Angin musim timur

16 1 0
                                    

Memasuki pertengahan Agustus musim panas kian menunjukkan eksistensinya. Sebab pengaruh angin musim timur yang membawa musim kemarau dari arah barat, tak ayal apabila cuaca panas tak lagi bisa ditolak hadirnya.

Selepas sholat Dzuhur di mushola SMA, aku berjalan menuju kelas. Namun, ketika setibanya disana telah kudapati guru Fisika ku duduk di meja paling depan sembari memegang buku absensi.

Aku mengetuk pintu perlahan, beruntung guru tersebut belum memulai pelajaran. Lantas dengan langkah yang sedikit tergesa aku berjalan menghadap beliau dan meminta maaf seraya berkata, "Maaf buk, saya telat masuk. Saya habis sholat Dzuhur soalnya, hehe." ujarku sedikit berbisik. Sementara guru Fisika itu hanya tersenyum dan mengangguk paham. Setelahnya ia mempersilahkanku untuk duduk.

Lantaran cuaca yang panas, aku pun melipat ujung hijab yang ada disekitar keningku ketika melaksanakan sholat. Dan sekembalinya di kelas, aku lupa untuk membenarkannya sebagaimana semula.

Tatkala aku merogoh tas untuk mencari sesuatu. Arga yang duduk tepat dibelakang kursiku segera menegur dengan suara bassnya. "Jilbab model baru ya?" ujarnya kala itu setengah berbisik. Berusaha untuk tidak menarik perhatian yang lain.

Sesaat aku membatu, dan mencerna ucapannya. "Maksudnya?" tanyaku bingung.

"Itu, jilbab lo, jilbab model baru?"

Aku mengernyit heran, lalu menyentuh kain hijab di sekitar wajahku dan menyadari satu hal. "Apa—oh," aku tersenyum kikuk di hadapannya. Lalu, aku membenarkan tatanan hijabku yang berantakan itu.

"Hehe, sorry bro." balasku sembari menangkupkan kedua tangan ke arahnya.

Dia menatapku ketus. Hingga suara Buk Nur— guru Fisika kami— membuyarkan kefokusan seisi kelas.

"Duh, Arga perhatian ya ternyata." ujarnya sembari tersenyum menggoda. Akibatnya atensi seisi kelas tertuju pada kami. Lontaran kalimat 'ciee' bersahutan memenuhi ruang kelas hari itu.

"Ah.. engga buu." balasku kikuk.

"Hahah, yang ga denger, bingung mereka." tambah guru itu menggoda kami.

Dan rasa panas mendadak bukan hanya menyerang tubuhku semata namun juga merambat perlahan ke wajah. Sial, angin musim timur menyebalkan.

***


Elegi LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang