Itu Aku.

4 1 0
                                    

Kutu kupret?"

"Ho-oh.

"Siapa?"

Fahri menjawab dengan menunjuk kearah Hero menggunakan kepalanya.

Hero berdecih sebal melihat kelakuan sahabatnya yang seperti benalu saat mendapat tugas dari dosen. Sangat malas dan sangat menjengkelkan. Kalau tidak ingat Fahri adalah satu-satunya sahabat terbaik yang dimilikinya, bisa dipastikan lelaki petakilan itu bakal dia bawa pergi ke Antartika lalu ditinggal sendirian, bergaul dengan Penguin.

Percakapan konyol itupun terhenti,  ketika makanan dan minuman pesanan mereka datang. Hero dan Fahri yang sejatinya kelaparan langsung mengeksekusi pesanan mereka dengan cepat.

Prisilla yang hanya memesan es teler, menikmati kesegarannya secara perlahan. Sesekali mata indahnya menatap wajah Hero yang berkeringat, efek makan bakso mercon, favorit lelaki berkuncir itu.
Lelaki yang sejak pertama kali berkenalan diawal pertama menjadi mahasiswa, sudah membuatnya terpana.  Tidak banyak tingkah dan cuek. Sangat berkarisma.   Wajah Hero yang manis,  tidak pernah membosankan untuk dipandangi.

  Cinta dalam diamnya Prisilla. Cinta yang menyiksanya karena terlalu pengecut bagi gadis itu untuk menghadapi resiko ditolak oleh sang pujaan.

"Gila, sadis banget itu. Zaman sekarang kalau ngebunuh orang, mainnya pistol bukan parang. Memang udah pada mati akhlaknya, nyawa jaman sekarang nggak ada harganya."
Suara celetukan-celetukan mulai ramai terdengar di dalam kantin.

Hero, Fahri dan Prisilla mulai terusik, lalu mencari tahu penyebab kehebohan tersebut.

Sekilas info yang disiarkan secara langsung dari tempat kejadian oleh salah satu TV swasta, memberitakan bahwa telah ditemukannya dua sosok tubuh lelaki dewasa yang  telah terbujur kaku. Wajah keduanya bersimbah darah, serta terdapat  sebuah lubang tembakan pada masing-masing pelipisnya. Tubuh mereka berada di dalam sebuah mobil sedan yang terperosok ke dalam jurang. Melihat kondisi jasad, bisa diperkirakan waktu kejadian adalah kemarin sore.

Hero menatap tajam layar televisi yang tergantung di dinding kantin. Jantungnya berdegup kencang, wajahnya tegang dan matanya terbelalak ketika melihat mobil yang berisi mayat kedua orang tersebut ditampilkan pada layar kaca.

'Mana mungkin meninggal dalam keadaan terbunuh? Gue hanya menggunakan sedikit saja tenaga. Gue akan cari tahu.'  Hero menganalisis dalam hati.

"RI. Gue cabut dulu ya, ada urusan mendadak." Hero segera beranjak dari sisi Fahri.

"Oh, oke. Hati-hati, Bro," balas Fahri sambil menepuk pundak sahabatnya. Dia sudah bisa meraba hal apa yang membuat Hero menjadi gusar seperti itu.

"Sil, sorry gue tinggal ya." Hero berpamitan dengan tergesa-gesa, bahkan untuk menatap wajah ayu Prisilla pun tidak sempat.

Prisilla mengangguk pelan sambil menatap sendu kepergian lelaki itu, hingga hilang dari pandangannya.

Sedetik kemudian

"Ramai sekali. Gue nggak mungkin tiba-tiba mendekat, lebih baik gue di sini aja. Itu Mas Baim, gue akan meneleponnya."

Hero yang berdiri di samping sebuah pohon besar, segera menghubungi kakak sepupunya yang  tengah berada di TKP, tidak jauh dari tempatnya berdiri saat ini.

Tak lama kemudian seorang lelaki berjalan cepat menuju ke tempat Hero. Badannya tegap berkulit kecoklatan.  Celana kain berwarna hitam, membungkus ketat kakinya yang panjang, dipadu dengan kaos polo putih lengan pendek. Penampilan yang membuat  orang sering kali mengira,  bahwa dia seorang model.

"Bar, kamu di sini? sudah lama?"

"Baru saja nyampe, Mas."

"Bar, apa ini ada hubungannya sama kamu?" tanya Ibrahim langsung tanpa basa-basi.

"Secara langsung tidak, Mas, tapi aku yang membuat mobil itu hancur, lalu terperosok ke sini."

"Apa itu mobil yang menculik gadis tempo hari?"

"Hero mengangguk sambil berkata, "ya, Mas."

"Kenapa kamu bohong?" selidik Ibrahim, khas seorang polisi.

"Aku nggak bohong, Cuma–"

"Cuma menutupi kelakuanmu yang membuat orang lain celaka. Begitu?" sela Ibrahim dengan nada kecewa.

"Apa aku salah? Mereka menculik seorang gadis lalu dikurung di dalam bagasi tanpa perasaan. Mereka juga ugal-ugalan dijalan dan bikin pengendara lain celaka!"

"Ya.  kamu salah!" jawab Ibrahim tegas.
"Dan mas sampai harus terjun langsung kesini, padahal dengan jabatan yang mas miliki saat ini, itu sangat terlihat berlebihan! Ini semua karena siapa? Karena kamu! karena mas yakin ini ada hubungannya denganmu! Dan semua yang berhubungan denganmu itu sangat penting bagi mas! Jadi jangan berlagak sok pahlawan jika akhirnya menyusahkan!" sambung pimpinan Bareskrim itu sembari menatap tajam Hero.

Hero mendengkus keras, perkataan kakak sepupunya itu mengusik egonya.  rahang Hero pun seketika mengetat. 

Tiba-tiba tanah di sekitar area  tersebut bergetar sangat keras, seperti gempa.  Beberapa pohon berukuran sedang, tercabut dari akarnya.  Pohon-pohon itu saling berbenturan di udara, hingga menimbulkan suara yang memekakkan telinga.

"Akbar, kendalikan dirimu. Istighfar, Bar. Tenangkan pikiranmu," teriak  Ibrahim dengan wajah terkejut. Petinggi Polisi itu segera merengkuh tubuh Hero yang berdiri kaku. 

Mata elang Hero menyorot tajam ke depan,  dengan tangan terkepal erat di kedua sisi badannya.

"Akbar, mas minta maaf. Mas nggak mau kamu terluka. Mas nggak mau kamu kenapa-napa." Ibrahim memeluk erat adik sepupu yang sangat disayanginya itu sambil menitikkan air mata. Lelaki itu tahu betapa dahsyatnya dampak yang akan ditimbulkan apabila Hero lepas kendali.  Kekuatan yang didasari oleh emosi yang tidak terkendali akan menyebabkan kehancuran secara masive.

Butuh beberapa menit bagi Hero , untuk meredam emosinya. Air mata Ibrahim yang menetes di punggungnya, menjadi salah satu pemicu kesadaran Hero.

"Mas Baim," lirih Hero. Tubuh tegap itu  kemudian terkulai lemas dalam pelukan Ibrahim.

Sementara itu kru televisi yang datang untuk meliput dan anggota reserse  yang ada di tempat kejadian,  berhamburan melarikan diri. Mereka semua mencari  tempat perlindungan, karena mengira kejadian mengerikan yang baru saja terjadi itu gempa.

Hero yang perlahan mulai bisa mengendalikan tubuh dan pikirannya segera melepaskan diri dari rengkuhan kakak yang sangat di hormatinya itu.

"Maaf, Mas. Aku memang belum mampu mengendalikan emosi. Aku tidak bermaksud mengacaukan semua. Terkadang ini diluar kemauanku. Mas Baim benar, aku memang salah." Hero  menatap nanar ke sekeliling yang berantakan akibat ulahnya.
Hero  sangat menyesal dan merutuki dirinya sendiri karena selalu saja membuat kerusakan disaat emosi menguasai hati dan pikirannya.

Ibrahim sebagai kakak sepupu, akan selalu ada untuk membereskan kekacauan yang ditimbulkannya.
Jendral tampan itu menepuk dua kali pundak Hero. "Nanti kita bicara dirumah. Sekarang lebih baik kamu pulang lalu istirahat. Mas yang akan bereskan kekacauan ini."

"Seperti biasanya?"

Ibrahim terkekeh lalu tersenyum. "Seperti biasanya. Adik yang berulah, kakak yang membereskan. Kita memang saudara yang kompak dan saling melengkapi 'kan."

Hero tersenyum lebar kemudian memeluk erat kakak sepupunya sambil berbisik, "matur nuwun, Mas."

Ibrahim yang hendak membalas ucapan adiknya hanya mampu menggeleng sambil tersenyum kecut. Tangan kekar miliknya yang semula memeluk erat tubuh tegap berjaket denim, menjadi memeluk angin.  Hero menghilang, lagi!

"Dasar! datang tak dipanggil, pulang semaunya. Sakarepe dewe!" rutuk lelaki berambut cepak itu sembari melangkah mendekat kearah bawahannya. Tim Bareskrim Polri.

MY NAME'S HEROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang