Prolog

121 6 0
                                    

Prolog

"Cinta tidak selalu bekerja seperti apa yang kita suka."

-SALENA-

Mengapa beberapa orang memilih bertahan pada hubungan yang sudah tak sejalan? Mengapa masih ada yang membiarkan dirinya terluka lebih dalam? Mengapa melukai diri sendiri lebih mudah dilakukan daripada melepaskan hubungan?

Tiga pertanyaan itu berenang di kepala Yanika. Ia tidak tahu apakah keputusannya sepuluh menit yang lalu merupakan keputusan paling baik untuk hatinya. Sebab diakhiri hubungan itu atau tidak, rupanya sakitnya sama.

"Maaf,"

Yanika bahkan bingung mengapa kata maaf turut ingin didengar? Harusnya bibirnya kelu saja usai mengucapkan kalimat perpisahan yang susah payah ia susun sejak setahun terakhir.

Ya.. hubungannya sudah lama seburuk itu. Namun rupanya berakhir juga sama buruknya. Apa cinta selalu menempatkan kita di antara dua pilihan buruk? Atau Yanika saja yang sedang sial bertemu laki-laki yang membawanya pada keburukan itu? Keburukan yang berwujud hubungan jarak jauh.

"Harusnya saya yang minta maaf, Yan, tidak bisa ada terus di situ," lirih Aksa, laki-laki yang sudah menemaninya selama empat tahun.

Sebenarnya Yanika tidak suka kalimat yang Aksa ucapkan barusan. Seakan Aksa tidak mengupayakan apapun, meski upaya itu hanya berupa janji penenang.

Menyebalkan, ya?

Menyebalkan ketika harapan baik dibalas dengan janji. Ingin ditemani pun turut dibalas dengan janji. Hari-hari berantakan juga diperbaiki dengan janji.

Entah sejak kapan janji lebih berharga daripada kata sayang itu sendiri. Yang jelas pada saat itu, mencintai Aksa lebih banyak rumitnya. Serupa berjalan di atas tangga kayu yang rapuh, serupa menunggu pergantian waktu dari jam dinding yang beku.

Yanika jadi penasaran, apakah serumit itu pula jalan ibu mencintai bapak hingga putuskan pisah? Apakah yang rumit bukan bagian dari cinta? Atau memang karena kita saja yang terlalu mudah menyerah?

Gadis 20 tahun itu menggeleng. Ia tidak mudah menyerah dari Aksa, buktinya setahun tetap dibiarkan berjalan meski jarang senang. Buktinya ia masih berupaya bertahan dari cara-cara kecil yang ia bisa, seperti menelpon Aksa lebih lambat satu jam karena mengerti perbedaan waktu Indonesia bagian barat dan tengah.

Yanika tidak mudah menyerah dari Aksa. Laki-laki itulah yang membuatnya terlihat begitu.

Aksa dan janjinya lah yang membuat kata menyerah masuk di tengah-tengah hubungan empat tahun mereka.

Aksa membuat temu tidak lagi jadi sesuatu yang penting, sekalipun Yanika butuh itu.

"Sekarang kamu tidak perlu berjanji lagi, Sa. Akhirnya, ya." Suara Yanika mulai tertahan di tenggorokan, air matanya siap jatuh sekarang, mengingat empat tahun adalah waktu yang cukup lama untuk membuat mereka berdua saling paham.

Aksa baik, dia tidak selingkuh. Tidak pula menyakiti Yanika melalui cara kasar. Itu sebabnya hubungan jarak jauh awalnya terasa mudah ditempuh.

Yanika pikir masalah paling besar adalah orang ketiga, rupanya tidak juga, ya. Sepasang kekasih bisa berpisah karena cara mereka menemui senang sudah berbeda.

Yanika senang bila Aksa tidak menjanjikan banyak hal, tetapi Aksa senang bila berjanji. Semakin lama mereka hanya terlihat bertahan untuk memaksakan diri. Maka.. tidak salah kan, bila berpisah jadi jalan keluar yang dipilih?

"Yan.." lirih Aksa untuk yang terakhir kali, sebab sambungan telepon itu diputus Yanika tepat saat durasinya tiga puluh menit.

"Hubungan empat tahun akhirnya kalah dengan waktu tiga puluh menit," bisik hati Yanika.

Bukan cinta namanya bila tidak membuat kita terluka karena pilihan kita sendiri. Yanika yang memutuskan hubungan ini, namun air matanya pula yang mengalir paling deras.

Ah, rupanya hubungan jarak jauh tidak baik untuk hatinya. Rupanya jarak Malang ke Palu terlalu menjauhkan mereka.

Sekarang Yanika harus pulang ke mana? Rumah yang berwujud benda dan rumah yang berwujud hati telah runtuh semua. Haruskah ia ikut runtuh juga?

Gadis itu menangkup wajahnya dengan kedua tangan, air matanya terus jatuh dan dibiarkannya begitu. Biar saja tangisan menjelaskan kesakitannya. Biar saja saat ini suara tangisan lebih terdengar jelas dari doa-doa yang ia langitkan.

Sekarang ia merasa doa meminta waktu selamanya dengan Aksa hanyalah sebuah lelucon saat cinta bekerja.

Tuhan mungkin sedang menertawakan doa itu sekarang. Lalu bertanya, mengapa manusia merasa yakin sanggup dicintai selamanya? Sedang cinta tidak selalu bekerja seperti apa yang mereka suka.

Tuhan lebih tahu cara cinta bekerja dibanding kita. Kita bahkan selamanya hanyalah pemula yang mengandalkan peran yakin di kepala agar cinta percaya ia bisa bertahan selamanya. Dan rupanya bertahan tidak selalu jadi pilihan baik bila melibatkan waktu selamanya.

Yanika bergegas membersihkan wajahnya, membasahinya dengan air mengalir, lalu bersiap mengganti doanya.

"Semoga bisa dicintai dengan cara yang saya suka."

"Semoga bisa dihadiahi cinta serupa rumah paling indah."

"Semoga cinta itu bisa menyembuhkan luka-luka yang terbuka."

Entah Tuhan mengamini doa itu atau tidak, biarlah menjadi rahasia. Sebab berdoa menjadi satu-satunya cara membuatnya bertahan dari segala luka yang mendatangkan perasaan sia-sia.

Ia tak seharusnya tersiksa karena kata sia-sia yang mendadak mendominasi kepalanya. Tak seharusnya pula bumi menjadi tempat jahat hanya karena ulah beberapa manusia. Tak seharusnya ketenangan kalah dari kecewa. Ya, tak seharusnya.

Lalu Yanika menambah doanya. Kali ini lebih keras dari sebelumnya. Berharap langsung disanggupi Tuhan saat itu juga.

"Tuhan, bila rasa sakit ini sulit mereda, selamatkan saya dari kata pulang. Biarkan saya tetap bisa pulang ke diri sendiri, ketika rasanya ingin lari berjuta kali."

Menurut Edward seorang ahli neurologi kognitif dari Columbia University, rasa sakit hati pada diri seseorang sama ketika mengalami luka fisik pada tubuh.

Tak heran bila Yanika seperti ingin lari dari dirinya sebentar saja. Mencari pereda luka dari peta yang lupa terbaca.

Salahnya juga menaruh cinta sebesar dunia pada Aksa dan rumahnya. Salahnya yang membiarkan dirinya tetap yakin bahwa segala yang utuh akan tetap utuh, padahal itu tidak pasti berlaku, terlebih jika Tuhan tak setuju.

Kalau bisa putar waktu, ia tidak akan mencintai Aksa seserius itu. Tidak pula mendefinisikan rumah sebagai tempat paling teduh. Pun tidak bakal berharap ibu dan bapak bisa kembali menyatu.

Karena pada akhirnya, sebenarnya ia terluka oleh harapannya sendiri. Bukan karena jarak ataupun janji Arsa, bukan pula karena ulah ibu dan bapak.

Harapan yang dibiarkan menyala itulah yang membakarnya. Melahap habis waktu untuk senang dan pulang, hingga yang tersisa hanya runtuh dan suram.

Dan semestinya kebodohan itu tidak kembali terulang.

... bersambung

SALENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang