue kenapa lo tiba tiba ngilang 3 hari ini? Dan sering banget keluar masuk kantor guru?"

Haechan diam sejenak, pertanyaan pertama mungkin Renjun akan senang mendengarnya, 3 hari ini dia sibuk menghias pohon Haeren mereka, tapi untuk pertanyaan kedua, dia tidak yakin sama sekali akan membuat Renjun tersenyum mendengarnya,

"bakal gue kasih tau, kalo lo mau ke pohon Haeren"
"deal!".

"kalo di pikir pikir yang ngasih nama tuh pohon Haeren siapa?" di jalan pulang mereka masih melanjutkan obrolan,

"gue kan?" Haechan menunjuk dirinya sendiri,
"kenapa lo kasih nama Haeren?"
"Haechan kan nama gue, jadinya Hae, dan Renjun kan nama lo, jadinya Ren,"
"kenapa nama lo di awal?"
"ya, gak papa kan?"

Renjun terlihat mangut mangut.

Haechan view

Malam ini indah, bintang menghiasi seluruh penjuru langit, aku juga menggunakan baju terkeren ala ku. Langkahku pasti, berjalan ke rumah Renjun, dalam hati aku merapalkan berulang kali harapan agar pernyataan cinta ku tak tertolak, oh ayo lah, aku sedang mencintai seseorang sekarang.

"maaf gue kelamaan"

Aku sampai di hadapannya, dia sudah menungguku rupanya di depan rumah, penampilannya malam ini indah ah, kapan dia tidak indah di mataku?

"gak papa kali chan, udah biasa lo telat!" lalu dia menyondorkan sebuah kotak bekal padaku, "kata mama, makan pas lagi di pohon Haeren, mama tau lo saking semangatnya ketemu gue sampe gak makan malam"

"mama romantis banget deh, jadi makin sayang sama mama deh," sedikit hiperbolis,
Dia memutar bola matanya, "lebay amat dah," aku hanya terkekeh,
"yaudah ayo!"
"gak sabaran amat dah"

Aku meledeknya, sebelum langkah kami senada menuju pohon itu berada.

Kami sampai, dia tabjuk dengan hasil 3 hari aku tidak tertidur nyenyak, dan jerit payahku bolos sekolah,

"lo ngehias ginian sampe bolos?" dia menatapku tak percaya,
"yoi, keren kan?" dia malah mencubit pinggangku hingga nyeri,
"keren apanya? Lo jadi makin bodoh yang ada!"

Jujur, walau Renjun itu indah, jangan lupa dia laki laki, cubitannya pedih, dan sepertinya akan menyimpan bekas yang lama,

"iya-iya ampun"
"ini nih, karena gak bisa berpikir panjang!"

Renjun nampak kesal, tapi itu sangat menggemaska bagiku.

"sendiri hiasnya?"

dia bertanya sambil menyuap dirinya sendiri brownies yang di berikan mama,

"gak, di bantu Bang Hendery, Mas Winwin, Mas Doyoung, sama Kak Mark,"
"mereka ngebiarin lo bolos?"
"lah, mereka kan juga bolos?"

Aku mengunyah brownies ku, menatap reaksinya yang semakin kesal sebagai tontonan yang tak pernah membuatku jenuh,

"gak papa bolos, hasilnya kan bagus? Ada lampion, ada tumberlamp,"
"ya ya ya,"

Kami menatap langit malam bersama,

"chan, lo mau kuliah dimana?"
"Jakarta bagus kata gue"
"bareng ya?"
"sudah pasti itu!"
"satu kosan juga ya nanti?".

Kami larut dalam obrolan, larut dalam menatap indahnya bintang, larut pada cantiknya langit pada malam ini, dan aku sendiri larut pada hatiku yang berdetak tak karuan, menungguku untuk menyatakan perasaan,

"Ren,"

aku memanggil namanya di tengah ributnya detak jantung yang bahkan menyulitkanku untuk bernapas,

"iya?" Renjun langsung menatapku, tepat di mataku,
"gue mau ngomong penting,"
"lo buat gue deg degan, yaudah ngomong aja kali chan,"

Aku menarik napas panjang, mengisi paru paru ku dengan udara malam, hingga sedikit terbatuk,

"biasa aja kali, aelah ampe batuk gini,"

Renjun menyondorkan sebuah minuman yang sempat kami beli, namun sebelumnya dia menukar sedotannya kmudian menyerahkannya padaku, dan membiarkanku meminumnya,

"kenapa sedotannya di tukar?"

aku bertanya saat dia fokus mengembalikan sedotan ke tempat semula,

"katanya kalo minum satu sedotan yang sama, itu ciuman secara tidak langsung,"

Apakah aku sudah di tolak secara tidak sengaja? Belum! Aku belum menyatakan perasaanku, belum tentu dia akan menolakku kan? Tapi kenapa hanya karena sedotan aku harus setakut dan segugup ini?

"jadi mau ngomong apa?"

Dahan pohon ini besar, jadi tidak sulit bagi kami untuk bergerak. Aku menelan ludahku dengan susah payah,

"Ren, maaf buat kali ini gue harus melewati batas normal, harus merubah pertemanan kita jadi hubungan yang lain," aku menatapnya yang tidak menatapku, dia diam sambil mengangguk, "Renjun, gue suka sama lo, gue pengen jadiin lo milik gue, gue pe-"

Aku terdiam saat tawanya pecah, apa yang dia tertawakan? Apa perasaanku?

"lo Gay chan? Lo suka sejenis?" dia bertanya di sela tawanya, dia sedang merendahkanku. Lalu tawa itu reda, dia menatap jijik kearahku, "sayangnya gue normal Chan, gue lurus, gak menyimpang kayak lo, dan satu hal yang perlu lo tau," dia menatapku dengan tatapan naif "gue jijik sama manusia manusia yang kayak lo, menyimpang, suka sama sejenis, kelainan yang gak pantas di toleransi"

Aku benar benar diam, aku hancur, tidak pernah ada di benakku akan melihat Renjun yang seperti ini, merendahkanku, menjatuhkanku, apa lagi tentang hal yang sudah lama sekali ku pendam, tebakanku salah beranggapan Renjun juga menyukaiku,

"maaf chan, gue nolak lo, dan kayaknya pertemanan kita gak kandas di sini, tapi mungkin persahabatan bodoh ini akan berhenti di sini, gue gak pantas buat lo yang menjijikan chan, gue pulang ya? Gue nyesel punya temen kayak lo."

Aku tidak menghalanginya pergi, aku juga tidak menangis, lagipula setiap kalimatnya benar, aku terlalu menjijikan untuknya, aku tak membenci penolakan yang ia berikan, aku juga tak membencinya, namun mungkin aku kecewa, kecewa bersama diriku yang hancur. Aku juga tidak akan pernah melihatnya lagi bukan? Sebenarnya setelah ini aku ingin menyampaikan keberangkatanku esok pagi kembali ke Bandung, mungkin dia akan tahu jika dia mencariku,

"harapan gue gak di kabulin, padahal tadi udah berharap sama bintang jatuh,"

Aku berbicara menatap langit sendirian dalam rasa sakitku, sendirian.

hyuckren; BERAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang