2

12 0 0
                                    

"Malang nian nasibmu," gumamnya.

Laki-laki muda ini tak pernah menyangka akan bertemu wanita di hadapannya dengan keadaan seperti ini. Atau memang ini cara yang tepat setelah apa yang wanita itu lakukan pada keluarganya 10 tahun silam.

Ia masih ingat saat dirinya terus menerus menangisi keadaan wanita itu di setiap malam. Menanyakan apa wanita ini masih hidup atau sudah mati seperti sekarang?

Ya, sekarang wanita itu sudah mati. Membawa sejuta rasa bersalah yang tak pernah termaafkan olehnya, kakaknya, dan juga ayahnya yang telah mati pula bersama rasa cintanya.

"Dia sudah mati."

"Aku tau."

Mereka hanya menatap wanita itu.

"Apa kau menyayanginya Kak?"

Pria yang di tanya diam. "Dia ibu kita, bagaimana bisa aku tidak menyayanginya."

Bayangan masa lalu itu tak akan pernah lepas dari ingatannya. Coda yang masih kecil selalu menanyakan kemana wanita ini pergi, masih hidup atau sudah matikah ia. Saat itu ia hanya bisa menjawab, "Jangan diingat, nanti kamu bisa gila."

Tapi laki-laki kecil ini terus mencari wanita berhati batu itu. Tak pernah menyerah. Hingga Coda melihat wanita itu turun dari mobil mewah bersama pria yang tidak ia kenal.

"Ibu..." sapa Coda kala wanita itu sendirian menunggu pria yang bersamanya tadi mengambil mobil di parkiran.

"Coda! Kamu ngapain disini?" Suara wanita itu begitu panik di telinganya.

"Coda... kangen Ibu."

"Tapi..."

"Coda mau sama ibu."

Mobil itu berhenti di hadapan mereka. Tiba-tiba saja wanita itu mengeluarkan dompet dan memberikannya banyak uang pecahan seratus ribu hingga tangannya tak muat menampung.

"Pulang Da, ibu pasti kasih apa yang Coda mau. Tapi, jangan pernah datangi Ibu lagi. Ini yang terakhir."

Dalam diam Coda melihat Ibunya sendiri tega meninggalkan dirinya sendirian. Bahkan dengan kejam, menghujaninya uang dan meminta anaknya sendiri tak menemui ibunya. Apa ada yang lebih kejam dari ini?

"Ayo pergi. Jangan sampai mereka melihat kita disini."

* * * * * *

Bara sama sekali tidak menyangka kepulangannya disambut dengan berita duka. Hayati, ibu tirinya mati bunuh diri. Tapi Mahendra menutupi dengan mengatakan bahwa itu kecelakaan pada seluruh media. Polisi yang menangani kasus ini bahkan mengiyakan permintaan Mahendra untuk mencari penabraknya dan dijadikan kambing hitam. Sebegitu besarkah kuasa seorang Mahendra Putra.

Ada rasa tak percaya, wanita sebahagia Hayati yang hidup dengan segala kemewahan dan rasa cinta luar biasa dari suaminya bisa bunuh diri. Bukankah bunuh diri identik dengan frustasi? Pikir Bara.

"Frustasi?"

Tenggelam dalam pikirannya, bangku yang ia duduki terasa tidak nyaman. Ada rasa khawatir dan takut yang menyerang begitu saja. 8 tahun silam.

"Rasa bersalah ini tak pernah bisa hilang. Rasa frustasi itu hadir karena aku, aku yang membuat dirimu menjadi seperti ini." Hati Bara tercekik rasa bersalah, tanpa sadar tangannya meremas dadanya sendiri begitu keras.

"Bara," suara parau itu menyadarkan Bara dari kesakitannya yang tak Nampak. Pria paruh baya itu duduk di samping Bara, sama-sama tenggelam dalam diam.

"Pa, Bara turut berduka." Bara memulai obrolan mereka, berharap kesunyian yang menyakitkan ini lenyap. Tapi, Mahendra masih diam. Air matanya terjun bebas begitu saja, tak sanggup menahan rasa paling menyakitkan di dunia untuk kedua kalinya.

Bagaimana lagi ia bisa bertahan, Hayati, 1 alasan bahagia dalam hidupnya. Hayati, cinta pertama dan terakhir baginya. Kadang ia berfikir, tidakkah terlalu tua baginya untuk bicara tentang cinta? Tapi bukankah cinta tak pernah datang dengan sebungkus alasan?

Sayang, air mata itu kian berubah menjadi ratapan mengerikan. Dalam sebuah agama, meratapi orang yang sudah mati justru akan membuat sulit yang mati. Dan yang hidup justru semakin terlena oleh ratapannya.

Bara tak pernah peduli dengan ratapan itu, walaupun ratapan itu bisa membuat orang yang di sampingnya mati karena serangan jantung. Banyak penelitian yang menyatakan bahwa orang yang terlalu sedih atau terlalu bahagia bisa mati karena serangan jantung. Tapi Bara terlalu sibuk dengan angannya sendiri. Apa mungkin Mahendra melakukan hal yang sama dengan kekasihnya itu? Seulas senyum samar menghias wajah tenangnya.

******

SHELLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang