Lima

3 0 0
                                    

Ngomong-ngomong bagaimana hari pertamamu sekolah?" Tanya Devson saat beberapa menit mereka terdiam.

"Mmm, tidak buruk" jawab Yosan membuat Devson penasaran. Hari pertamanya sekolah hanya mengenakan pakaian biasa karena Devson belum membelikannya seragam. Jadi ada beberapa anak yang mengejeknya.

"Tidak mau cerita sama Papa?" Tanya Devson

"Baiklah baiklah, Yosan cerita. Hari pertamaku sekolah menyenangkan, agak takut juga... But, everything is Ok" kata Yosan

"Wah sudah bisa berbahasa Inggris ya sekarang?" Tanya Devson antusias melihat perkembangan Yosan yang begitu meningkat walau itu hari pertamanya sekolah.

"Iya Pa... Miss Devina yang ngajarin. Pas Yosan ragu, Miss Devina bilang 'everything gonna be Ok'. Lalu Yosan bertanya sama Bu guru artinya apa?"

"Buguru jawab 'semuanya akan baik baik saja'" Yosan menjelaskan

"Wah, baik sekali ya Miss Devina" kata Devson sambil mengacak-acak pelan rambut putranya.

"Iya Pa, Yosan jadi percaya diri karena Miss Devina. Rasa takut Yosan Boom!... Menghilang begitu saja" anak itu meninjukan tangannya ke udara dengan semangat.

"Lalu, bagaimana dengan teman-temanmu? Apa mereka baik padamu?" Tanya Devson mengorek lebih dalam kegiatan putranya hari ini.

"Mereka baik" jawab Yosan singkat mengundang curiga Devson.

"Apa mereka berbuat tak baik padamu?" Tanya Devson

"Ngga juga" jawab Yosan

"Lalu, kenapa kau tak mau cerita tentang teman-temanmu di sekolah?" Tanya Devson

"Ah Papa... Ini kan hari pertamaku sekolah... Tidak secepat itu aku mendapatkan teman. Ini juga pengalaman baru bagiku" rengek Yosan saat Devson bertanya dengan penuh intimidasi.

Devson tersenyum tipis. Ia bisa memaklumi itu. Pengalaman baru, masih dalam proses. Putranya memang benar, tidak akan secepat itu bisa mendapatkan teman. Mungkin besok, atau lusa putranya baru mendapatkan teman.

Sesampainya di rumah, Devson di sambut oleh ibunya yang duduk manis di depan teras rumah sederhana milik Devson. Kali ini auranya berbeda, mungkin ibunya tidak akan membuat masalah hari ini.

Diturunkannya perlahan Yosan yang berada di punggungnya. Anak itu mengeluh cape karena berjalan jauh bersama Devson, maka Devson menggendongnya karena tak tega membiarkan Yosan berjalan lebih jauh lagi.

"Darimana?" Tanya ibu Devson kepada putranya yang baru kembali bersama anak kecil itu.

"Menjemput anakku setelah kerja" jawab Devson seadanya. Mata wanita itu menyipit mendengar putranya mengatakan bahwa anak kecil itu adalah anaknya.

"Apa? Anakmu? Haha, ga usah boong sama Mama... Nikah aja ngga, kok punya anak" wanita itu berdecih mendengar penuturan putranya.

Devson tak peduli dengan perkataan ibunya. Ia membawa Yosan masuk dan menyuruh Yosan segera mengganti pakaiannya sementara Devson membuatkan makan siang. Anak itu menuruti perkataan Devson tanpa banyak protes.

Wanita itu memberengut sebal karena putranya tak menghiraukannya. Ia masuk dan kembali berbicara dengan anak bungsunya itu.

"Wanita mana yang kau rusak sampai anak itu sudah sebesar itu" wanita itu bersidekap menginterogasi putranya.

"Jaga mulut Mama! Walaupun aku brengsek, tak pernah sekalipun aku merusak perempuan! Walaupun aku pernah di sakiti perempuan, aku tak sebrengsek itu untuk melampiaskan ke perempuan lain" kata Devson dengan kesal.

Devson meletakkan makan siang yang ia buat di meja makan. Setelah itu dia masuk ke kamarnya untuk melihat putranya. Rupanya putranya itu sedang melihat seragam baru yang diberikan oleh sekolah.

"Dapat seragam baru?" Tanya Devson duduk di samping Yosan

"Eh Papa... Iya Pa... Kata Miss Devina yang ini untuk hari Kamis" Yosan menunjukkan seragam batiknya.

"Terus ini, untuk olahraga Pa" Yosan menunjukkan seragam olahraga berwarna biru muda dan hitam itu.

"Terus ini kata Miss Devina baju identitas buat dipakai hari Rabu Pa" Yosan menunjukkan seragam dengan celana hitam dan kemeja putih dipadukan dengan rompi berwarna biru dongker.

Devson tersenyum melihatnya. Tidak salah ia memilih sekolah untuk Yosan. Fasilitas yang diberikan juga tidak diragukan lagi. Devson harap, kelak Yosan akan menjadi orang sukses yang bisa membuat Devson bahagia.

"Ya sudah, ayo makan dulu" Devson mengajak Yosan ke meja makan.

"Woah... Papa buat ini? Baru pertama kali ini Papa masak ayam goreng" Yosan sangat senang sekali.

"Iya dong, masa Papa masak telur dadar terus" Devson mengacak-acak rambut Yosan dengan gemas.

"Makasih Papa" kata anak itu dengan tulus

"You're welcome Son" balas Devson sambil memandangi putranya makan. Hal itu membuat Mama Devson heran dengan kelakuan putranya. Seorang Devson berbicara selepas itu dengan anak kecil? Sungguh keajaiban tak
...,.... terduga.

"Artinya apa Pa?" Tanya Yosan dengan mulut penuh.

"Sama sama" Mama Devson menimpali pembicaraan mereka.

"Jangan berbicara kalau lagi makan Yosan" Devson mengingatkan Yosan. Anak itu hanya memamerkan deretan giginya yang rapi.

"Nenek mau makan?" Yosan menawarkan makan kepada Mama Devson.

"Nggak, kalian aja. , sudah makan dirumah. Lagipula kalau saya makan disini pasti kalian akan kekurangan" perkataan wanita itu begitu sombongnya. Yosan mengendikkan bahu dan melanjutkan makannya bersama Devson.

"Dev, Mama pulang dulu. Baik-baik kamu, jangan berbuat macam-macam yang bisa mempermalukan keluarga Antasena" kata Mama Devson sebelum meninggalkan rumah putranya.

"Nggak akan, lagipula aku tidak memakai nama Antasena lagi" balas Devson dengan sinis.

Wanita itu perlahan pergi dengan sedih. Sebenci itukah putranya pada keluarganya sendiri? Apa yang harus wanita itu lakukan agar putranya mau kembali ke rumah?

Sang sopir pun bertanya-tanya saat melihat ekspresi wajah istri majikannya begitu mendung tak seperti biasanya. Ini baru pertama kali sopir itu mengantarkan nyonya nya ke rumah putra bungsunya. Ia tak pernah tau kalau wanita itu memang akan selalu bersedih setelah mengunjungi rumah putra bungsunya.

"Udah Pulang Ma?" Tanya Dinanta melihat istrinya pulang dengan wajah sedihnya. Dinanta tau darimana istrinya pergi hingga ekspresinya menjadi seperti itu. Istrinya juga langsung masuk ke kamarnya tak tahan ingin menangis.

Dinanta menghela nafas lelah. Disusulnya istrinya ke kamar untuk menghiburnya. Dinanta juga tidak ingin putra sulungnya menjadi seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi, putranya itu mungkin selalu tertekan selama ini hingga tak sudi untuk kembali ke rumah. Bahkan sepertinya Devson sangat membenci keluarganya sendiri.

"Sudahlah, kita harus membujuknya pelan-pelan... Bagaimanapun dia tetap putra kita. Mungkin ini karma dari tuhan kepada kita yang memperlakukan Devson dengan tidak adil" Dinanta mengusap-usap kepala istrinya yang sedang menangis tersedu di atas bantal.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 29 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tak Selamanya BurukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang