"Ah, ada di sini ternyata."
Terkejut dengan seruan itu, aku buru-buru berbalik dan menemukan seorang wanita berblouse putih dengan rok selutut berwarna pink di hadapanku tersenyum lega menatap kumpulan bunga lily dalam genggamannya. Kukira ia sedang membicarakan aku.
"Dari tadi pagi banyak yang cari bunga itu," ujar Ibu Rosa, wanita paruh baya yang mengurus toko ini, sambil meraih bunga lily dari genggaman sang wanita kemudian meletakkannya di atas kertas pembungkus, dan mulai melipat.
Saat wanita di hadapan kami ini tersenyum, sepasang lesung pipi terlihat jelas di wajahnya.
"Neng, punten bisa tolong pegangin ujung kertasnya?" pinta Ibu Rosa sambil berusaha meraih selotip tapi tidak sampai. Wanita itu menurut dan segera menjulurkan tangan, memperlihatkan sepasang tato kupu-kupu pada pergelangan tangannya.
"Terima kasih, Neng. Hehehe. Maklum ya, pegawai Ibu yang biasa bungkusin baru berhenti," ujar Ibu Rosa setelah berhasil menempelkan selotip pada kertas pembungkus bunga.
"Ooo...."
"Kayaknya, sih, nggak betah. Soalnya suka saya marahin gara-gara banyak bunga yang layu sama vas yang pecah pas dia yang jaga."
"Wah ... kok bisa?"
"Makanya itu. Sedangkan dia kalau ditanya jawabnya selalu nggak tahu. Alasannya air udah diganti. Vas juga udah ditaro di tempatnya. Ya, nggak mungkinlah bisa layu atau pecah kalau emang kerjanya bener. Ya kan, Neng?" suara Ibu Rosa mulai meninggi.
"Siapa tahu ada yang iseng, Bu?" ujar si wanita sambil tersenyum kecil kemudian melirik ke arahku.
Hmmm ... apa dia tahu kalau semua itu karena ulahku? Tapi mana mungkin.
"Ah, memang itu si Desy kerjaannya main handphone terus. Mana ada dia mikirin bunga. Baguslah dia udah berhenti, kalau nggak, saya makin rugi."
Lesung pipi Wanita itu terlihat lagi menanggapi Ibu Rosa.
"Bu, ngomong-ngomong ini bunganya saya titip dulu, ya, di sini. Orang yang saya tunggu belum datang. Boleh kan ya, Bu?"
"Oh iya, boleh, dong. Jangan lupa diambil lho, Neng, kalau udah selesai belanja," jawab Ibu Rosa penuh semangat sambil meletakkan kembali satu buket bunga lily dalam balutan kertas putih ke dalam ember berisi air, persis di sebelah kumpulan bunga mawar berwarna pink.
"Jangan sampai diambil orang ya, Bu?" guraunya sekilas sebelum akhirnya melangkah keluar dari toko diiringi suara lonceng di atas pintu.
Aneh. Sejak kapan lonceng itu berfungsi kembali? Mungkin ini kali pertama aku mendengar benda itu berbunyi sejak ... ah ... tidak ada gunanya memikirkan hal sepele seperti itu.
Bunga lily. Bunga itu memang selalu dicari sepanjang hari. Mungkin karena bentuknya. Mungkin juga karena aromanya yang semerbak saat mekar. Aku beranjak mendekat kemudian memusatkan perhatian pada kelopak-kelopak yang masih tertutup. Aroma khasnya sudah mulai tercium samar-samar. Rasa tenteram kian terasa semakin lama aku memusatkan perhatian pada kelopak kelopak di hadapanku ini. Jari-jariku hampir saja menyentuh helaian-helaian lembut itu namun terhenti saat aku mendengar suara derit kursi yang diduduki Ibu Rosa.
Tidak. Aku sebaiknya tidak menyentuh bunga ini. Masih jelas kuingat bagaimana rasa penasaranku berujung membuat Desy dimarahi Ibu Rosa habis-habisan karena bunga pesanan rusak tempo hari. Aku sama sekali tidak bermaksud merusak bunga hanya saja ada sensasi yang menyenangkan saat aku bisa menyentuh mereka. Aku menghela napas, kemudian menarik kedua tanganku menjauh dari kumpulan bunga lily di hadapanku. Jika aku ceroboh sedikit saja, dua orang akan berakhir menangis karena ulahku hari ini.
Aku mengembuskan napas kemudian kembali duduk di kursi kayu yang menghadap ke jendela. Jalanan kecil di depan toko terlihat sepi. Tidak banyak orang yang berlalu lalang seperti biasanya. Langit pun terlihat sedikit mendung. Jam kuno di tepi ruangan mulai berdendang sambil menunjukkan pukul tiga. Satu hari lagi akan terlewati begitu saja.
"Waduh! Sudah jam tiga. Astaga. Lupa lagi. Lupa lagi!" seru Ibu Rosa kepada dirinya sendiri.
Ibu Rosa sibuk menekan layar ponsel di hadapannya sambil bergegas meraih tas selempang yang semula ia kaitkan di atas kursi. Dalam hitungan detik, lonceng pintu terdengar lagi menandakan kepergiannya. Lonceng itu benar-benar sudah kembali berfungsi rupanya.
Entah apa yang sudah Ibu Rosa lupakan kali ini. Ia selalu seperti itu. Ada saja yang dilupakannya. Tapi setidaknya ia tidak separah diriku.
Suara lonceng itu terdengar kembali. Pasti ada yang tertinggal lagi. Namun, suara langkah kaki yang terdengar kali ini berbeda. Tidak lagi tergesa-gesa. Namun lebih mirip langkah kaki yang diseret dengan penuh keraguan. Saat berbalik aku menemukan seorang pria dengan jaket cokelat terlihat sedang mengamati seisi ruangan ini dengan saksama.
Aneh. Yang datang ke toko ini kebanyakan perempuan. Kalaupun ada laki-laki, biasanya hanya sebatas kurir atau driver yang mengambil pesanan. Pria ini terlihat berbeda. Bagaimana, ya, aku menjelaskannya? Ia bukanlah tipe yang bisa dibayangkan masuk ke dalam toko bunga. Bukannya bermaksud judge the book by its cover, hanya saja rambut gimbal serta tato singa di tangan kanannya membuat dia terlihat kelewat maskulin untuk berada di toko seperti ini. Belum lagi kumis serta jenggotnya. Gelagatnya pun terlihat asing. Ia melihat ke kanan lalu ke kiri seolah ragu akan keberadaannya di tempat ini. Jangan-jangan ... dia mau mencuri?
Tenang. Tenang. Aku tidak boleh panik. Belum tentu dia mau mencuri. Tidak baik jika aku menghakimi orang hanya karena penampilannya saja.
Pria itu kini sedang membungkuk memandangi kumpulan bunga mawar merah yang ada di dalam ember, membuatku hanya bisa menatap punggungnya dari kejauhan. Tidak lama setelahnya perhatiannya beralih pada mawar kuning di sisi lainnya. Terus saja seperti itu sampai akhirnya ia menatap lama pada bunga lily yang berada tidak jauh dari hadapanku. Ia mendekat hingga akhirnya mengangkat bunga lily dengan wajah datar. Baiklah, mungkin dia bukan orang jahat seperti yang kubayangkan, tapi tetap saja bunga itu milik orang lain.
Kali ini aku benar-benar berharap Ibu Rosa akan segera kembali karena ada barang yang tertinggal seperti biasanya. Sayangnya sejauh apa pun aku menatap keluar jendela, aku tidak melihat tanda tanda Ibu Rosa akan segera muncul. Hmm ... aku seharusnya tidak perlu ambil pusing. Jika pun ia mencuri, aku bisa apa? Apa pun yang terjadi sama sekali bukan tanggung jawabku.
"Kira-kira ini tahan berapa lama?"
Suara berat dan dalam milik pria itu sontak membuatku mengalihkan pandangan dari jendela kembali pada pria itu. Ia sedang berbicara sendiri, kan? Pria itu tampak sibuk memandangi lily di hadapannya. Ya, pasti ia sedang berbicara sendiri.
"Hello? Saya tanya ini kira-kira bisa tahan berapa lama, ya?" ulangnya lagi sambil melambaikan tangan ke arahku.
Sebentar. Sebentar. Ini tidak mungkin. Tapi ... tapi ... ia sedang menatap ke arahku sekarang. Aku mengalihkan pandangan ke belakang. Mungkin saja Ibu Rosa sudah kembali tanpa kusadari. Namun tidak ada siapa-siapa di belakangku. Yang ada di ruangan ini hanya pria ini dan ... aku.
"Permisi?" Panggilan itu terdengar lagi disertai tatapan penuh tanya ke arahku.
Ini tidak mungkin. Ini tidak mungkin. Kami sedang bertatapan sekarang? Dengan seluruh sensasi aneh yang kurasakan, aku menarik napas dalam-dalam kemudian membuka mulutku perlahan-lahan.
"Kamu ... bisa ngeliat aku?"
***
[bersambung]
Halo 2023!
Apa kabar? Semoga kalian dalam keadaan sehat ya.
Akhirnya setelah sekian lama vacum diriku kembali lagi. Cerita "Pulang" akhirnya selesai dan akan segera tersedia versi cetaknya per tanggal 15 Maret 2023 di seluruh toko buku Gramedia. Ps: Kalian para pembaca di Wattpad jadi orang pertama yang informasi ini loh :D Mohon doanya agar prosesnya lancar <3
Terima kasih dan sehat terus untuk kita semua!
Salam,
Sofi Meloni
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulang [TERBIT 15 MARET 2023]
FantasíaAngel tidak ingat bagaimana dirinya berakhir di toko bunga Angel's Florist. Meski pun tidak ada yang bisa melihat keberadaannya, menghabiskan hari-hari memandangi bunga-bunga cantik memberikan rasa tenteram bak obat bius yang membuat ia melupakan se...