1

41 3 3
                                    

Jakarta, 3 September 2014

Naomi duduk lemas di luar pintu keberangkatan bandara Soekarno-Hatta. Ia menyesal telah datang terlambat ke tempat ini. Tidak, Naomi tidak akan terlambat jika wanita tua di jalan itu bisa menyeberang dengan benar dan tidak tertabrak. "Dasar wanita bodoh!" maki Naomi.

Mata merahnya masih menatap ujung sepatu runcingnya. Ia masih tidak menyangka bisa sesial ini. Hilang sudah kesempatannya untuk berangkat ke Turki bersama bos besarnya, Karim Sanjaya.

5 menit keberangkatan, Naomi baru saja turun dari taksi, masih cukup waktu untuk sampai di dalam jika ia cepat lari. Tapi tak sempat kakinya melangkah, sebuah pesan baru saja masuk ke ponselnya. Agung, ajudan Tuan Karim.

Ada pesan dari Karim untukmu, tak ada toleransi bagi mereka yang telat barang 1 menit pun. Naomi Zhang, kamu di pecat.

Kalimat itu terus terngiang di ingatan seorang Naomi Zhang, mengutuki semua yang terjadi 1 hari ini. Seakan sia-sia pengorbanannya bekerja keras di perusahaan Sanjaya Co. cita-citanya untuk menjadi sekretaris seorang Karim Sanjaya yang terkenal tampan dan mapan musnah sudah. Hanya 1 minggu Naomi di beri kesempatan bekerja di perusahaan yang memproduksi makanan instant terlaris di negeri ini, dan sebuah kesalahan yang tidak ia lakukan, ia di pecat.

Dan kini, nasibnya justru terlunta-lunta di pinggir teras bandara. Tanpa pekerjaan, tanpa uang satu sen pun.

* * * * * *

Apa yang bisa diharapkan dari para pewarta di negeri ini? Selain opini dan gosip? Seakan fakta yang ada di sekitar dianggap sampah yang patut didaur ulang menjadi hal yang menurut mereka lebih menggiurkan, dan diterima layaknya hidangan surgawi.

Dia tahu pewarta-media busuk itu sudah menunggunya di pintu utama kepulangan bandara Soekarno-Hatta. Sayang, lelaki 30 tahun itu tidak bodoh. Dia tahu kepulangan yang sudah ia tutupi selama ini bocor di kalangan media. Jalan yang dia harusnya lewati hanya dilewati oleh Mikayla Fernanda, adik sepupu yang sengaja menjemput dirinya ke Jerman.

Pria itu Bara Mahendra.

Anak tunggal dari Mahendra Putra. Seorang pebisnis bidang konstruksi yang teramat sukses. 8 tahun lalu, Mahendra mengirim anaknya, Bara untuk membangun bisnis di Jerman. Banyak rumor yang mengatakan kepergian Bara karena kehadiran seorang perempuan baru di rumah mereka. Hayati, istri kedua Mahendra setelah meninggalnya Elyta Gusman, 2 tahun sebelumnya. Rumor itu mengatakan, Mahendra tidak ingin Bara menjadi penghalang di antara mereka. Ada pula yang mengatakan, Bara yang meminta pergi karena kehadiran Hayati yang teramat mengganggu dirinya.

Sayang, rumor itu berakhir bak debu kaca mikrolet, terabaikan. Hilang begitu saja tanpa ada lagi berita tentang pria muda kaya yang digilai banyak wanita itu.

Tapi 1 minggu lalu, nama Bara Mahendra kembali terdengar setelah beredar kabar Mahendra meminta anaknya untuk pulang ke tanah air, dan meneruskan perusahaan konstruksinya disini. Mahendra sudah terlalu tua untuk sibuk di perusahaan, ia ingin menikmati masa tuanya bersama Hayati.

"Kau baik-baik saja Bara?"

Orang yang menanyakan keadaannya terlihat sedikit khawatir. Bagaimana tidak, sejak turun dari pesawat, Bara terus memijat kening kepalanya. "Tidak masalah Wan, hanya jetlag. 16 jam di pesawat membuatku seperti wanita baru hamil, amat melelahkan."

Bara masih terus memijat keningnya perlahan. Rasa mual dan pusing itu terus menguasai dirinya. Tiba-tiba Irwan nenarik paksa tubuhnya hingga Bara mundur ke belakang dan tersadar ada wanita yang hampir saja dia tabrak.

"Bara!" Irwan masih terus memegang lengan sahabat sekaligus bosnya itu.

Bara menarik nafas panjang dan mulai mengamati wanita di depannya. Wajah itu terlihat panik dan mematung. Tapi bukan itu, "Naomi?"

"Saya... saya minta maaf, Tuan," suara gadis itu gemetar melihat laki-kaki parlente di hadapannya. Dia yakin laki-laki ini bukan orang sembarangan.

Suara tawa Bara pecah begitu saja, diikuti senyuman manis Irwan. Bara yakin wanita di depannya ini tidak ingat siapa dirinya.

"Naomi, kamu Naomi Zhang kan?"

"I... iya, saya..." wanita itu merasa mulai mengenali laki-laki parlente itu, senyuman yang dulu membuatnya gila di masa SMA.

"Ba... Bara?! Kamu Bara Mahendra?"

"Lihat Wan, ada wanita cantik yang telah melupakan ketampananku ini." Canda Bara yang kembali tertawa pecah bersama Irwan.

* * * * * *

SHELLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang