II

10 2 0
                                    

Setelah memastikan Kak Louis pergi menuju ruang makan, aku bergegas menuju ruang tamu, untuk apalagi jika bukan untuk menemui Yang Mulia Pangeran kita tercinta?

......

Yah bukan seperti itu, mana mungkin aku masih mencintainya setelah meminum racun yang dia berikan? walaupun untuk sekarang itu seperti kejadian yang tidak pernah terjadi.

Namun rasa sakit akibat perlakuannya tidak ikut menghilang, bahkan sepertinya akan terus terngiang ngiang.

Saat membuka pintu ruang tamu, aku melihatnya tengah meminum teh sembari menatap taman yang terlihat dari jendela.
Tempat duduknya memang sengaja di taruh di samping jendela.

Saat mendengar suara pintu berderit dia refleks menoleh lalu tersenyum.

Deg.

Sial, mengapa aku masih berdebar?
Padahal aku yakin tadinya bahwa rasa suka ku sudah hilang, bahkan hilang saja tidak cukup.

Kurasa aku sudah banyak membencinya.
Tapi kenapa begini? apa aku berdebar bukan karena menyukainya tapi karena rasa ingin menamparnya sekarang juga?

Melihatku membeku di tengah pintu, dia segera berdiri dan menghampiriku.
Lihatlah dia, bagaimana mungkin orang yang saat ini memasang ekspresi khawatir itu bisa memasang ekspresi seperti terakhir kali sebelum aku mati?

Mungkin jika saat ini dia bilang bahwa saat itu aku sedang mimpi buruk, sepertinya aku akan percaya.

"Lyra? ada apa? kenapa kau hanya berdiri disini dan tidak masuk?" tanyanya, ia membelai wajahku, menyelipkan rambutku ke belakang telinga.

Aku menatapnya, rasa benci dan haru bercampur aduk jadi satu.
Yang benar saja aku masih berdebar?
Sial.

Aku menghela napas kecil, menepis tangannya yang tengah membelai wajahku.
"Saya baik baik saja, Yang Mulia. Hanya sedikit tidak enak badan saja." jawabku.

Evan membeku sesaat, dia tidak menyangka aku akan menepis tangannya.
Tapi setelah mendengar alasan ku ia dengan cepat memasang ekspresi khawatir lagi.
"Ah apa aku datang lain kali saja? sepertinya kamu benar benar sakit, kenapa kamu memanggilku dengan formal begitu?"

Ia berbalik menuju kursi yang tadi di tinggalkannya saat menghampiriku, lalu menarik kursi di hadapan kursinya kebelakang.
"Duduklah, Lyr" ucapnya.

"Apakah saya biasanya begitu? bukankah itu tidak sopan?" tanyaku sembari berjalan menuju ke arahnya.

Tidak baik bukan menolak orang yang sudah menarik kan kursi untuk kita?
Setelah aku duduk dia juga kembali duduk di kursinya.

"Tentu saja tidak, aku sendiri kan yang memintamu untuk tidak berbicara dengan formal" jawabnya.

Tok tok

"Nona, kami mengantarkan camilan"
Terdengar suara pintu di ketuk disusul suara seorang pelayan.

"Masuk" sahutku.

Kriek

Ada dua pelayan yang masuk dengan mendorong troli berisi camilan, lalu mereka menatanya di atas meja di antara kami.

Saat itu sampai setelah para pelayan keluar kami masih terdiam, tidak ada yang kembali membuka pembicaraan.

Ia hanya sibuk memandangi ku, sedangkan aku mengalihkan pandangan ke arah jendela.

Tak tahan dengan suasana canggung ini, aku membuka suara.
"Ah, jadi kenapa Yang Mulia datang hari ini?"

Ia masih setia menatapiku, bahkan aku takut wajahku akan terkikis karena di tatapnya begitu.
"Evan" ucapnya.

Lady Return's LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang