Bab 36 : Sally dan Gedung Pernikahan

4.9K 538 54
                                    

🍟🍟🍟

"Ruby, dia tidak ingin pergi."

Ruby sempat mengira Jason kembali lagi, tapi setelah mengintip dari jendela, yang datang ternyata Onyx. Siapa pun asal jangan dia. Sekali lagi Ruby memohon pada ibu pemilik rumah untuk meminta Onyx hengkang dari sana.

"Ini benar-benar memalukan." Suara Ruby gemetar dan begitu menyayat. Alhasil pemilik sewa kembali harus meminta Onyx untuk pergi dari sana.

Dari jendela, Onyx tetap bergeming di luar pagar. Dia masih bersandar di depan pintu mobilnya, mencuri-curi pandang pada pintu rumah dan jendela kamar Ruby.

Ruby mematikan lampu, lalu terdorong untuk mengintip lagi. Onyx masih di sana, menunggu. Menelepon Ruby berkali-kali.

Mata Ruby tak dapat lepas darinya. Dia meneliti jelas bagaimana Onyx bertahan selama satu jam lebih. Posisinya berganti-ganti mulai dari menyandar di depan pintu mobil, duduk di kap, sampai menggoyang-goyangkan pagar.

Ini sungguh kekanak-kanakkan.

Kepala Ruby sudah penuh, pening. Rasanya hampir meledak, seperti balon jumbo yang diduduki orang obesitas.

Dia cukup sesak menghadapi Onyx, kemudian Jason, dan Onyx lagi, dalam satu hari. Dia butuh istirahat sejenak, menenangkan kepala yang tak henti berdenyut. Memejamkan mata yang enggan terlelap.

Sampai semalaman, dia hanya memandangi kerisauan Onyx. Laki-laki itu akhirnya mengusap wajah gusar dan masuk ke dalam mobilnya tepat di jam sebelas lewat empat puluh tiga malam.

Tujuh belas panggilan dan delapan puluh empat pesan masuk darinya.

Ruby menatap kosong ponsel. Dia ingat, benar-benar ingat ketika Onyx tak kunjung datang di hari menjelang akad nikah. Laki-laki itu hilang begitu saja, wusss hilang diterpa angin.

Dan tujuh belas panggilan tidak ada apa-apanya. Ruby saat itu meneleponnya sebanyak tujuh puluh lima kali serta berlusin-lusin SMS.

Tujuh belas panggilan hanya setara dengan sambungan Ruby pada teman-teman Onyx yang saat itu mungkin tahu keberadaannya di mana. Ruby sama sekali tidak menyakitinya, bukan? Anggap saja mereka impas.

Namun anehnya, meski sudah berusaha meyakini hal itu, Ruby tetap tak kunjung lelap. Dia hanya berbaring dengan mata menyorot lebar atap ruangan. Langit-langit itu jauh, gelap, dan remang. Ruby awalnya dapat melihat jelas bayang-bayang pantulan sinar dari ventilasi sebelum pandangannya perlahan memburam. Semakin buram. Hingga penglihatan Ruby kabur sepenuhnya.

Air matanya menggenang. Turun melintasi pelipis. Menggenang lagi. Turun lagi. Menggenang lagi.

Entah setelah hari ini dia masih bisa menangis atau tidak.

🍟🍟🍟

Ruby akhirnya bisa memejamkan mata sampai ketukan pintu membangunkan dirinya. Ibu pemilik sewa menanyakan Ruby mengenai sarapan yang dia mau. "Nasi Uduk atau Nasi Urap?"

Ruby bahkan tidak berselera. "Gorengan saja, Bi," jawabnya lemah. Tak pernah terpikirkan sebelumnya jika menginap di tempat ini akan menempatkan Ruby pada perhatian yang begitu banyak. Pemilik sewanya benar-benar menjaganya selama sebulan lebih di Palembang.

Ruby beringsut dari ranjang, melihat sekeliling kamar dengan mata bengkaknya. Sebuah foto terserak di lantai. Tanpa harus meneliti lebih lama, Ruby dapat memastikan itu foto apa.

Dia kemudian memungut foto itu dan melihat betapa bahagianya dia yang saat itu mengetahui jika dirinya hamil.

Tangannya mengerat pada fotonya. Dia tak tahu harus berbuat apa sampai kemudian memilih untuk meletakkan kembali ke dalam tasnya.

We Start With The End [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang