Lima puluh tahun lalu, Saat pertama kali Gurukul didirikan, murid di sana masih terdiri atas laki-laki dan perempuan. Karena asrama mereka berdekatan dan pergaulan bebas kala itu, banyak murid perempuan yang hamil. Sejak saat itu, asrama mereka dipisah jauh. Namun, tuan Narayan Shankar, kepala sekolah yang baru diangkat tiga puluh tahun lalu, sangat menghindari hal yang sama terjadi lagi. Akhirnya beliau memutuskan untuk membuat sekolah lagi dengan nama yang sama dan diperuntukkan khusus perempuan. Letakkan tak begitu jauh, hanya terpisah tembok besar dan tinggi di tengahnya.
Tuan Shankar juga membuat banyak peraturan ketat yang membuat semua murid bahkan tak berani bergerak jika belum dapat persetujuan dari beliau.
Hampir tengah malam, akhirnya seseorang dari Gurukul tiba untuk menjemput para calon murid menggunakan bis.
Seseorang bernama Raj Aryan datang sambil memainkan biola merahnya dengan merdu. Semua calon murid memandangnya kagum. Pria tampan, tinggi, gagah, dan berkacamata itu bersenandung mengikuti irama biola.
Bisik-bisik penuh tanya memenuhi stasiun. Vicky pun harus mengakui ketampanannya, sedangkan Samir mengakui kehebatannya dalam main biola.
"Selamat malam, semuanya," sapanya usai memainkan biola.
Semua mata tertuju padanya, mereka bahkan melangkah mendekat.
"Saya Raj Aryan, guru musik di Gurukul. Ada yang suka musik?" Tambahnya.
Beberapa anak mengangkat tangan, termasuk pria yang sempat Samir kira sebagai orang dari Gurukul. Vicky dan Samir memandangnya lekat, penasaran dengan musik versinya.
"Perkenalkan nama kamu," kata Raj Aryan sembari menunjuk pria itu.
"Saya Karan, pak, pindahan dari Jakarta Timur," jawabnya.
Samir berbisik pada Vicky, "namanya Karan?"
"Bukan saluran air ujung pipa, kan?" Balas Vicky menahan tawa.
"Itu Keran!"
"Ups, sorry."
"Alat musik apa yang kamu kuasai?" Tanya Raj Aryan.
"Piano, pak," jawab Karan.
Raj Aryan mengangguk paham, dia tersenyum lebar lalu berkata, "baik, tuan pianis, kita bicarakan itu lain kali, sekarang sudah hampir tengah malam, ayo semuanya naik bis! Kita akan sampai di Gurukul dan segera tidur. Besok pagi adalah hari melelahkan untuk kalian."
Vicky meninggalkan Samir dan berusaha mendekati Karan saat mereka berjalan menuju bis.
"Lo juga suka piano? Ajarin dong lain kali, gue suka tapi nggak bisa," ujar Vicky bohong. Dia tak tampak seperti suka musik, bahkan untuk senam saja badannya kaku. Tapi kalau nge-Gym, jangan tanya, dia jagoannya.
Karan hanya terkekeh, lalu menjawab, "kalau beneran suka pasti diperjuangkan sampai bisa."
"Gue pernah coba, tapi pianonya malah rusak," balas Vicky nyengir lebar.
"Ada yang mau apel?" Tanya Samir tiba-tiba berjalan di sisi lain Karan. Pria itu membawa tiga apel merah di tangannya. Karan memandangnya datar, sedangkan Vicky menatapnya curiga.
Samir menyodorkan satu apel ke Karan, butuh waktu beberapa detik untuknya menerima pemberian Samir. Lalu Samir melempar apel satunya ke Vicky yang untungnya dengan sigap ia tangkap.
"Ngomong-ngomong, gue Samir, gue nggak minta diajarin main piano kok, tenang aja," tambahnya lalu menggigit apelnya.
"Gue Karan, makasih apelnya," jawabnya sambil menggigit apelnya.
Samir tampak kaget, ia tak mengira Karan tahu berterima kasih dalam hal kecil. Dia kira pria itu selalu bersikap dingin seperti tadi.
Mereka sudah sampai di dekat bis warna merah. Vicky masih bengong memperhatikan Samir yang tiba-tiba ngajak Karan ngobrol.
"Gue duluan, ya?" Kata Samir beranjak menaiki bis. Sampai di pintu, dia menoleh kembali dan berkata, "terima kasih atas apelnya, Samir. Sama-sama, Vicky."
*
Sesampainya di gedung tiga lantai yang sangat luas, serta jarak gerbang tinggi dengan gedung sekitar seratus meter bahkan lebih. Ini sama sekali tak sesuai dengan ekspektasi Vicky. Dia mengira Gurukul adalah kampus mewah dan modern. Namun ternyata kebalikannya. Tembok yang berbahan batu itu berdiri kokoh dengan dikelilingi banyak tanaman rambat. Seluruh halaman dipenuhi rumput hijau yang cukup terawat.
Mereka turun dan langsung menuju kamar asrama yang ditunjukkan oleh Raj Aryan. Semua kamar diisi oleh dua murid, namun berbeda dengan kamar terakhir yang Raj Aryan atur untuk bertiga, yaitu Vicky, Samir, dan Karan. Karena hanya mereka yang tersisa.
"Selamat malam, anak-anak, semoga mimpi indah," pamit Raj Aryan meninggalkan mereka bertiga yang berdiri di depan pintu kamar.
"Lo boleh masuk duluan," ujar Vicky sambil memberikan kunci pada Karan.
Karan menerimanya tanpa pikir panjang. Dia sudah tahu kenapa Vicky menjadikannya tuan, demi selembar kertas yang tadi dia bawa. Keserakahannya muncul seketika, dia tak mau melewatkan kesempatan dilayani dua orang sekaligus.
Dia membuka pintu, mereka bertiga bengong beberapa saat melihat ukuran kamar yang tak begitu besar, namun tampak mewah. Ada satu ranjang kecil, dan ranjang lain bertingkat. Tersedia tiga meja belajar di sudut yang berbeda, tak lupa buku-buku pelajaran sudah tertata rapi di setiap meja.
Mereka kagum karena langsung dimanjakan dengan semua persediaan tanpa harus mengurusnya sendiri. Mereka masuk dan berkeliling, mengamati setiap sudut kamar.
"Gila, gue kira kamar kita semacam kandang babi kalau dilihat dari luar gedung," kata Vicky sambil meletakkan tasnya di atas salah satu meja belajar. Lalu menambahkan, "kalau gini sih kata gue kayak hotelnya babi."
"Permisi, klarifikasi kalau gue bukan babi," sahut Samir kesal.
"Gue juga," tambah Karan.
"Gue juga nggak mau tidur sekamar dengan babi," ledek samir.
"Gue juga."
Vicky berdecak kesal. Dalam ia mengumpat dan menggerutu karena merasa salah pilih teman yang tak se-frekuensi.
Karan hendak naik ke ranjang atas setelah ganti baju santai. Begitupun dengan Samir yang memilih ranjang bawah Karan. Sedangkan Vicky memilih ranjang tunggal.
Vicky tak ikut ngobrol dengan Karan dan Samir yang tampaknya mulai akrab. Vicky memilih tidur duluan. Sebelum menutup mata, dia berkata, "jangan ada yang berisik! Gue tendang kalau ada yang dengkur!"
Satu jam setelah mereka semua tertidur lelap, tiba-tiba Samir terbangun karena suara yang sangat mengganggu. Karan juga terbangun karena hal yang sama, dia menengok ke bawah.
"Suara apaan?" Tanya Karan pelan pada Samir yang hanya mengedikan bahu.
Karan turun, memeriksa ke luar jendela, siapa tahu ada kuntilanak nyasar. Samir tak perlu pikir panjang untuk menarik selimut Vicky yang menutupi ujung rambut hingga kakinya. Benar saja, pria itu tidur telentang dengan mulutnya terbuka lebar. Dia mendengkur lebih keras.
"Tendang orang tidur dosa, nggak?" Tanya Samir.
Karan terkekeh, "kayaknya nggak kalau orangnya iklhas."
Samir memandang Karan datar, "bilang sama gue kalau dia ikhlas gue tendang!"
"Dia ikhlas lo tendang," balas Karan menurut, lalu beranjak naik ke ranjangnya lagi. Membiarkan Samir berbuat sesukanya.
*
Suka trio Gurukul versi baru, nggak?
Gimana kalau mereka kasih nama genk khusus?
Genk Visaka (Vicky, Samir, Karan) gimana?
Masih mau lanjut?
Komen ya..
Kalau ada uneg-uneg atau kritik dan saran, kita diskusi bareng-bareng di sini ;)
Sampai jumpa bab selanjutnya...
![](https://img.wattpad.com/cover/334998930-288-k877332.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mohabbatein Series
Fiksi PenggemarBUKAN NASKAH FILM⚠️ HANYA KARANGAN FAN FIKTIF ⚠️