Devson membawa Yosan jalan jalan bersamanya. Anak itu pun menurut dan ikut Devson jalan-jalan. Saat melewati sekolah pandangan Yosan tertuju pada sekolah tersebut. Ingin rasanya Yosan sekolah. Tapi mau bagaimana lagi, Yosan tidak memiliki banyak uang untuk mendaftar sekolah.
Yosan melihat anak-anak yang berlari kesana kemari karena sedang waktu istirahat. Kedua tangan mungilnya memegang besi gerbang sekolah sambil menyisir pandangannya ke seluruh lingkungan sekolah yang bisa ia jangkau. Devson menekuk kakinya dan mensejajarkan diri dengan Yosan. Ia ikut memperhatikan apa yang tengah Yosan perhatikan.
"Kamu ingin sekolah?" Tanya Devson yang di angguki oleh Yosan
"Sudahlah, kita lanjut jalan jalan saja sambil berbelanja untuk kita makan" Devson menggenggam tangan kecil milik Yosan dan membawanya pergi dari sekolah tersebut. Lama lama Devson bisa terbawa suasana melihat Yosan bersedih.
Devson mengajak Yosan ke taman bermain. Ia membelikan Yosan bola untuk anak itu bermain.
"Taraaa kamu suka ga?" Tanya Devson menunjukkan bola itu di depan Yosan
"Waaahhh itu buat Yosan om?" Tanya Yosan antusias. Matanya berbinar merasa senang Devson membelikannya mainan. Jika begini kan Yosan tidak bosan menunggu Devson pulang kerja.
"Iya, ayo main" Devson meletakkan bola itu di depan kaki Yosan. Lalu ia mundur sekitar sepuluh langkah dan mengarahkan Yosan untuk menendang bolanya. Dengan canda tawa mereka bermain bersama hingga tak terasa hari mulai petang.
"Yosan, ayo pulang. Sudah hampir malam" Devson menyudahi acara bermainnya dengan Yosan dan mengajak Yosan pulang.
Anak itu menurut dan menendang bola dengan pelan sepanjang perjalanan. Sebelumnya ia tak pernah bermain bola, tapi ini begitu menyenangkan. Devson memandang Yosan yang sibuk menendang bola sepanjang perjalanan. Mengingatkan masa kecilnya dahulu. Mirip seperti Yosan, dia pun pernah bermain bola saat pulang menuju rumah.
Ngomong-ngomong soal rumah, bagaimana keadaan orangtuanya sekarang? Devson merindukan mereka. Tapi ia tak bisa kembali karena orangtuanya sudah mengusirnya dari rumah atas kesalahan yang telah ia perbuat.
Malamnya, Yosan tertidur. Sedangkan Devson sibuk dengan ponselnya mencari artikel yang ia inginkan. Ia ada niatan untuk mengadopsi Yosan sebagai anaknya. Ia mencari artikel di internet prosedur dan tata caranya. Tidak mungkin kan Yosan tinggal dengan Devson selamanya tanpa status yang jelas. Nanti orang-orang akan bertanya-tanya.
Setelah Devson membaca beberapa artikel dia mulai keluar rumah untuk mempersiapkan berkas berkas yang dibutuhkan. Tengah malam, Devson berhasil mengumpulkan dokumen dokumen yang dibutuhkan untuk mengadopsi Yosan. Pria itu tidur di samping Yosan dan mengusap ngusap pucuk kepalanya. Semoga tuhan permudahkan semua urusannya dan niat baiknya.
Paginya Yosan dan Devson sedang bercengkrama di teras rumah. Mereka mengobrol dengan santai layaknya ayah dan anak.
"Yosan mau punya ayah ga?" Tanya Devson
"Emang bisa om?" Tanya Yosan polos
"Bisa dong, kalau Yosan jadi anaknya om Dev mau ga?" Tanya Devson penuh harap. Semoga anak itu mau. Devson sudah terlanjur nyaman hidup bersama anak kecil itu. Dunianya jadi tidak terlalu sepi semenjak ia membawa Yosan bersamanya.
"Kalau om tidak keberatan Yosan mau aja" kata Yosan sambil memamerkan senyum manisnya membuat Devson gemas. Ia mengacak-acak pelan rambut Yosan yang sudah mulai panjang seperti Devson.
"Mulai sekarang namamu adalah Aryosan Malik Devson" kata Devson kepada Devson
"Aryosan Malik Devson" Yosan mengulang apa yang dikatakan Devson
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Selamanya Buruk
Teen FictionMenceritakan seorang anak laki-laki bernama Yosan yang hidup sebatang kara. Ia seorang penjual tisu dan air mineral di jalanan. Kesehariannya menjual tisu dan air mineral di padatnya jalanan kota untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebuah tragedi y...