Nightride.

1 0 0
                                    

Bayang gelora harsa menguasai jalanan malam, suara amukan motor menggelegar, mengguncang.

Senyum bebas terlukis diwajah ku, rasanya duka dan luka ku sirna terbawa sarayu malam. Lampu jalan kota berkilau dinetra ku, bahkan bulan purnama sempurna memenuhi pandanganku.

Aku meraih tanganku seakan ingin meraih tuan chandra, "Bulannya cantik banget!" ujar ku dikala suara ku terbawa angin.

"Hah?!" teriaknya, mungkin ia tak mendengar suaraku. Wajar saja, kecepatan motor yang tengah kami bawa kini sudah berada di kecepatan 100, limit. Tidak hanya kami, bahkan temanku yang lain.

"BULANNYA CANTIK!!" Aku semakin meninggikan suaraku.

Ia tersenyum, "Oh. Iya ya, cantik banget." ucapnya.

Kami terus berkendara bak penguasa jalanan malam ini, harsa tiada akhir ku rasakan, akhir aku bisa merasakan ketenangan walau nyawa ku berada diambang maut.

Bukan berarti aku ingin mati.

"HAAAAAAA CAPEK BANGET TAPI UNTUK MALAM INI CAPEK NYA HILANG!!!!" teriakku.

Einthara tertawa lepas mendengar ku, "Udah deh, puasin senang-senang nya malam ini."

Aku dan Einthara banyak mengobrol, walau terkadang suara angin membungkam suara kami.

Sesekali aku menyapa teman ku yang tengah dibonceng sang kekasih, Nakula.

"NAKULAA, LIAT DEH ITU!" ujar ku menunjuk ke langit malam, yakni sang bulan.

Nakula dan Yudarma melihat keatas, "APASIH, ITU RUMAH ANGKER NGAPAIN KAMU NUNJUK ITU!" teriak Nakula yang tampak bingung.

"Eh? Aku nunjuk bulan bukan rumah itu, goblok!"

Yudarma menertawai kebodohan mereka, Nakula pun ikut tertawa.

Tatkala, salah satu dari rombongan kami menepi, melambaikan tangannya sebagai arahan. "Nepi bentar dulu." ucap Randhika.

Kami semua pun menepi, mengikuti arahannya. Iqbal menepi tepat disebelah Randhika, "Kenapa?" tanya nya.

"Ayo nongkrong, masa mau dijalanan terus tanpa tujuan. Kalian engga lapar gitu?" tanya Randhika.

Aku pun teringat akan suatu hal, "Bagaimana kalau ke tempat mama aku kerja? Mama aku kebetulan kerja di Cafe, deket sini kok." ucap ku.

Nakula tersenyum membalas saran ku, "Bagus tuh! Ayuk kesana aja!"

Mereka semua menyetujui saran ku, Randhika kembali menghidupkan mesin motornya "Yaudah, jalan depan biar kalian yang bawa jalan."

Einthara pun langsung melaju ke depan dengan kecepatan sedang, sedangkan yang lain mengikuti dari belakang. "Ein, bawa nya pelan aja, aku masih trauma." ucapku sembari menepuk pundak Einthara.

"Siap, boss. Tenang aja deh kalau sama aku," ucapnya meyakinkan.

Tapi mustahil bagi seorang Einthara. Jalanan yang kebetulan sepi menjadi kesempatan baginya, ia pun menaikkan kecepatan motornya. Entah kenapa aku tidak merasa takut, jantungku berdegup kencang namun bukan ketakutan. Yang kurasakan adalah keseruan.

Aku tertawa bebas, aku tidak merasa takut lagi.

"Lah? Hahaha, tadi katanya takut?" tanya Einthara yang tampak mengolok ku. Aku terkekeh, "Seru banget!" ujarku.

"Dimana nih tempatnya? Jangan ketawa-ketawa terus!" tanyanya.

"Oh iya! Hm... Itu didepan, terus aja!" ucapku seraya menunjuk kearah cafe dengan lampu senja nya sebagai penyambut.

Life; FantasizeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang