Penunggu pohon tua

0 1 0
                                    



Di sebuah bangku panjang berbahan kayu jati tua, yang ada di belakang gedung kampus Teknik  Informatika, duduk seorang lelaki gagah berambut panjang yang dikuncir cepol. 

Dia asyik  berkutat dengan laptop yang ada di pangkuan. Semilir angin  menerpa wajah manisnya, membuat lelaki berbadan atletis tersebut beberapa kali menutup mulutnya yang menguap, menggunakan tangan kanan.

Dering ponsel terdengar dari dalam tas punggung yang tergeletak disampingnya. Mengambil benda canggih tersebut dengan pandangan yang tak teralihkan dari Laptop,  melihat sekilas pada layar ponselnya sebelum menerima panggilan dan terlibat pembicaraan dengan si penelpon.

Lima menit kemudian, Lelaki itu kembali sibuk dengan komputer jinjing dan buku-buku tebal tanpa peduli dengan banyaknya mahasiswa yang hilir mudik di depannya.
Sebuah tepukan kuat pada punggung, membuat lelaki manis yang mampu mengingat semua hal secara detail itu berdecak sebal.

“Siang-siang enaknya emang bobo, bobo ‘nya di bawah pohon tanpa atap. Bang Fahri pusing muter-muter nyari Hero, eh ... nggak tahunya pacaran sama Macbook.”

Fahri yang muncul dari balik pohon tersenyum lebar, berniat memberikan suasana segar dengan berpuisi indah, yang sama sekali tidak terdengar indah di telinga Hero.

“Ngapain kemari?” tanya Hero dengan nada sedikit naik, tanpa menoleh ke arah Fahri yang cengengesan di sampingnya.

“Ganteng-ganteng galak! Jauh jodoh Lo! Niat gue itu baik, Nyet. Nemenin Lo yang bengong sendirian di bawah pohon gede. Lo nggak tahu, kalau ini pohon ada penunggunya?” Fahri bergidik dengan pandangan mata menuju ke atas pohon.

Hero mendengkus. “Gue nggak butuh ditemenin sama Lo!”

“Gue itu temen, sohib, tempat curhat sama soulmate satu-satunya yang Lo punya. Kalau bukan gue yang nemenin, terus siapa?” Lelaki flamboyan itu berpura-pura cemberut, meskipun dihatinya tertawa keras, melihat wajah jutek sahabatnya. Menggoda Hero hingga kesal adalah salah satu hal yang paling disukai olehnya.

“Sarap Lo? Minggir sono, jangan ngerecokin gue! Belum kelar ini tugas.” Hero mendorong wajah Fahri yang menjulur, melihat kearah laptopnya.

“Tugas dari dosen belum kelar?”

“Belum lah!” jawab Hero sengit.

“Oke, sorry. Gue bakal menghilang dari sini, biar Lo nggak ke ganggu dan bisa konsentrasi. Nanti gue balik lagi,” balas Fahri sambil nyengir.

“Ngapain? Gak perlu! Gue gak butuh ditemenin.”

“Cie ... ya demen di temenin sama penunggu pohon, sohib sendiri diusir-usir. Takut ganggu ye, Bang?” celetuk Fahri dengan ekspresi tengilnya.

“Entar kalau udah selesai Lo bisa copy tugas Gue.”

“Serius?” seru Fahri dengan mata terbelalak. “Eh ... Hero. Kok Lo baik sih? But Makasih ya, padahal gue nggak ada niat copy-copy tugas Lo. Niat gue itu tuluuuss banget buat nemenin Lo, yah siapa tahu bisa bantu mijit-mijit pundak, elus-elus kepala atau dongengin cerita, biar Lo kagak kesepian. Servis gratis dari Gue, spesial buat Lo.”

Hero tidak menjawab, hanya melotot marah sambil mengepalkan salah satu tangannya di udara.

“Iye ... ye, gue balik. Jangan cari Gue, kalau Lo kenapa-napa! Gue sibuk!” lelaki itu berbalik meninggalkan Hero sambil menggerutu.

Namun belum sampai lima langkah Fahri berjalan, lelaki humoris itu tiba-tiba kembali lagi ke bangku kayu dimana sahabatnya memandanginya dengan  heran.

“Jangan usir gue, jangan marah dan jangan tanya kenapa, oke?” cerocos Fahri sambil duduk santai disamping tas punggung sahabatnya.

Hero yang bingung melihat tingkah Fahri yang aneh, hanya mengangguk pelan tanpa bersuara. Apalagi melihat Fahri yang mendadak duduk tenang sambil membuka buku, seperti sedang fokus membaca, padahal Hero tahu pasti bila Fahri dan buku ibarat minyak dengan air, tak bisa menyatu!

Namun, semua keheranan itu terjawab sudah ketika dari jauh terlihat seorang cewek cantik berbadan seksi berjalan cepat kearah mereka duduk.

“Sayang ... “

“Eh, ada ayang Lilis. Baru aja aku pikirin, tahu-tahu nongol. Kenapa? Kangen?” rayu Fahri dengan senyum manis sambil mengutuk dalam hati.

Gadis yang ditembak olehnya sebulan lalu namun, sekarang Fahri sudah merasa bosan, akibat seringnya mereka bertemu. Tiga hari sudah lelaki playboy itu menghindar, dan ternyata hari ini memang nasib sialnya telah tiba. Bertemu dengan ayang Lilis!

“Sayang kemana aja sih. Di WA nggak dibalas, di telepon nggak dijawab, dicariin nggak ada! Sayang, selingkuh ya?” tuduh gadis seksi itu sambil menatap kesal kekasihnya.

Wait ... ayang Lilis ngomongnya sadis. Nih, lihat sendiri, aku lagi ngapain disini?” elak Fahri sambil memasang tampang sedih. Inginnya sih putus dari lilis tapi kok masih sayang, mau terus tapi kok bosan. Egois-kah?

“Lagi duduk!”

“Ck. Lagi nugas ayang ..., nggak lihat apa, aku lagi pegang buku, Hero pegang laptop. Aku sama Hero itu satu kelompok, tugas kita itu buanyak buanget, sampai-sampai aku nggak punya waktu buat istirahat. Sorry, ya. Aku janji nanti kalau tugas aku selesai, kita bakalan kencan. Oke?” bohong Fahri dengan lihai.

“Kalau memang nugas, sekarang mana laptopmu, Yang?” skak mat buat Fahri yang langsung kelabakan mencari jawaban yang masuk akal.

“Oh, Laptop ya. Namanya juga tugas kelompok, jadi bagi-bagi kerjaan.  Hero bagian ngerjain laptop, aku ngerjain bukunya,” bohongnya sekali lagi untuk menutupi kebohongan yang tadi.
Hero yang mendengarnya menatap sinis Fahri yang dibalas cengiran lebar lelaki sejuta muslihat itu.

“Aneh banget sih cara baginya. Awas ya kalau bohong, aku sunat lagi kamu, Yank.”

“Yah, habis dong nanti kalau dipotong dua kali! nanti kamu juga loh yang rugi,  Yang,” sahut Fahri santai.

Hero berdehem keras sedangkan Lilis merona mendengar omongan Fahri yang menjurus.

“Ro.” Tiba-tiba Prisilla muncul diantara mereka.

“Nah ada Sila, nih. Sil Lo jelasin ke Lilis, kalau kita ini satu kelompok tugas.” Fahri menarik lengan Prisilla agar berdiri lebih dekat dengannya dan lilis.

“Kelompok tugas? Lilis?” balas gadis itu kebingungan.

“Iya, tugas kelompok. Lo lupa ya?” Fahri memberi kode Prisilla dengan cara mengedipkan sebelah matanya.

“Ro ....” Prisilla menatap Hero, meminta penjelasan.

Hero berdecih lalu menjawab dengan sinis. “Mereka pacaran, mereka berantem dan mereka berisik sekali!  Gue berniat bawa mereka ke alas roban, biar bersilaturahmi sama setan.”

“Busyet dah. Ke hotel aja gimana? Yang deket-deket kampus. Alas roban kejauhan kali, Ro.”

“Otak Lo mesum!” teriak Hero dan Lilis berbarengan.

“kompak amat teriaknya,” gerutu Fahri.

Prisilla yang sedari awal tidak tahu, letak masalahnya,  hanya berdiri mendengarkan sambil memandangi mereka bertiga secara bergantian. Mau nimbrung tapi tidak tahu harus mulai dari mana dan sedang membicarakan apa. Memandang wajah manis namun maskulin punya Hero saja, sudah membuat hati Prisilla berbunga-bunga.

Berawal dari perasaan simpati yang berubah jadi suka lalu berkembang menjadi cinta, harus ditutupnya rapat-rapat. Prisilla takut apabila Hero menjauhinya jika lelaki gondrong itu tahu jika dicintai olehnya, seorang gadis yang biasa-biasa saja dan tidak berpengalaman.

Sementara itu Fahri berusaha membuat kekasihnya berhenti merecokinya dan pergi dari tempat itu, karena melihat aura menyeramkan sahabatnya yang teramat sangat terganggu oleh Lilis yang bawel dan manja.

“Ri, mendingan pergi dan urus cewek Lo sekarang sebelum gue punya pikiran buat bikin kalian berdua hilang dari hadapan gue!” ucap Hero tegas dengan memandang tajam kearah Fahri.

Fahri yang mendengar ancaman itu seketika merinding, sedangkan Lilis melirik ngeri Hero. Sahabatnya sejak SMA  itu mampu bersabar menghadapi keusilannya, namun akan benar-benar nekat disaat kesabaran itu mulai di ujung batas. Dan Fahri melihat keseriusan itu pada wajah sahabatnya saat ini.

“ Lis. Gue anter Lo pulang sekarang!”

“Kok manggil Lo-gue sih, Yang?”

“Sekali lagi berisik, kita udahan!” ancam Fahri dengan marah.

Dengan wajah masam Lilis menghentakkan kedua kakinya di atas rumput secara bergantian kemudian berbalik dan berjalan menjauhi mereka tanpa berpamitan.

“Sorry, Bro,” sesal Fahri sambil menepuk pelan lengan Hero, kemudian bergegas menyusul langkah kekasih main-mainnya itu dengan wajah marah.

Hero mendesah panjang sambil mengusap kasar rambutnya yang sepundak.  Menghadapi wanita yang bawel dan manja sungguh sesuatu hal yang Hero benci. Lelaki itu sungguh-sungguh akan mengirim Lilis dan Fahri ke Alas Roban jika tidak segera pergi dari hadapannya!

“Ro.” Suara lembut Prisilla menyadarkan Hero akan kehadirannya yang sempat terabaikan oleh ulah pasangan menyebalkan barusan.

“Sil. Sorry ... sorry. Duduk gih.” Hero segera merapikan beberapa buku yang berantakan di sebelahnya.

Prisilla tersenyum, tangannya merapikan rambutnya yang sedikit berantakan oleh tiupan angin. “Makasih.” Gadis itu mendudukkan dirinya tepat di samping sang pujaan. “Gue ganggu Lo nggak?” lanjutnya dengan hati berdebar-debar. Sedekat ini dengan Hero selalu membuat jantungnya tidak sehat.

Hero menggeleng dengan senyum tipis menghiasi wajahnya yang sedikit bercambang. “Lo nggak berisik. Gue suka.”

Perut Prisilla seketika bergejolak dengan jantung yang berdebar kencang hanya dengan melihat senyuman Hero ditambah kata ‘suka’, yang hampir membuatnya terduduk lemas.

Benarkah Hero suka dengan dirinya? Pertanyaan itu mulai meracuni otaknya yang sudah penuh dengan Hero. Pesona lelaki sejuta talenta itu benar-benar membahayakan bagi kesehatan pikiran Prisilla.

Beberapa percakapan ringan mulai menghiasi keduanya. Mereka sama-sama tidak suka banyak bicara, sama-sama suka membaca dan sama-sama suka ketenangan namun, ketika mereka bertemu dan berbincang, seolah dunia baru, tercipta bagi keduanya. Hingga keasyikan itu terusik oleh suara-suara super berisik tidak jauh dari tempat mereka duduk.

“Demi apa, akhirnya Lo masuk juga kemari? Tapi ini serius ‘kan Lo pindah?” suara bernada tinggi seorang gadis berambut sebahu berwarna cokelat dengan full make-up berjalan sembari merangkul seorang gadis disampingnya yang super manis ber make-up natural dengan pakaian super modis.

Semula Hero tak menggubris keberadaan mereka, yang berjalan hendak melintas dihadapannya. Hingga gadis super manis itu bersuara -- memberikan jawaban--, Hero seketika menengadah lalu mencari sumber suara tersebut.

Mata hitam nan tajam lelaki itu membola, lelaki manis itu menatap si pemilik suara dengan lekat hingga lupa berkedip. ‘Dia di sini? Kuliah di sini?’

“Ro.” Hero berjengkit saat jemari Prisilla menyentuh pelan lengannya. “Maaf,” cicit gadis itu saat melihat reaksi Hero. “Gue panggil beberapa kali tapi Lo diem aja. Ada apa?” tanya Prisilla sedikit cemas.

“Hah, Lo ngomong apa tadi? Sorry, gue nggak denger.”

“Lo lihat apa sampai melotot begitu?” ulang Prisilla.

“Gue melotot? Masak sih?”

“Sebenarnya Lo kena---“
Ucapan Prisilla terhenti disaat tiga orang gadis dengan suara berisik lewat dihadapannya. Perasaan nyeri tiba-tiba menyergap di dadanya, tatkala melihat Hero tengah mencuri pandang kearah si gadis berpenampilan modis yang berjalan di tengah. Mata lelaki itu berbinar bahagia.

“Nadia!” teriakan seorang lelaki  tiba-tiba terdengar dari arah samping gadis-gadis itu, membuat si empunya nama berpaling.

  Akan tetapi entah karena apa, tiba-tiba kaki sebelah kanannya terpeleset.  Pemilik tinggi 155 cm itu tidak mampu menyeimbangkan tubuh berisinya sehingga limbung, dan membuat teman yang merangkulnya ikut terjerembap.

Namun, anehnya, tubuh kedua gadis itu tertahan diudara, nyaris menyentuh tanah. Perlahan tubuh keduanya kembali berdiri tegak, seperti ada dorongan halus yang membantu mereka agar tidak terjatuh.
Kejadian itu berjalan cepat tetapi kedua gadis itu menyadari keganjilan tersebut, serta meyakini bahwa ada kekuatan gaib yang menolong mereka.

“Nad, Lulu.  Kalian nggak papa ‘kan?” gadis yang satunya lagi berseru sambil memeriksa tubuh mereka berdua dengan kuatir.

Kedua gadis itu serempak menggeleng dengan wajah yang masih pucat pasi. Lalu keduanya menarik lengan temannya dengan cepat kemudian bergegas meninggalkan tempat itu.

Sementara itu Hero memutus pandangannya dari ketiga gadis tersebut, sambil menghela napas lega. Senyum manis terkembang  di wajah rupawannya.

Prisilla yang mengamati semuanya, semakin merasakan sakit di dada lalu memutuskan untuk beranjak dari bangku kayu itu, meninggalkan Hero yang masih saja tersenyum tanpa menyadari kepergiannya.


“Nad, itu tadi pasti ulah hantu penunggu pohon besar yang sering di bicarakan sama anak-anak kampus. Gue yakin!”



 







Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 08, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MY NAME'S HEROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang