Hari ibu: 22 Desember

46 4 9
                                    

Bagiku, terlahir dalam sebuah raga yang tak pernah diinginkan hadirnya adalah cobaan paling sakit yang sejauh ini pernah kurasa. Realita hidup yang selalu kutolak eksistensinya, nyatanya tak semudah itu terlupa.

Katanya, aku adalah penyebab kehancuran mereka. Katanya akulah yang membuat hidup mereka sengsara. Dan katanya, aku hanyalah seorang beban yang tak pernah diharapkan kehadirannya.

Lantas, dalam sepi kerap kali aku berpikir seorang diri. Menangis dalam keheningan malam yang kian menjadi teman. Dan menangis memikirkan, bagaimana mungkin aku terlahir tanpa diharapkan seorangpun.

Katanya, bayi itu tak punya dosa. Namun, mengapa aku yang dianggap paling berdosa? Seolah aku yang menyebabkan mereka hancur. Padahal, aku sendiri takkan pernah ada jika mereka tak melakukan kesalahan itu.

Aku hidup bersama ibuku, yang mana tak pernah menerima kehadiranku.

"Gara-gara kamu, hidup saya jadi SUSAH! ANAK SIALAN!"

Tak pernah kudengar ia berucap lembut terhadapku.

"DASAR ANAK PEMBAWA SIAL!"

Tak pernah kurasakan belaian kasih sayangnya.

"MATI KAMU MATIII!"

Tak pernah pula kudengar pujiannya, ketika aku mencapai suatu keberhasilan.

"NILAI GA BERGUNA, MATI AJA KAMU SIALAN!"

Ia melampiaskan semua rasa sakitnya pada tubuh ringkihku yang tak seberapa, ia melampiaskan semua amarahnya pada jiwaku yang tak pernah baik baik saja. Dan ia, melampiaskan segala keluh kesah hidupnya terhadapku yang sementara aku sendiri tak tahu harus berkeluh kepada siapa.

Hinaan, cacian, pukulan, semua hal buruk yang tak sepatutnya diucapkan oleh sosok ibu, nyatanya tak pernah berlaku terhadapku.

Meski begitu banyak luka yang tertoreh hingga membuatku nyaris gila, aku tak pernah membecinya. Justru, aku sangat membenci diriku sendiri. Mengapa aku tak mati sedari dulu saja? Bukankah ibu pernah berkata bahwa ia telah beberapa kali mencoba mengaborsiku? Lantas untuk apa aku tetap nekat bertahan hidup? Apa gunanya?

Sejauh ini, hal yang paling kubenci ialah.. melihat ibu menitihkan air mata. Aku tahu betul, betapa ia amat sangat mencintai sosok ayah, bahkan ia rela memberikan hal yang tak sepatutnya ia berikan pada sosok bejat itu. Meski begitu, sampai sekarang ibu masih mengharapkan sosok ayah kembali ke hidupnya. Namun, semuanya sangat mustahil.

Ayah terlahir dari keluarga konglomerat yang menjunjung tinggi nama baik keluarga. Sementara ibu, ibu terlahir dari kalangan keluarga yang biasa saja. Ayah dan ibu menjalin hubungan cukup lama, hingga suatu hari mereka melakukan kesalahan. Dan, akibatnya aku pun tercipta. Ayah tak pernah menginginkan kehadiranku, begitu pula ibu.

Berbagai cara mereka lakukan untuk mengakhiri hidupku, namun sayang aku justru tak kunjung meninggal. Maka dari itu, Ayah memutuskan untuk meninggalkan ibu, demi menjaga nama baik keluarganya. Sementara ibu.. ibu dipandang buruk oleh keluarga besar, bahkan ibu diusir oleh kakek dan nenek. Dan semua itu terjadi karena aku. Sekali lagi. Karena AKU!

Aku menulis beberapa kalimat pada selembar kertas. Setelah itu aku melipatnya serapi mungkin. Aku sempat mengecek kalender yang tergantung di dinding kamarku. Sepertinya, ini adalah hari ibu.

Aku berjalan kecil menuju kamar ibu. Disana, aku menemukan ibu tengah berbaring sembari menitihkan air mata. Demi Tuhan, aku sangat membenci pemandangan ini.

Perlahan, aku meletakkan surat itu diatas meja yang ada di kamarnya. Namun, sepertinya ibu menyadari kehadiranku.

"Ngapain kamu masuk kesini?" ujarnya tanpa melihatku sama sekali.

"Mau pamit bu." balasku pelan.

"Pergi aja sana, gausah pulang sekalian bila perlu."

Aku hanya tersenyum getir. "Iya bu. Saya pamit ya." Dan, tak kudengar balasan apapun darinya selain Isak tangis yang kian mengeras.

Aku berjalan tanpa arah. Untuk apa aku memaksa lahir di dunia, jika hanya membuat ibu terus menangis sendu. Untuk apa aku tercipta jika tak pernah bisa membuat ibu bahagia. Untuk apa? Untuk APA?

Banyak hal yang menjadi alasan mengapa aku masih bertahan di kewarasan yang kian menipis ini. Jauh di hati kecilku, aku selalu berharap ibu bisa berubah. Meski sepanjang delapan belas tahun aku hidup, tak pernah ada perubahan pada diri ibu, aku masih tetap berharap ibu dapat berubah.

Namun, hari ini. Aku menyerah.

Aku sadar, ibu tak akan pernah berubah. Kecuali aku yang mengalah. Aku paham betul mengenai larangan menyakiti diri sendiri namun, siapa yang peduli? Untuk apa aku lahir jika hanya membuat ibu menangis sengsara. Bukankah, jika aku mengakhiri semuanya.. ibu akan baik-baik saja? Ibu tak akan lagi memiliki beban sepertiku, ibu tak akan lagi menangis setiap hari, dan ibu bisa memulai hidup yang baru tanpaku.

Oh Tuhan, Engkau pasti tahu betapa aku mencintai Ibu lebih daripada aku mencintai siapapun. Oh Tuhan, jangan pernah beri hukuman pada Ibu atas apa yang telah menimpaku.

Sejak lahir, aku tak pernah meminta banyak kepada Engkau. Maka pada detik ini aku meminta, jika kelahiranku hanyalah sebuah kesalahan. Maka jangan pernah hukum Ibu, Ibu tak pernah salah. Akulah yang salah karena memilih lahir pada rahim Ibu. Aku yang salah. Maka dari itu, aku memutuskan untuk mengakhiri segalanya.

Angin hari ini berembus dengan tenang, sinar senja di ujung sana juga terlihat sangat indah. Seolah bumi mengerti bahwa aku tak akan pernah lagi melihatnya esok hari. Andai, andai aku terlahir pada waktu yang tepat, mungkinkah ibu akan menyayangiku? Mungkinkah ia akan memelukku dengan penuh kasih sayang? Mungkinkah ia akan memanggilku dengan penuh cinta? Segala pengandaian itu, tanpa sadar membuat air mataku kian mengalir deras.

Langkahku tiba di sebuah jembatan yang dimana, di bawahnya mengalir air sungai dengan arus yang begitu deras. Aku menatap sekitar yang rupanya masih banyak manusia berlalu lalang. Aku tak ingin menjadi pusat perhatian. Tapi, aku tak tahan lagi untuk mengakhiri semuanya.

Air mataku mengalir semakin deras ketika mengingat segala hal yang pernah ibu berikan padaku. Bahkan, sekujur tubuhku masih memiliki bekas keunguan akibat pukulan yang selalu ia berikan. Aku tak pernah menolak dan membantah, karena sepertinya memang itulah hal yang sepatutnya aku dapat.

Aku bahagia jika melihat Ibu bahagia, tak peduli jika aku harus menukar nyawa sekalipun. Bagiku, hidup akan terasa indah jika melihat senyum ibu merekah.  Meski, sejauh ini aku tak pernah melihat senyuman Ibu, aku yakin, Setelah ini, Ibu akan tersenyum bahagia. Karena bebannya tak lagi ada. Bukan begitu?

Elegi LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang