Saat tiba di depan pintu. Semua persendianku terasa lemas. Ada beberapa orang yang memakai baju kompak. Ya, para pekerja sudah ada di luar. Mereka bersiap untuk membukakan pintu rumah untukku. Aku berhenti sejenak. Kemudian melihat ke arah Anjas.
"Aku tidak berani masuk! Aku mau pulang aja," ucapku sambil membalikkan badan, ingin pulang.
"Hey, kenapa gitu?" tanya Anjas lembut.
"Aku takut, bagaimana jika semua orang membenciku?" Aku menyampaikan rasa takutku.
"Percayalah, mereka semua sudah menunggumu dengan rasa senang. Apa yang kamu takuti tidak akan terjadi. Percayalah!" Anjas menenangkanku dengan sangat baik.
Dia kemudian memegang tanganku. Aku yakin dia merasakan tanganku yang dingin ini. Sentuhan tangannya berhasil membuatku sedikit tenang. Aku menarik nafas dalam-dalam, memantapkan diri lagi. Akhirnya aku berani masuk ke dalam rumah.
Pintu dibuka oleh para pekerja. " Assalamualaikum!" salam Anjas yang kemudian dijawab dengan para penghuni rumah. Sekarang semua mata tertuju pada kami. Waktu seolah-olah melambat. Semuanya seperti ada slow-motion. Langkah kakiku juga jadi pendek.
Aku melihat nenek duduk di salah satu sofa. Aku ingin menuju sofa tersebut, tapi langkah kakiku yang menjadi pendek ini membuat sofa nenek jauh. Padahal seharusnya tinggal beberapa langkah laki.
Sekarang, semua mata tertuju padaku. Anjas berhenti dan memilih duduk di sofa yang lain. Membuatku jalan sendirian ke arah Nenek. Padahal tinggal beberapa langkah lagi aku tiba. Karena sangking lemasnya. Aku terjatuh. Kemudian semua orang yang melihatku berteriak. Ah, malu sekali.
Anjas langsung cepat menolongku. Dia menanyakan kondisiku. Tentunya aku baik-baik saja. Terlalu gugup membuat keseimbanganku berkurang. Nenek yang tadinya duduk juga menghampiriku. Dia juga bertanya tentang kondisiku. Jelas sekali tidak apa-apa. Aku hanya terlalu gugup.
Akhirnya nenek menggandengku untuk duduk di sebelahnya. Beberapa orang juga langsung mendekat ke arahku. Sebelum duduk, aku mencium tangan nenek yang disusul pelukan hangat miliknya.
Sekarang aku sudah di sebelah nenek dengan posisi duduk. Masih belum ada percakapan serius untuk kami semua. Mungkin masih larut dalam pikiran masing-masing. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Anjas mulai bersuara. Dia menjelaskan satu persatu silsilah keluarga.
Ada adiknya Atuk, keponakan, dan anaknya Atuk. Semua berkumpul untuk melihatku. Tak lupa juga Anjas memperkenalkanku dengan cucu Atuk yang lain. Ketika sudah sampai di akhir perkenalan. Seorang perempuan yang tadi di kenalkan sebagai adik Atuk melempar pertanyaan.
"Maaf, apa benar ayah dan ibu kamu sudah tidak ada? Apa benar mereka sudah meninggal?"
"Iya, Nek. Ayah meninggal saat pergi melaut. Jasadnya hampir saja tidak ditemukan. Untungnya, ada orang yang dengan tidak sengaja berhasil menemukan ayah. Jasad ayah tersangkut di salah satu jaring nelayan," jelasku.
"Lalu, ibumu?"
"Ibu terkena sakit gula, ada luka busuk di kakinya. Karena kami tidak punya uang untuk operasi amputasi kaki. Jadi kakinya di biarkan membusuk. Sampai akhirnya ibu meninggal." Dengan bergetar aku menceritakan tentang keluarga kami.
"Bagaimana kondisi keluarga kalian selama di sana?" tanya adik Atuk yang satunya lagi.
"Alhamdulillah! Sewaktu ayah masih hidup, kami berkecukupan. Ayah tidak pernah membiarkanku kelaparan dan bersedih. Kami cukup bahagia selama di sana. Warga sama juga baik-baik. Kami dianggap keluarga sendiri."
Tiba-tiba seorang perempuan menangis tersedu-sedu. Bahkan bisa dibilang hampir tantrum. Sigap, Anjas langsung memeluk perempuan tersebut. Dia menenangkan perempuan itu sambil mengelus kepala dan punggung perempuan itu.
"Mama kenapa?" tanya Anjas. Ternyata perempuan itu adalah ibunya. Berarti kakaknya ayahku. Kenapa dia menangis seperti itu?
Ibunya Anjas berdiri, dia berjalan ke arahku. Menatapku sejenak kemudian memelukku dengan sangat erat. Aku yang tadinya berniat untuk tidak menangis malah justru menangis tak kalah hebohnya dengan ibu Anjas. Kesedihan itu katanya menular. Jadilah aku tertular rasa sedih itu.
Setelah ibunya Anjas memeluk, semua orang di ruangan ini juga ikut mendekat ke arahku dan memelukku. Mereka semua menangis dan mencium diriku. Entah bagaimana menjelaskannya, tapi di setiap pelukan aku merasakan hal yang berbeda.
Misalnya, saat adik atuk yang memeluk. Aku bisa merasakan kalau itu pelukan rindu. Lalu, saat para sepupuku memeluk, aku bisa merasakan itu pelukan kasihan. Nah, ketika aku dipeluk oleh ibunya Anjas, barulah rasanya berbeda. Ada rasa penyesalan dalam pelukan ibunya Anjas.
Dia juga yang paling lama memelukku. Entah apa yang dia sesalkan. Namun balik lagi, ini hanya perasaanku. Siapa tahu aku bisa salah menduga. Setelah adegan pelukan dan semuanya sudah saling menangis. Seorang pekerja datang, dia menyampaikan informasi bahwa, makanan sudah siap.
Nenek melihat ke arahku dan bertanya, "kamu sudah siap dengan kegiatan makan bersama kami?" Tentu saja aku siap. Salah satu yang aku harapkan malah.
Aku mengangguk sebagai jawaban 'iya'. Kemudian aku diajak ke ruang makan. Sampai di ruang makan, jelas aku terkejut. Begitu banyak menu di sini. Semua menu ini sepertinya akan cukup untuk makanku selama dua Minggu karena sangking banyaknya.
Aku dipersilahkan duduk oleh Anjas. Aku duduk di kursi makan yang paling besar sendiri. Kursi ini berhadapan dengan nenek. Kemudian keluarga yang lain berada di bagian kanan dan kiri dari tempat aku duduk ini.
"Itu adalah kursi Atuk," ucap seseorang yang aku lupa statusnya di keluarga ini. Mungkin nanti aku harus segera menghapal silsilah keluarga ini.
"Wah, kenapa aku disuruh duduk di sini? Itu ada kursi kosong, aku duduk di situ aja, ya," pintaku. Jelas aku keberatan duduk di kursi Atuk.
"Tidak apa-apa, duduk di situ saja. Sudah nenek bilang kalau kamu diterima di sini. Kamu tidak perlu segan. Hal pertama rasa protes yang kami sampaikan dengan cara ini. Semoga dia tahu kalau kamu pernah duduk di kursi singgasananya," ucap nenek. Aku bertanya-tanya dalam hati apakah ini diperbolehkan? Sopankah?
"Oh, iya. Kamu jangan merasa tidak pantas. Ini hanya sebuah kursi. Kamu juga gak melakukan hal lainnya. Jadi santai saja." Ibunya Anjas juga ikut menenangkan seolah tahu, kalau aku kurang nyaman.
"Baik, Bu. Aku hanya merasa segan jika duduk di sini. Apakah ini tidak berlebihan?" Akhirnya aku berani bersuara.
"Asnita, kamu itu ...." Belum selesai Anjas bicara, seorang pekerja datang.
"Maaf, Bu. Ada seorang laki-laki yang datang, katanya calon suami Mbak Asnita. Dia dari tadi izin mau masuk," papar pekerja tersebut. Ah, ternyata Ananta jadi datang. Padahal aku sudah terlanjur senang dari tadi karena dia tidak ada.
"Ya, udah. Izinkan dia masuk. Langsung bawa ke sini saja." Nenek mengizinkan Ananta ikut ke acara makan-makan ini.
"Wah, kamu sudah punya calon suami?" tanya ibu Anjas. Sebenarnya aku bingung mau menjawab iya atau tidak. Namu akhirnya aku pilih jawaban iya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mencari Wali
SpiritualAsnita seorang gadis-yatim piatu ingin menikah dengan Ananta sayangnya gadis itu harus mencari Wali ke Kota Binjai. Proses pencarian tersebut membuka fakta tentang orang tuanya yang tidak direstui menikah oleh sang kakek (Ayah dari orang tau Asnita...