LUNA (TIK)

15 0 0
                                    


LUNA (TIK)

Ada hantu di kepalaku. Namanya Luna. Lunatic. Wajah kami persis kembar seiras. Bezanya wajahku lebih manusiawi, sedang dia wujud dalam versi kurang sempurna. Aku benci dia. Sungguh-sungguh benci. Dia berupaya membuatku bertindak di luar kendali melalui bisikan-bisikannya di telingaku. Jika aku mengacuhkannya, dia akan membuat keriuhan dalam kepalaku hingga menimbulkan sakit yang luar biasa. Dia hanya akan berhenti menyakiti andai semua perintahnya aku laksanakan dengan sempurna.

Pada mulanya keadaan tidaklah sesadis hari ini. Aku masih ingat kali pertama dia hadir saat aku sedang menangis sendirian di bawah pohon ara tidak jauh dari rumahku. Dia datang sebagai seorang anak kecil manis yang sebaya denganku. Waktu itu wajah kami jauh berbeza. Dia memujukku dengan keletah lucunya hingga dukaku hilang begitu saja. Kami pun bermain kejar-kejar dan berjanji untuk berjumpa lagi keesokan harinya. Pada pertemuan ketiga, dia menyelitkan sekuntum bunga liar putih di telingaku sebagai simbol persahabatan kami. Semenjak itu, perlahan-lahan wajahnya berubah menjadi wajahku.

Persahabatan pun terjalin antara kami seperti akrabnya isi dan kuku. Dia sentiasa menemaniku ke mana saja dan membantuku menyelesaikan hal-hal yang sulit selama ini. Bersamanya, aku merasa punya kuasa magis. Waktu di sekolah, dia membisikkan aku jawapan-jawapan pada setiap soalan yang ditanyakan guru hingga seisi kelas pun hairan melihat perubahanku daripada seorang murid labil menjadi cerdas. Kalau di rumah, dia akan menenangkanku saat ayah mendera mama atau saat aku dijadikan pelampias nafsu serakah ayah. Saat seluruh dunia mencela keluargaku akibat kebobrokan ulah ayah, tetap dia setia menemaniku.

Ketika usiaku beranjak sepuluh tahun, dia memberitahu kalau sudah sampai masanya aku belajar melindungi diriku sendiri. Bisikannya pun berubah menjadi saranan-saranan yang tidak masuk akal seperti melempar orang dengan batu, atau menolak anak kecil ke dalam sungai. Aku merasa sebuah kemerdekaan jiwa setiap kali sakit hatiku terbalas atau dendamku terlunasi. Namun, ketika aku mengajaknya untuk membalas perbuatan bejat ayah, dia enggan.

"Jangan dulu. Belum masanya," katanya tegas memujukku.

"Jadi bila?" desakku tidak sabar.

Dia tersenyum memandangku. Matanya menjanjikan kata 'suatu hari nanti' yang kutelan bulat-bulat tanpa mengunyahnya.

Namun ketika usiaku meningkat remaja, aku mulai merasa ada yang tidak beres dengan persahabatan kami. Dia mendominasi hubungan kami menurut acuannya sendiri. Dia menggeletek badanku saat nenek meninggal; dia menyanyikan lagu gembira saat ayah memperlecehkan aku; dia bahkan membuatku diam tak bergimang saat menjawab soalan peperiksaan. Apapun perlakuanku yang disebabkan oleh tindakannya, tetap akulah yang akan menanggung bebannya. Lebih menyakitkan, aku selalu lupa apa yang telah aku lakukan. Aku tidak hanya disingkirkan masyarakat, tapi juga rakan-rakan sekolah. Mereka bilang aku gila. Malangnya manusia itu cuma tahu menghukum. Tidak ada yang benar-benar mahu membantuku keluar dari dunia yang tidak kufahami ini. Tiada siapa percaya saat aku menjelaskan kalau dia adalah punca semua kebobrokan ini, termasuk mamaku sendiri. Apalagi ayah! Semua itu membuatku merasa tidak berguna sama sekali. Aku penat. Nafasku selalu sesak dan tanganku sering menggeletar. Aku benar-benar ingin mengenyahkannya pergi dari hidupku. Namun dia sudah mendirikan pemukimannya tepat di bahagian otak tengahku. Mahu saja kusiat kulit kepalaku atau kubelah tengkorak kepalaku lalu mengheretnya keluar dari situ. Pernah juga beberapa kali kuhempas kepalaku ke dinding dengan harapan dia akan terpantul keluar dari celah dahiku. Malangnya, semakin keras aku melakukannya, semakin kuat pula dia mencengkam urat kepalaku. Lagaknya seperti seorang bocah yang sedang bermain kuda kayu berkaki spring di taman permainan. Dia bersorak dan meminta aku untuk terus menyakiti diriku lagi.

Akhirnya, aku pun nekad mengacuhkan kewujudannya. Tindakanku mengundang kemarahannya yang bukan kepalang. Dia bertempik di telingaku dengan suaranya yang nyaring dan gegak gempita. Makin lama, jeritan itu menjadi semakin ramai. Bunyi-bunyi palu gendang dan sorak siul menyusul sesudahnya. Bingit. Suara itu terkurung dalam kepalaku berhari, malah berminggu-minggu lamanya menerbitkan sakit kepala yang luar biasa. Setelah semua usaha yang kulakukan tidak berhasil mengusir bunyi itu pergi, aku menelan puluhan biji ubat pembunuh sakit yang kucampur bersama minuman berkarbonat. Aku pun lunyai bersama salutan muntah buih sebelum semuanya hilang bersama kegelapan. Aku pun dibawa terbang menari di tengah kepulan awan-gemawan dengan gaun putihku yang indah. Sendiri. Kudengar gesek bunyi tali kecapi dan dengung seruling bergabung menghasilkan nada muzik yang merdu. Tubuhku melayang bersama burung-burung camar menuju cahaya kuning jingga di hujung langit sebelum sebilah petir tunggal menyambar dan menghumbankan aku kembali ke bumi.

Antologi : Dunia Sebelah SanaWhere stories live. Discover now