Alhamdulillah, respon ibu Ananta baik. Mereka tidak mempermasalahkan statusku yang kata kakek anak pelacur. Bahkan, ibu Ananta ingin bertemu denganku dan memeluk secara langsung.
Ucapan terimakasih tak henti-hentinya aku sampaikan pada Ananta. Entah bagaimana kehidupanku jika Ananta tak ada. Mungkin aku sudah mengakhiri hidup atau gila.
Ada banyak hal yang masih sangat aku syukuri di situasi seperti sekarang. Aku masih punya Ananta, yang Allah kirimkan dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Aku tetap punya pemahaman serta kewarasan yang baik untuk menghadapi semua. Aku juga diberikan fisik yang lebih dari kuat untuk tetap terus berdiri, berjalan, dan bahkan berlari.Hari ini, ibu Ananta mengajakku bertemu untuk yang pertama kali. Selama ini, aku hanya mendengar tentang ibu Ananta dari Ustadzah Laila. Ananta sendiri tidak pernah bercerita terlalu jauh. Dia hanya bercerita sebatas usia dan pekerjaan ibunya.
"Besok ibu mau bertemu denganmu, ingin memelukmu langsung, kamu mau, 'kan?" pinta Ananta melalui telepon.
"Aku sebenarnya masih takut ketemu dengan orang. Tapi akan aku coba bertemu dengan ibumu."
"Ibuku baik, kamu tidak perlu khawatir." tenang Ananta.
Usia ibunya sama dengan usia ibuku. Sedangkan pekerjaan ibunya sebagai petani sawit. Beliau membantu suaminya di ladang. Selama ini ayah dan ibu Ananta tinggal kota Riau. Ananta tinggal di kota Panipahan ini sendiri. Sebenarnya ada abang dari ayahnya, paman, yang tinggal di Panipahan juga, tapi berbeda rumah dengan Ananta.
Ananta melamarku melalui perantara Ustadzah Laila. Dia datang sendiri ke rumah Ustadzah dan menyampaikan niat baiknya. Ustadzah mengajaknya ke rumahku. Mereka berbincang dengan ibu dan menunggu jawabanku. Aku meminta waktu karena ketika dia melamarku, ibu sedang sakit. Dia juga bilang akan mengenalkanku pada ibunya saat sudah kuterima.
Sayangnya, ibu meninggal sebelum aku menjawab lamaran itu. Lagi-lagi aku menunda untuk menjawab lamarannya. Bahkan, jika tidak salah hitung, dia menunggu jawabanku sekitar empat bulanan.
Setelah aku menerima lamaran Ananta, aku juga meminta waktu lagi untuk mencari kakek. Hal yang sangat aku sesali. Pencarian yang lebih dari menyakitkan.
Sekarang aku akan fokus pada Ananta, menikah dengannya. Sebelum berangkat bertemu dengan ibu Ananta aku memilih pakaian yang pantas terlebih dahulu. Aku buka lemari, mencari satu persatu di tumpukan pakaian. Sepertinya aku akan memakai setelan merah jambu, terlihat manis. Gamis warna merah muda berpadu dengan kerudung warna peach.Ketika mengambil kerudung, tak sengaja aku melihat kerudung yang aku pakai saat bertemu Kakek. Aku tidak suka dengan segala hal yang membuatku teringat pada Atuk. Aku ambil kerudung, kemeja dan rok yang kupakai saat bertemu dengan kakek. Pakaian itu aku masukan kedalam karung. Tak mau aku melihatnya. Merusak mood saja.
Ibu Ananta mengajakku bertemu di darat. Warung Bu Ijur jadi tujuan kami. Kami janji bertemu pada pukul 10 pagi.
"Assalamualaikum!" salam seorang wanita paruh baya.
"Wa'alaikumussalam!"
"Kamu Asnita?"
"Iya, Bu."
"Saya ibunya Ananta. Oh, cantik sekali kamu, Asnita." puji Ibu itu sambil duduk di kursi sebelahku.
"MasyaAllah, Alhamdulillah, Bu. Ibu juga cantik sekali."
"Pantas saja Ananta sangat menyayangimu, selain cantik kamu juga pandai mengambil hati." guraunya.
Sembari duduk ibu itu memperkenalkan diri sebagai Yuni. Nama ibuku Yani, sedangkan nama ibu Ananta Yuni, mungkin kami memang berjodoh. Percakapan selanjutnya tentang belasungkawa ibu Yuni atas meninggalnya ibu. Pembicaraan terus mengalir sampai pada pembahasan yang sebenarnya tidak ingin aku bahas.
"Jadi kamu belum memberi tahu kakek kalau ayahmu dan ibumu telah meninggal?"
"Belum, Bu. Kakek justru bilang padaku, agar menyampaikan pada ayah, bahwa kakek tidak menerimaku sebagai cucu."
"Sebelumnya mohon maaf, pertanyaan yang akan Ibu sampaikan agak sedikit lebih sensitif. Apakah kamu yakin dan bisa memastikan bahwa kamu bukan anak hasil zina?" Pertanyaan Ibu Yuni membuatku terkejut. Aku tidak mengira dia akan menanyakan hal itu. Aku pikir kami akan berbincang seputar pernikahan.
"InsyaAllah, saya yakin, Bu. Saya bukan anak zina."
"Maaf, buktinya apa?"
"Sebelum saya pergi ke kota Binjai, saya mencari tahu informasi tentang ayah pada beberapa orang dan beberapa tempat. Salah satu tempat yang saya datangi adalah bapak Kepala lingkungan yang waktu itu menerima ayah di kota Panipahan ini. Bapak itu memastikan kalau ayah dan ibu sudah menikah karena mereka membawa buku nikah. Jika mereka tidak membawa buku nikah, bapak itu tidak akan memberi izin pada ayahku untuk tinggal di sini. Aku juga lahir satu tahun setelah kepindahan mereka." jelasku.
"Oh, Alhamdulillah kalau begitu, saya hanya ingin memastikan hal ini sama kamu, Nak. Sekali lagi maaf atas pertanyaan saya."
"Iya, Bu. Saya juga mengerti alasan ibu bertanya demikian."
"Iya, Nak. Saya tidak masalah dengan masa lalu ibu kamu yang katanya pelacur itu. Saya hanya sedikit mengganjal tentang status kamu. Saya khawatir jika saya mengetahui status kamu setelah kalian menikah, akan saya tolak. Saya juga tidak ingin memiliki hubungan dengan menantu yang tidak sehat karena hal mengganjal tadi." paparnya.
"Jika saya sudah mendapatkan jawabannya seperti ini jadi lebih tenang. Saya bisa menerima kamu sepenuhnya. Tidak ada yang mengganjal lagi." sambungnya.
Tentu saja aku paham kondisi Ibu Yuni, dia pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Meskipun aku terkejut dengan pertanyaannya, aku tidak tersinggung. Cara ibu Yuni bertanya juga sopan dan lembut. Toh, dia ternyata memang menerimaku sepenuhnya.
Percakapan kami selanjutnya baru tentang pernikahanku dan Ananta. Ibu Yuni bilang tidak mau lama-lama. Kami akan menikah dua Minggu lagi. Tetap ada resepsi kecil di pernikahan kami. Resepsi itu diadakan di rumahku. Kemudian ada pesta adat juga di pernikahan kami. Semuanya dilaksanakan sederhana saja.
Setelah tiba di rumah, aku langsung melihat kondisi rumah, ada beberapa papan lantai yang harus di perbaiki karena lapuk. Beberapa atap rumah juga harus ada yang ditambal. Setidaknya, rumahku harus nyaman dan tidak membahayakan. Karena pada hari H acara, akan ada banyak orang, meski kami tidak mengundang banyak.
Keesokan harinya aku memanggil pak Tengah untuk membantu memperbaiki rumah. Tentu saja pak Tengah tidak merasa keberatan membantuku. Alhamdulillah, Allah juga kirim sosok pak Tengah di hidupku.
"Mana yang harus aku perbaiki,Nak?" tanya pak Tengah.
"Lantai dekat rak piring di dapur, itu sudah lapuk, Pak."
"Sudah? Itu saja?"
"Itu lantai kamarku juga ada yang lapuk, lalu atap kamar ibu ada yang bocor."
"Ya, sudah. Kau tunjuk bagian mana. Kita mulai dari memperoleh atap."
Aku dan pak Tengah memasuki kamar ibu. Aku menunjuk bagian yang bocor, dekat lemari agar pak Tengah bisa segera memperbaikinya.
"Wah, harus digeser dulu ini lemarinya. Kau panggilan satu anak lajang di depan. Biar kami angkat dan pindahkan lemarinya." Aku langsung memanggil satu pemuda di depan rumah yang tadi ikut dengan pak Tengah kesini.
Setelah pemuda itu masuk, mereka langsung menggeser lemari ke sisi sebelahnya. Namun saat lemari digeser, ada satu buku terjatuh. Sepertinya buku itu memang disimpan di belakang lemari. Aku yang penasaran mengambil buku itu dan membawanya ke kamarku.
Buku bersampul coklat tua, seperti buku diary. Kubuka lembar sampul buku tersebut tertulis jelas di sisi samping sampul buku. Milik Asmayani. BUKU CATATAN PELACUR.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mencari Wali
SpiritualAsnita seorang gadis-yatim piatu ingin menikah dengan Ananta sayangnya gadis itu harus mencari Wali ke Kota Binjai. Proses pencarian tersebut membuka fakta tentang orang tuanya yang tidak direstui menikah oleh sang kakek (Ayah dari orang tau Asnita...