"Pa, Ma! Shafa mau pindah sekolah."
Kalimat itu dilontarkan oleh Shafa tiga hari lalu kepada kedua orang tuanya. Situasi yang seharusnya mengejutkan justru dijawab santai oleh mereka. Dengan sangat mudah menyetujui tanpa bertanya alasan dibalik keinginan Shafa untuk pindah.
Sophia Alexine Shafa, seorang gadis yang kerap disapa Shafa. Berusia 16 tahun, pemilik mata biru, dan wajah kental orang barat. Blasteran Eropa dari sang ayah dan Indonesia dari sang ibu. Anak tunggal kaya raya dari seorang pemilik perusahaan investasi terbesar di Asia, serta direktur keuangan dari perusahaan handphone brand ternama di dunia.
Jadi tidak heran kalau permintaan untuk pindah sekolah langsung disetujui oleh kedua orang tuanya. Itu bukan urusan yang sulit. Sat set sat set, tiga hari kemudian Shafa berhasil pindah ke sekolah yang diinginkan.
Iris biru dengan tatapan yang begitu datar tengah mengunci pandangan pada satu objek yang kini berdiri di depan kelas sambil menjelaskan pelajaran. Helaan napas diikuti dengan mata yang perlahan terpejam seakan memberitahu dunia jika gadis tersebut tengah dilanda kebosanan.
Ia tidak begitu memperhatikan apa saja yang diucapkan oleh guru di depan sana, sebab apa yang diinginkan belum didapatkan.
'Katanya sekarang jam pelajaran bang Daffi, terus mana orangnya? Malah guru lain yang dateng,' gerutu Shafa dalam hati.
Alasan sebenarnya dia pindah sekolah cuma satu, yaitu seorang pria bernama Daffi.
Aneh, bukan? Anggap saja Shafa lebay, tapi memang begitu kenyataannya bahwa dia jauh-jauh pindah sekolah ke luar kota hanya untuk satu orang pria.
Tujuh tahun lalu. Shafa menghela napas panjang, mencoba menghilangkan rasa gugupnya. Berkali-kali dia menghela napas dan menutup mata.
Hari itu di halaman rumahnya, tepatnya di tangan mungilnya sudah ada surat cinta warna biru muda dengan tanda love di tutupnya. Namun sayang, dia tidak tahu siapa penulis surat tersebut. Identitas yang terlihat hanya 'Daff'. Ada satu huruf yang hilang karena kena air.
Shafa menebak penulis surat adalah Daffi, tetangga sebelah rumahnya. Saat dia hendak bertanya perihal surat cinta, orang yang dituju sudah pindah rumah ke luar kota bersama keluarganya.
Tidak disangka tujuh tahun kemudian Daffi kembali ke rumah lamanya untuk suatu urusan.
Shafa sempat bertemu, tetapi tidak berani bertanya tentang surat cinta tujuh tahun silam. Namun, dia tidak mau menyerah. Sampai akhirnya tahu kalau sekarang Daffi adalah seorang guru bahasa inggris di sekolah swasta kota sebelah.
Shafa ingin mengejar Daffi, membuktikan isi surat yang pernah lelaki itu tulis untuknya. Surat yang isinya ingin melamar Shafa ketika sudah dewasa nanti. Kalaupun bercanda, Shafa ingin membuat isi surat itu menjadi suatu hal yang serius.
Pokoknya, apa pun yang terjadi Daffi harus bersama Shafa! Titik, tidak pakai koma!
Ding. Dong. Ding. Dong.
Tepat di tengah kegalauan Shafa, bel istirahat berbunyi. Dengan kecepatan kilat—bahkan saat guru belum mengucapkan kalimat sampai bertemu di pelajaran berikutnya—Shafa sudah pergi keluar melalui pintu menuju ruang guru demi bisa bertemu Daffi. Gadis itu tidak menyadari kalau ada seorang lelaki yang diam-diam terus memperhatikan gerak-geriknya.
Dua kaki mungil Shafa melangkah lebar dan cepat menuju lantai satu. Melewati lorong sepi dan menuruni anak tangga satu per satu sampai akhirnya tiba di tempat tujuan.
"BANG DAF—EH, PAK DAFFI!" panggil keras Shafa tanpa permisi.
Guru-guru yang ada di sana langsung menoleh dan menatapnya risih. Shafa yang merasa pun langsung bersikap tenang, tapi kepala tetap celingak-celinguk mencari keberadaan Daffi.
"Cari pak Daffi ya, Neng?" tanya pak guru yang baru datang dan berdiri tepat di belakang gadis tersebut.
Shafa terperanjat, kemudian berbalik dan mengangguk pada pria paruh baya di belakangnya.
"Pak Daffi lagi ada urusan di dinas, Neng. Beliau nggak ada di sekolah sekarang."
Yahh ... .
Sangat mengecewakan, bung! Bintang satu untuk pihak yang mengirim Daffi ke dinas! Huuuuuu.
"Kalau boleh tau balik kapan ya, Pak?" tanya Shafa yang masih belum mau menyerah. Ia akan menunggu sampai lelaki itu kembali ke sekolah meski sampai malam sekalipun.
Pak guru tampak berpikir lama, kemudian menjawab, "Duh, kalau itu saya juga kurang tau, Neng."
"Bapak punya nomor telepon pak Daffi? Kalau ada saya mau—"
"Mau apa?" potong seseorang pada kalimat Shafa.
Wanita yang perkataannya terpotong itu langsung menoleh tajam, tetapi sejauh mata memandang hanya terlihat dada yang dilapisi seragam sekolah.
Rupanya salah Shafa karena melihat sejajar, dia perlu mendongak untuk melihat sosok lelaki yang kini berdiri tepat di hadapannya.
Dia adalah ketua kelas 11.2—kelas yang kini ditempati Shafa—namanya Daffa. Dia berperawakan sangat tinggi dan tampan. Rambut hitam tertata rapi memperlihatkan wajah kurusnya yang tegas. Iris mata cokelat yang cerdas terpasang dengan menggoda di rongganya.
"Lo ngapain di sini?" tanya Shafa jutek. Kedatangan Daffa sangat mengganggunya.
"Pak, silakan masuk. Biar saya yang bicara dengan dia," ucap Daffa langsung diiyakan oleh sang guru. Beliau kemudian masuk ke ruang guru dan meninggalkan dua insan tersebut.
Detik berikutnya, Shafa yang mengira Daffa akan beri penjelasan kepadanya justru malah pergi begitu saja.
"Lho, lho, lho, kok pergi, sih? Daffa!" panggil Shafa sambil mengejar. Ia tidak terima karena rencana untuk mendapatkan nomor Daffi gagal gara-gara lelaki tersebut.
"Daffa!" panggilnya sekali lagi lalu menarik tangan sang empu nama agar berhenti berjalan. "Tadi katanya mau ngomong sama gue. Cepet ngomong!" lanjut Shafa agak sedikit menuntut.
Daffa tidak mengucap sepatah kata pun. Dia menatap Shafa dengan pandangan sulit diartikan sambil sesekali geleng kepala. Meskipun Shafa terus menahan pergerakannya, Daffa tetap berusaha berjalan dan menghiraukan gadis tersebut.
"Daf!"
Geleng-geleng kepala.
"DAFFA!"
Geleng-geleng kepala.
Haisshhhh! Shafa berdecak sebal sampai akhirnya menyerah bicara pada Daffa.
Namun, mendadak lelaki itu diam dan perlahan berbalik menatap Shafa yang berdiri di belakangnya.
"Sop," panggilnya pelan dengan malu-malu.
Sang empu nama mengernyit, dalam hati, 'Sop? Sap, sop, sap, sop. Nggak enak banget dengernya, udah kayak minta sop buah.'
"Sop," panggil Daffa sekali lagi.
Sang empu nama terkekeh lalu berucap, "Panggil Shafa aja, Daf. Gue nggak biasa dipanggil pake nama pertama."
Daffa kembali menggeleng kepalanya, tanpa mengucap satu kata pun.
Belum ada satu hari bertemu, tapi Shafa sudah lelah bicara sama Daffa. Dari tadi terus geleng kepala dan tidak mau jawab ucapannya.
"Terserah lo aja kalau gitu. Terus sekarang lo mau ngomong apa sama gue?"
Daffa tampak menimang sesuatu. Sampai akhirnya dia berkata, "Gue punya nomor pak Daffi, tapi gue nggak mau bagi lo. Makasih dan sekian." Lalu pergi berlari begitu saja.
Shafa diam melongo. Berusaha mencerna apa yang barusan dikatakan lelaki tersebut.
Sebentar, biar hati terdalam Shafa ulang perkataan lelaki aneh tadi.
Jadi ... Daffa punya nomor pak Daffi, tapi tidak mau bagi Shafa meski dia tahu Shafa mau nomornya?
Benar, begitu?
"Dasar gila! Aneh! Maunya tuh cowok apa, sih? Baru hari pertama pindah udah bikin esmosi aja!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Sophia and Mr. D
Teen FictionSaat SD, Sophia diberi surat cinta oleh seorang laki-laki. Namun, terdapat kecacatan dalam suratnya. Identitas penulis surat hanya tertulis "Daff". Karena kesalahpahaman, Sophia mengira penulis surat adalah Daffi, tetangga sebelah yang usianya terpa...