25

65 9 2
                                    

• • • •
Bagian 25 ||
You think, “Okay, I get it. I’m prepared for the worst.” But you hold out that small hope, see, and that’s what fucks you up. That’s what kills you.
• • • •

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

- d a n  s e l e s a i -

          “GUE ketemu Baby tadi.”

          Terlihat Alula membuka matanya sebentar. Masih dipenuhi hujaman letusan kembang api di langit, gadis itu bergerak menjauh dari pelukan Sabian mengambil sisir yang tidak jauh dari posisinya.

          “Sisirin rambut gue dong, Bian.”

          “Kepang jangan?”

          “Jangan, ih, masih basah!” protes Alula menepuk pelan lengan Sabian. “Bawahnya dulu ya, Bian,” titahnya memeluk kedua kaki yang ia tekuk, melanjutkan film yang sempat Alula hentikan sesaat melihat Sabian dalam keadaan tidak baik. Setelah ini, Alula hendak mengajak Sabian jalan-jalan, pergi ke jembatan penyebrang jalan meluapkan seluruh emosi mereka di sana.

          Masih merasakan tangan Sabian di rambutnya yang sesekali menyentuh bagian belakang leher, Alula menarik garis tipis. “Baby chat gue. Ketemuan sama lo katanya, kirim foto lo juga yang lagi ketawa,” paparnya menarik tangan Sabian untuk Alula letakkan di lehernya.

          “Semuanya belum selesai, ya? Padahal, gue udah pura-pura seneng sama kejadian itu. Susah banget kayaknya hidup tanpa masa lalu.”

          Perihal pernikahan antara kedua orang tua mereka, serta mengenai Baby yang tidak ingin Alula ingat bagaimana sepupunya itu menghancurkan hidupnya. Kemudian, bertingkah seolah itu hanyalah permasalahan kecil yang bisa diselesaikan tanpa memikirkan dampak pada si korban.

          Sabian hanya diam. Mengeratkan pelukan di leher Alula dengan wajah ia tenggelamkan. Menutup mata mendengar Alula bercerita tentang semua kisah biru-hitam di garis kehidupan mereka.

          Tentang udara terluka terpagut akan keasingan erat, tembok-tembok lusuh menjelaskan kecemasan melanda diri dan fatamorgana hitam menghadang perjalanan merantai kedua kaki. Sudah banyak usaha Sabian lakukan untuk lepas, namun pertemuan memberi efek langsung seperti tubuh ditusuk duri beracun berkali-kali.

          “Maaf.”

          Alula mengerjap pelan mendengar satu kata tersebut. Melihat ke arah Sabian yang sudah menegakkan tubuh. Sorot cokelat yang bisa menenggelamkan siapa saja itu redup. “Lo gak salah, Bian. Ngapain minta maaf?”

          Butuh waktu lama untuk Sabian menjawab pertanyaan itu dan Sabian memilih mengatakan, “Gue mau mandi dulu.” Beranjak dari tempatnya melepas kaus hitam memperlihatkan punggung tegap terdapat luka panjang di sana. Luka sebab menyelamatkannya.

          “Astaga, dosa.”

          Sabian mengerjap sadar, lantas tersenyum miring. “Astaga, Alula, dosanya tambah banyak. Tutup mata buru,” kekehnya membuka lemari mengambil baju ganti.

          “Udah dosa guenya, Bian!” dengkus Alula melempar bantal ke arah Sabian.

          Berbaring kembali memainkan ponsel memeriksa aplikasi chat online sudah menampilkan angka empat digit. Jemarinya bergerak membalas pesan-pesan pribadi yang masuk seraya membaca tingkah teman-temannya itu. Geblek banget! batinnya. Berlanjut memainkan game di ponsel Sabian.

          Mencium aroma yang sudah Alula kenal baik, gadis itu menggulingkan tubuhnya melihat ke arah Sabian bersama rambut basah dan pakaian lengkap berjalan mendekat. Kini laki-laki itu duduk di ujung kasur mengambil alih ponselnya untuk mengirim pesan selamat tahun baru pada Madre juga Saluna.

dan selesai, eunlu. ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang