3

1 0 0
                                    


Oberpfalz, 20 Mei 2018

Ruang kosong itu begitu rapi, bahkan tak ada debu yang akan kau temukan di sana. Pemilik rumah merawat ruangan ini, seperti ia merawat dirinya sendiri yang sering ke salon hanya untuk memotong kuku kaki. Ruang penuh buku, kertas-kertas gambar, dan foto besar keluarga kecilnya.

Duduk, memandang foto besar di samping jendela. Musim panas terakhir tahun ini. Menunggu daun-daun di luar mulai rontok dan menjadi sampah jalanan. Musim gugur, gumamnya. Arabell memejamkan mata seakan ia ingin menembus waktu dan jarak, 10.515 kilometer dari Munich, dengan perbedaan waktu 5 jam di musim panas.

Jemarinya meraih ponsel di nakas tepat samping sofanya dan mendapati di seberang benua air ini matahari tengah bersinar terik, setidaknya itu yang ada di international weither di ponselnya. Lagi, matanya terpejam.

"Ibu, apa yang sedang ibu lakukan?" suara gadis kecilnya menggema di ruangan. Arabell menemukan gadis itu berdiri di hadapannya. Arabell meraih tangan gadis kecil itu dan memangkunya.

"Ibu merindukan ayah?" gadis itu masih menatap dengan mata bulatnya yang penuh.

Arabell hanya tersenyum dan mencium kedua pipi putrinya.

"Alarice sayang, ibu memang merindukan ayahmu." Gadis itu hanya bisa memeluk Ibunya dengan hangat, sehangat das Fruhjahr.

*****

Alarice. Hanya gadis kecil usia 7 tahun. Tak tahu apa-apa. Yang dia tahu saat ini adalah ayahnya sedang pergi pulang kampung. Pulang ke Negara asalnya, Indonesia. Teman Ibunya pernah bilang bahwa tempat kelahiran ayahnya begitu indah, selayak surga. Mungkin wanita itu pernah mengintip bagaimana suasana di surga.

Tapi bagi Alarice sekarang, Oberphalz lebih menyenangkan dari apapun. Kota ia dilahirkan, kota ia menuntut ilmu, dan kota dimana ia bersenang-senang dengan ibu dan ayahnya.

Alarice ingat saat ia baru masuk sekolah, teman ibunya yang datang dari kampung yang sama dengan ayahnya, pernah menjanjikan dirinya untuk untuk mengunjungi Indonesia, tanah ayahnya di lahirkan. Dan sekarang, jauh di lubuk hati Alarice, ia ingin sekali terbang ke Indonesia, menemui ayahnya.

"Apa ayah tidak menelpon, Bu?" Tanya Alarice saat sampai di meja makan.

"Tidak. Mungkin ayah sibuk, Al." kini makanan favorit Alarice sudah siap, telor ceplok kata ayahnya. Sebelum ayahnya pergi, selalu ayahnya yang membuatkan sarapan.

Bukan hanya makanan, ayahnya selalu mengajarkan segala hal tentang Indonesia. Salah satunya Bahasa Indonesia, di rumah, Alarice terbiasa bicara bahasa Indonesia dengan ayah dan ibunya. Meskipun logat Jermannya masih begitu kental, tapi cukup baik untuk Alarice yang sehari-hari hidup dengan bahasa Jerman.

Alarice menahan sendoknya di depan mulutnya. Menatap ibunya yang duduk di seberang meja. "Bu, apa hari ini tante akan datang? Aku ingin minta tiket ke Indonesia."

*****

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 15, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SHELLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang