Last Love.

0 0 0
                                    

Aku mengejar mu lama, bak menggapai bintang. Engkau lah bintang ku, kasih ku. Tidak, aku tak pantas memanggilmu itu. Kau bukan milikku, Irmanu. Aku hanya menjaga mu, itu saja.

Sorak sorai memenuhi indra pendengaran ku. Harsa tiada akhir, aku dapat melihatnya dari senyum yang terukir dari orang disekitar kita.

Aku melihat dari jauh. Menahan rasa kaget ku. Marah, sedih, kecewa, bahagia campur aduk. Aku sudah tahu sedari awal aku takkan pernah mendapatkan mu. Tuhan hanya menitipkan dirimu sejenak kepada ku, sampai kau benar-benar bertemu dengan dama mu sendiri.

Bodohnya diriku, pikirku sembari mengusap air mata yang terus keluar tanpa henti, tak jarang aku memukul kepala ku karena rasa amarah.

Semua orang menatap ku dikala ku mengeluarkan suara tangis. Namala, menatap ku kaget. Ia terlihat shock saat melihat ku menangis tanpa suara.

Irmanu? Ia menatap ku dengan tatapan kaget juga. Semua nya diam.

Aku menyadari semua mata tertuju padaku. Aku tersenyum tentunya, bagaimana tidak? Orang yang ku sukai ternyata melamar sahabat ku sendiri, didepan mataku? Wah.

Aku tertawa bahagia, bertepuk tangan bak di tengah acara sirkus. Tawa ku menggelegar.

"Shiewlle? K-kamu kenapa?" tanya Namala seraya melangkah mendekat kearah ku. Ia menyentuh pundakku, namun aku menghindar.

Aku terkekeh gugup, "Haha? Hahaha? Kau? Bertanya kenapa?" ucap ku seraya mengusap air mataku.

Aku tersenyum lebar akhirnya, membiarkan air mata ku terus mengalir bak sungai tiada ujung, "Melihat orang yang kusukai ternyata melamar sahabat ku sendiri didepanku? Sirkus apa ini?" ucap ku.

Aku melangkah mundur, dengan keadaan sempoyongan aku berusaha berlari dari ruangan kelas. Aku berlari sekuat tenaga sampai akhir tiba di toilet perempuan.

Diriku menangis sesegukan, mengeluarkan semua nya. Tak bisa, tak kuasa aku menahan ini. Oh, Yang Maha Kuasa.

Diriku bodoh, diriku ini sangatlah bodoh.

Keluarga ku yang hancur tak karuan, memaksa ku menjadi sempurna, tak memikirkan perasaan anak-anaknya, dipatahkan oleh cinta, merasa tak pantas hidup dikala ku mendapat nilai yang tak memuaskan bagi ku, sakit-sakitan sampai harus terus-menerus meminum obat yang pahit nya luar biasa.

Cukup, sudah.

Mungkin aku emang sudah ditakdirkan untuk pulang saat ini.

Aku berlari keluar dari toilet, melangkah dengan cepat agar orang-orang tak melihat bekas tangisanku.

Siulan sarayu menyambut ku hangat. Tat kala ku mengingat sesuatu, hal yang paling aku hindari selama ini. Kematian.

Disini lah aku berusaha menarik kakak lelaki ku satu-satu nya, hanya aku sendiri yang melihatnya. Tidak, aku tidak berusaha untuk menyelamatkannya.

Di depan mataku, ia melompat terjun kebawah. Pacarnya yang melihat itu, patah hati luar biasa. Karena tak kuasa menahan, ia pun ikut melompat. Manusia-manusia bodoh, pikirku saat itu.

Kak Kapten jahat banget. Engkau meninggalkan, semua beban dunia dilimpahkan kepadaku saat ini.

Kisah cinta ku, berakhir disini. Aku akan menghilang kan rasaku, begitu juga diriku. Aku melangkah dengan perlahan, mendekati penghujung atap sekolah.

Aku mendengar suara langkah kaki, dan berbalik. "Ngapain?" ucap ku sendu.

"Shiewlle.. Ak—"

"Oh, Manu?"

"Yaudah, jaga Namala baik-baik, ya? Aku akan menghilang rasaku, begitu pula diriku. Dengan begitu, kalian akan bahagia." ucapku lagi dengan tersenyum.

Irmanu mendekat, berusaha menggapai tangan ku, namun aku menepis nya. "Kenapa? Kamu mau ngapain? Jangan buat hal yang sama kayak kakak kamu lakuin disini."

"Dengan seenaknya begitu kau membawa perihal kakakku?"

Deg! Irmanu tampak kaget serta merasa bersalah. Wajahnya, tampak bersalah.

"Bukan saat nya merasa bersalah sekarang."

"Ya... Terima kasih, ya. Pada akhirnya aku takkan pernah mendapatkan mu juga."

Tiba-tiba langit mendung. Derai hujan sedikit demi sedikit mulai jatuh. Waktu yang pas.

"Shiewlle, ayok masuk. Ini hujan," ujar Irmanu yang berusaha menarik tangan ku lagi, namun tetap ku tepis.

Aku menangis sejadi-jadinya, sembari menatap ke langit atas. "Karma itu nyata loh, Irmanu."

Itulah kalimat terakhir ku pada Irmanu, aku melompat tanpa rasa gugup. Aku mendengar teriakkan Irmanu, namun takkan ada gunanya.

I Can't Save Us, My Atlantis We Fall. —Seafret.

Life; FantasizeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang