Pedihnya kehidupan

1 0 0
                                    

Keesokan harinya, Leena harus kembali menjalani beratnya hari. Dengan perlahan ia menaiki bus menuju sekolahnya. Sekolah yang sangat ia impikan saat itu dan ia berhasil mendapatkan beasiswa.

Masi teringat wajah bahagia dan penuh bangga dari ibunya saat ia menerima beasiswa itu. Terkecuali ayahnya, dengan kabar bahagia itu justu dengan tega memukul Leena sehingga ia tak sadarkan diri karena ia tak memberi uang pada ayahnya saat itu.

"Saya tidak peduli kamu mendapatkan itu! Cepat berikan uang mu, saya mau bayar hutang" Dengan sangat tega ayahnya meyiksa Leena. Ia terus dipukuli sampai ia lupa akan rasa sakit itu. Ibunya sambil menangis mencoba untuk melindungi dirinya. Tapi apa daya, kami berdua akan kalah tenaganya bila disandingkan dengan ayahnya.

Ingatan itu lagi yang ia coba untuk lupakan namun malah makin menghantui dirinya. Bekas luka pada tubuhnya masih terlihat jelas sampai sekarang. Sekarang tidak ada lagi yang melindungi dirinya. Hanya dirinya sendiri

Tak terasa ia sudah sampai di sekolah ini. Sekolah terbaik di kotanya. Sekolah yang isinya anak-anak dengan ekonomi yang bagus. Terkecuali dirinya, penerima beasiswa. Dengan perlahan ia masuk ke sekolah itu.

Bugh

Leena merasakan tubuhnya ditabrak dari belakang. Beruntung ia punya keseimbangan cukup baik saat ini sehingga ia tak jadi mencium tanah. Ia mencoba melihat siapa yang menabrak dirinya. Ternyata adalah orang yang akhir-akhir menganggu dirinya. Wanita itu datang dengan teman-teman nya.

"Masih punya muka ya sekolah disini. Ayahnya udah ngebunuh orang gatau malu!" Dengan nada yang sangat meremehkan. Salah satu diantara mereka mengambil langkah mendekati Leena dan langsung menjambak Leena dengan keras sampai Leena merasakan rambutnya akan terlepas dari kulit kepalanya.

"T-tolong lepaskan. Ini sakit sekali" Dengan lirih ia mencoba melepaskan tangan yang menjambak rambutnya itu. "Sakit ini engga sebanding sama rasa sakitnya Adya yang ibunya dibunuh sama ayah lo"

Lisa, wanita yang menjadi pemimpin dari kumpulan itu ikut menjambak dirinya. Kini yang lengkap sudah rasa sakit yg ia rasakan. Mencoba menahan tangis karena ia tak ingin menunjukkan rasa sedih yang ia rasakan. Kini ia menjadi pusat perhatian pada lapangan sekolahnya tapi tak ada seorang pun yang membantunya.

"Hey, ada apa ini? Bubar, bubar!" Lagi-lagi penyelamatnya datang. Pak guru biologi datang dengan membawa sapu mencoba membubarkan keraimaian itu. "Lisa, Agnes. Kamu ngapain itu jambak-jambak Leena. Lepaskan!"

Akhirnya mereka melepaskan jambakan itu. Sambil melirik sinis ia pergi meninggalkan Leena. "Awas lo ya! Ini belum seberapa"

Yah, ia tahu ini belum seberapa. Hanya jambakan saja tidak membuat mereka puas menyiksa Leena. "Kamu ngapain masi disini? Sana ke kelas!" Usir penyelamatnya itu sambil meninggalkan Leena.

Perlahan ia berjalan menuju kelasnya. Kelas yang pernah ia rasakan kehangatan. Tapi itu saat ia masih awal-awal masuk. Sekarang justru terbalik.

Saat ia tiba di kelas, tatapan benci, jijik, dan sinis ditunjukkan untuk dirinya. Ia mencoba untuk mengabaikan dan perlahan menuju bangku yang lagi-lagi menjadi sahabatnya akhir-akhir ini.

Ia duduk sendirian padahal yang lain duduk berdua. Teman bangkunya saat ini memisahkan bangku miliknya dengan punya dia terlihat enggan untuk berdekatan dengan dirinya. Dengan anak pembuhun. 

***

Tak terasa bel pulang sudah berbunyi. Ia bergegas untuk segera pulang karena harus langsung pergi ke tempat kerja. Dengan cepat ia keluar dari kelas menuju gerbang.

Dengan langkah cukup tergesa-gesa tak sadar ia menabrak sesorang. "Punya mata ga?" Ucap orang yang ia tabrak dengan nada sangat rendah namun menyeramkan.

Deg

Adya

Masa lalu terindah

Ia bertatapan dengan orang yang sangat ia hindari. Dengan langkah mundur, "M-maaf aku engga sengaja" Cicitnya.

Bukan, bukan Adya yang ia tabrak. Melainkan Bagas, teman Adya. Namun, Adya sedang berada disamping bagas. Melihat tatapan tajam itu ia segera bergegas untuk pergi.

"Dih, engga sopan banget tuh udik main pergi aja" Bagas geleng-geleng. Namun, pandangan Adya lurus pada siluet yang semakin menjauh dengan tatapan yang sulit diartikan

Sampai di bus ia langsung mencari tempat duduk sambil mencoba mengatur nafas kembali. Kejadian tadi membuat jantungnya berdegup dengan kenjang.

***

Sehabis pulang kerja seperti biasa ia harus jalan kaki menuju kontrakannya. Uangnya saat ini hanya tinggal sedikit lagi ia juga ragu apakah cukup sampai gajian lagi. Langit sangat gelap tapi ia belum makan dari pagi. Ingatkan Leena untuk membeli lauk di warteg yang masih buka.

Di depan kontrakannya sudah ada ibu Sodiah yang berdiri menunggu dirinya. "Eh udah pulang, Leen" Sapa ibu Sodiah sambil tersenyum. "Iya bu" Leena persilahkan bu Sodiah untuk masuk.

"Sebelumnya ibu minta maaf sekali saya harus katakan. Kamu sudah nunggak 2 bulan" Ini yang Leena takutkan ternyata terjadi. "Sedangkan saya tetap perlu pemasukan. Ada yang menawarkan kontrakan ini dengan harga dua kali lipat" Lanjutnya

Leena menahan nafas sejenak, "Bu, saya janji akan bayar besok. Jangan usir saya bu. Saya tidak punya tempat tinggal lagi selain ini" Lirih nya

"Saya paham sekali, Leen. Tapi mohon maaf sekali saya sangat butuh uang ini untuk pengobatan anak saya" Balas ibu Sodiah. Ibu Sodiah punya anak berumur 14 tahun yang menderita jantung bawaan.

Leena hanya bisa mengangguk sambil menahan tangis. "Baik bu, saya paham sekali kondisi ibu" Ia menghapus air mata yang jatuh pada pipinya. "Terimakasih sudah mau menampung saya selama 6 bulan ini. Maaf jika saya lebih banyak merepotkan ibu"

Iya sangat berterima kasih pada ibu Sodiah ini. Saat ayahnya masuk penjara ia tak punya tempat tinggal karena rumahnya harus di sita oleh bank. Tapi dengan baik hati bu Sodiah mau menyewakan kontrakannya dengan harga miring.

"Besok kamu sambil cari-cari kontrakan ya, nanti saya bantu carikan juga" Bu Sodiah memegang pipiku dengan lirih. "Kamu anak baik sekali. Kamu harus bertahan demi ibukmu. Jangan menyerah ya" Lanjutnya.

Ia mengangguk berkali-kali dengan air mata yang makin deras. Leena ternyata sangat lelah menghadapi ini. Bu Sodiah memeluk dengan sayang. Ah, pelukannya sangat hangat seperti pelukan ibu.

Esok hari ia harus kembali berjuang mencari tempat tinggal yang layak. Tidak perlu bagus setidaknya bisa melindungi dirinya dari panas matahari dan hujan

°°°°°°°°°°°°°°

Halo, Terimakasih sudah mau baca cerita ini.
Feel free untuk masukan dan sarannya.
Jangan lupa vote comment biar aku makin semangat!!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 25, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Our Last SummerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang