AWAL.

59 5 0
                                    

Pemakaman. Tak pernah sepi peziarah meski sedang tak ada yang mati. Wangi bunga kamboja dan air mawar seperti pengharum ruangan penuh arti. Isak tangis bagai alunan pasti tanda ketiadaan. Semua tahu tangis tak akan membangkitkan mereka yang sudah mati, begitu yang sering mereka ucap.

Kematian adalah sebuah awal pasti dari kehidupan. Semua akan berakhir di tempat ini, pemakaman. Seseorang yang sedang berdiri di balik dedaunan kamboja di tengah pemakaman itupun mengerti, ini adalah awal dari ketiadaan, dan juga awal dari kehidupan. Sedikit senyum penuh arti yang tak akan pernah di mengerti oleh siapapun.

Pemakaman yang sedang berlangsung di hadapannya seperti riuh sirkus, hanya saja ini berganti raungan dan tangisan. Percayalah, itu hanya akan terjadi hari ini. Besok, lusa, dan hari berikutnya semua akan berjalan normal. Seakan ini semua tak pernah terjadi, seakan yang mati hanya sedang menikmati liburan ke luar negeri, begitu pikirnya.

Langkah kakinya meninggalkan tanah makam yang basah karena hujan di pagi buta. Seakan membantu si tukang gali kubur untuk memudahkan pekerjaannya. Tak perlu bertegur sapa dengan para pelayat, itu akan mempersulit keadaan yang sudah dengan mudah ia ciptakan.

"Jika Tuhan terus menerus mengulur waktu untuk memulai permainan ini, biar aku yang memulainya, untuk mengakhiri permainan yang sudah di mulai oleh-Nya."

*****

Jakarta, 3 September 2014

Naomi duduk lemas di luar pintu keberangkatan bandara Soekarno-Hatta. Ia menyesal telah datang terlambat ke tempat ini. Tidak, Naomi tidak akan terlambat jika wanita tua di jalan itu bisa menyeberang dengan benar dan tidak tertabrak. "Dasar wanita bodoh!" maki Naomi.

Mata merahnya masih menatap ujung sepatu runcingnya. Ia masih tidak menyangka bisa sesial ini. Hilang sudah kesempatannya untuk berangkat ke Turki bersama bos besarnya, Karim Sanjaya.

5 menit keberangkatan, Naomi baru saja turun dari taksi, masih cukup waktu untuk sampai di dalam jika ia cepat lari. Tapi tak sempat kakinya melangkah, sebuah pesan baru saja masuk ke ponselnya. Agung, ajudan Tuan Karim.

Ada pesan dari Karim untukmu, tak ada toleransi bagi mereka yang telat barang 1 menit pun. Naomi Zhang, kamu di pecat.

Kalimat itu terus terngiang di ingatan seorang Naomi Zhang, mengutuki semua yang terjadi 1 hari ini. Seakan sia-sia pengorbanannya bekerja keras di perusahaan Sanjaya Co. cita-citanya untuk menjadi sekretaris seorang Karim Sanjaya yang terkenal tampan dan mapan musnah sudah. Hanya 1 minggu Naomi di beri kesempatan bekerja di perusahaan yang memproduksi makanan instant terlaris di negeri ini, dan sebuah kesalahan yang tidak ia lakukan, ia di pecat.

Dan kini, nasibnya justru terlunta-lunta di pinggir teras bandara. Tanpa pekerjaan, tanpa uang satu sen pun.

* * * * * *

Apa yang bisa diharapkan dari para pewarta di negeri ini? Selain opini dan gosip? Seakan fakta yang ada di sekitar dianggap sampah yang patut didaur ulang menjadi hal yang menurut mereka lebih menggiurkan, dan diterima layaknya hidangan surgawi.

Dia tahu pewarta-media busuk itu sudah menunggunya di pintu utama kepulangan bandara Soekarno-Hatta. Sayang, lelaki 30 tahun itu tidak bodoh. Dia tahu kepulangan yang sudah ia tutupi selama ini bocor di kalangan media. Jalan yang dia harusnya lewati hanya dilewati oleh Mikayla Fernanda, adik sepupu yang sengaja menjemput dirinya ke Jerman.

Pria itu Bara Mahendra.

Anak tunggal dari Mahendra Putra. Seorang pebisnis bidang konstruksi yang teramat sukses. 8 tahun lalu, Mahendra mengirim anaknya, Bara untuk membangun bisnis di Jerman. Banyak rumor yang mengatakan kepergian Bara karena kehadiran seorang perempuan baru di rumah mereka. Hayati, istri kedua Mahendra setelah meninggalnya Elyta Gusman, 2 tahun sebelumnya. Rumor itu mengatakan, Mahendra tidak ingin Bara menjadi penghalang di antara mereka. Ada pula yang mengatakan, Bara yang meminta pergi karena kehadiran Hayati yang teramat mengganggu dirinya.

SHELLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang