Bagian 1

71 23 60
                                    

Setelah mengajar ngaji anak-anak di mushola. Aku pulang dan duduk di teras rumah. Sedikit melamun. Mengingat tentang ibu yang beberapa waktu lalu baru saja meninggal. Sekarang aku sendiri. Tak ada siapa-siapa lagi. 

Ayahku sudah meninggal dua tahun yang lalu. Dalam lamunan, aku berharap ada seorang pangeran tampan baik hati yang mau melamarku. Tiba-tiba handphoneku berdering, terlihat nama ustadzah Laila. 

"Assalamualaikum, Halo, Ustadzah." ucapku yang dijawab oleh Ustadzah Laila. 

"Kamu lagi di mana? Ada yang nyariin kamu ini,"

"Siapa?"

"Ananta yang nyariin kamu, katanya kapan bisa ngobrol?"

"Iya, segera, Ustadzah."

Ananta, seorang guru honorer. Memang beberapa waktu ini aku dekat dengan dia. Kami bertemu saat dia melakukan sholat di mushola tempat aku mengajar ngaji. Waktu itu secara tak sengaja pandangan kami bertemu dalam beberapa detik. Aku langsung menundukkan pandangan karena malu. Pertemuan pertama kami tak ada pembicaraan apa-apa.

Pertemuan kedua saat sedang ada acara Maulid Nabi Muhammad SAW. Dia sebagai pembina sekaligus penanggung jawab remaja masjidnya. Kata-kata yang dia gunakan saat menyampaikan kata sambutan cukup membuatku tertarik. Dia terlihat tegas dan berpendirian tinggi. Sepertinya juga keras kepala. 

Aku ada di acara tersebut karena diundang sebagai salah satu tamu. Mereka mengundang beberapa guru mengaji yang ada di desa ini. Salah satunya aku.

Pada pertemuan ketiga aku baru mulai mengenal Ananta. Hanya sebatas mengenal nama dan pekerjaan. Dia tak sengaja duduk di dekatku saat pemilihan kepala desa. Kami sama-sama sedang menunggu antrian untuk masuk ke tempat pencoblosan. Kemudian aku menguping pembicaraannya dengan orang. Dia memperkenalkan diri sebagai Ananta oleh orang tersebut. Dia juga mengatakan pekerjaannya sebagai guru honorer. Semoga yang kulakukan tidak termasuk kedalam dosa. Aku jadi terkekeh sendiri mengingat kejadian itu. 

Lalu, hubunganku dengan Ananta sekarang bagaimana? Ananta sempat melamarku sebelum ibu meninggal. Aku sendiri belum pernah menjawab lamarannya. Mungkin sekarang waktu yang tepat. Aku yang baru saja selesai berharap ada seorang pangeran tampan yang mau melamarku.

 Kemudian langsung diingatkan, bahwa ada Ananta yang sudah menunggu aku selama ini. Baiklah, mungkin sudah saatnya menjawab. 

"Nanti, aku bicara langsung dengan Ananta, Ustadzah. Terimakasih sudah mau menjadi perantara selama beberapa waktu ini. Maaf jika saya merepotkan."

"Kamu ini, seperti sama siapa saja, lagi pula saya hanya membantu menghubungi kamu dan itu tidak merepotka. Ya sudah, saya sampaikan pesan kamu pada Ananta. Assalamualaikum." tutup Ustadzah Laila yang langsung kujawab juga dengan salam.

Sebenarnya beberapa waktu ini Ananta mengirimiku pesan, hanya saja aku tak berniat untuk membalasnya. Jadi dia meminta tolong pada Ustadzah Laila. Baiklah, aku akan membalas pesannya dan meminta untuk ketemuan besok. 

"Bagaimana jawabanmu?" tanya Ananta setelah dia berbasa-basi sedikit tadi.

"Sebelum aku menjawab, kau sudah tau tentang aku 'kan?"

"Tahu, kau adalah Asnita, seorang guru ngaji cantik yang akan menjadi istriku,"

"Bukan begitu, aku tidak punya wali, Ananta. Ayah dan ibuku sudah meninggal dan aku tidak  tahu sama sekali tentang keluarga mereka. Siapa yang akan menjadi waliku?"

"Aku tidak peduli. Itu bukan masalah besar. Kita bisa pakai wali hakim."

"Orang tuamu bagaimana? Apakah mereka akan menerima aku?"

Mencari WaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang