"Bukan main!" Chef Will berseru keras-keras dari ujung dapur. "Bagus Wardani! Pastamu kacau. Cepat keluar dari dapurku atau aku benar-benar tidak akan mengizinkanmu mengangkat kuali lagi!"
Demi melihat kemarahan Chef William semakin kacau, mas Bagus cepat-cepat meletakkan kuali dan keluar dari dapur. Wajahnya lesu. Seharian ini, aku tahu sekali jika kondisinya sedang tidak fit. Itu alasannya semua masakan mas Bagus kacau.
Tanpa banyak berbicara, aku mengambil alih masakan mas Bagus yang separuh di tinggalkan. Satu pasta bayam dan dua pasta Shrek masih menjadi list belum di buat dari sepuluh menit yang lalu. Aku menghembuskan nafas, pekerjaanku bertambah dua kali lipat. Aku harus memegang dua kuali sekaligus. Baiklah, ini bukan pekerjaan sulit.
"Soleh, bisa bantu aku plating?"
Segera, Soleh mengangguk, menyiapkan piring-piring dan saus-saus setengah jadi untuk di dekatkan padaku. Hampir setengah jam, aku sibuk bergelut di depan kuali. Pesanan hampir selesai.
Di kepala Kitchen, Chef William masih mengamuk. Dia terus mengarahkan crew Kitchen lain untuk bergegas. Resto semakin ramai. Pesanan tiada henti-hentinya terus berdatangan seperti air terjun, tak berkesudahan. Sedangkan beberapa masakan yang sudah selesai, justru tertahan di meja Checker dan harus di buat ulang karena masakan terlihat berantakan dan tidak matang.
Chef William semakin menjadi. Omelannya tiada henti-hentinya meneriaki kami untuk bergerak lebih gesit, lebih cepat untuk segera menghidangkan pesanan yang tadi sempat tertunda. Ugh, kalau situasinya begini, dapur yang sudah panas, pengap dan penuh asap mendadak jadi lebih panas.
Beberapa crew lain sudah jengkel, wajah mereka terlipat, merah padam. Memasak sembari membanting apapun dengan sepenuh tenaga untuk melampiaskan kekesalan karena Chef Willian semakin mengomel—lagi—dan ingin kesempurnaan. Aduh, jika sudah menghadapi Chef Will yang seperti ini, seratus presen aku juga ikut jengkel.
Wajahku sudah merah sekali, peluh menetes di mana-mana. Baju koki yang kugunakan bahkan sudah basah oleh peluh. Belum lagi, tak jauh dari tempatku, Felix lebih kacau. Wajahnya terlipat semakin terlipat. Sedari tadi, kalau aku tidak salah menghitung, dia sudah dua kali salah membuat pesanan. Steak yang seharusnya medium rare mendadak jadi Well done karena grill terlalu panas. Apes, kasihan sekali dia.
"Felix, Steakmu sudah terlambat lima menit! Cepat hidangkan atau aku juga tidak akan mengizinkanmu memasuki dapur lagi besok!"
Felix menggeram, wajahnya sudah merah padam, menahan kesal. "Ya, Chef!"
Kitchen kembali ramai. Masing-masing, sibuk dengan masakannya. Beberapa, benda stainless—Makuk, sendok, panci—berjatuhan, membuat suasana semakin kacau. Chef William kembali mengomel.
Satu jam berlalu sangat dramatis. Untung saja, semua pesanan sudah selesai di hidangkan. Waktunya istirahat.
Aku melesat lebih dulu meninggalkan dapur, bergegas menuju ruang penyimpanan loker untuk sekedar berselonjor dan menegak minuman. Sumpah demi Cafe Latte kesukaanku! aku benar-benar haus sekali.
"Ini, untukmu!"
Aku tersentak, menemukan Alberto yang sudah lebih dulu sampai di samping lokerku, sedang bersandar sembari mengulurkan tumblr berisi Ice Americano.
Dengan senang hati, aku menyambut Kopi buatan Alberto penuh suka cita. Oh, rasa pahit dan kuat kopi meluncur secara dramatis melalui kerongkonganku yang sudah teramat gersang. Mungkin, jika Alberto adalah wanita, aku ingin memeluknya sebagai ucapan terima kasih.
"Hari ini kacau sekali. Resto rame banget. Aku sampai lelah terus membuat minuman," Alberto lebih dulu membuka mulut, menggerutu. "Sumpah, Agni. Bayangkan, hampir sembilan puluh persen pesanan hari ini harus nge-shake. Bayangin, tanganku bisa berotot lama-lama!"

KAMU SEDANG MEMBACA
UNTUK-MU LAKSAMANA
General Fiction[UPDATE SETIAP JUM'AT❗❗❗] Menjadi dewasa bagi Kumari terlalu banyak hal terasa menyebalkan. Salah satunya adalah rasa ketidak percayaan dirinya. Apalagi, di tengah-tengah polemik hutang yang terasa mencekik nafasnya, Percintaan justru hadir sebagai...