"Menyusun Ulang. Walaupun mungkin akan sedikit sulit, tetapi bukan mustahil untuk kembali rapi 'kan?"
*****
Tidak ada yang akrab sama sekali di kelas ini. Dasa memilih untuk tidak akrab dengan siapapun selain dengan Sadha. Pengalaman di sekolah yang sebelumnya membuat dia belajar banyak. Bahwa, teman dekat saja bisa menjerumuskanmu dalam masalah.
Setelah pelajaran berakhir, gadis itu menatap semua murid yang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Dia bisa mendengar ada yang membicarakan soal video Sadha kemarin. Tertawa lepas seolah itu adalah lelucon.
Dasa geram, sungguh. Dia tak tau siapa yang menyebarkan video itu di blog gibah sekolah. Tak ada siapapun yang terekam kecuali Sadha yang rambutnya penuh dengan telur ayam.
"Kamu bisa tuntut mereka dengan bukti video yang tersebar, Kak. Aku yakin masih ada hukum yang jujur," ucap Dasa saat mereka selesai menonton video itu kemarin.
"Kamu tau vidio itu sama sekali gak bisa diunduh dan akan dihapus selama 24 jam."
"Rekan layar!"
"Gak bisa."
"Bukan gak bisa, tapi kamu yang gak mau bergerak. Kamu terlalu takut sama kekhawatiran kamu sendiri, padahal belum tentu akhirnya akan sesuai dengan apa yang kamu takutkan, Kak."
"Lalu, kalau sesuai bagaimana?" Sadha bertanya dengan serius. "Hanya empat bulan lagi, setelah lulus semuanya akan selesai."
Dasa mendesah pelan dan mengambil tas dengan kasar saat menyadari tak ada siapapun lagi di kelas. Dia berjalan dengan santai dan sesekali melirik ke lantai dua—tepat pada kelas Sadha yang terlihat kosong.
Sebenarnya, cara belajar mengajar sekolah ini sangat bagus. Fasilitas lengkap, lingkungan yang asri juga bersih. Hanya saja, disisi lain perundungan masih mendarah daging. Entah siapa yang menjadi ketuanya, hanya saja yang Dasa pikirkan ada satu nama, Abrian Mahesa.
"Nunggu lama?" Setelah duduk hampir dua puluh menit, akhirnya Sadha berdiri dan menarik Dasa untuk bersembunyi di balik pohon besar. Pupil matanya terus mengamati sekitar sebelum melepaskan cekalan tangannya dari tangan Dasa.
"Kenapa?" tanya Dasa lagi.
"Takut ada yang lihat," balas Sadha dengan suara pelan. Mengingat bagaimana dia di sekolah, Sadha tak ingin Dasa kena imbasnya juga. Sejauh ini, gadis itu aman dari pembully. Dia harus mempertahankan itu, karena kalau tidak, gadis ini akan di Bully sampai lulus.
"Kenapa emangnya?"
"Ya, gak apa-apa."
"Malu berteman sama aku?"
Sadha menghela napas pelan. "Harusnya yang malu berteman sama aku itu kamu, Sa."
"Kenapa harus malu, kamu gak jadi pelaku bullying, kok."
Sadha menggeleng sembari tersenyum. Hari ini, dia sedikit lega karena orang yang selalu membully-nya tidak masuk. Yah, walaupun dia tau ada beberapa orang yang mengintainya.
Hari ini, mereka sudah berjanji untuk pergi ke pameran. Dengan dua masker, dua hoodie dan kacamata, mereka siap bersenang-senang tanpa takut bertemu dengan murid lain.
*****
"Kamu masih dendam sama Dipta?" Lelaki paruh baya yang duduk di kursi kerjanya bertanya dengan nada tegas. Dia menyandarkan punggungnya dan melipat kedua tangan di depan dada. "Mau sampai kapan jadi orang jahat, An?"
"Sampai Sabrina hidup lagi," balas Bian dengan wajah datar. Dia meminum minuman kaleng yang ada di meja sampai habis kemudian menatap ke depan, tepat pada iris tajam di depannya. "Dia harus ngerasain hal yang sama."
"Bukan salah Dipta, dia meninggal. Kenapa kamu masih keras kepala, orang yang harus disalahkan di sini adalah Herman." Jody mengambil langkah besar untuk menghampiri anaknya, dia mengusap pundak itu dengan perlahan.
"Jangan bela dia karena dia anaknya Tante Susan, Dad." Sekarang, Bian mengerti kenapa Jody sslalu berkata buruk tentang Herman. Dia tau bahwa percintaan Ayahnya cukup rumit.
"Kenapa Daddy harus membela orang yang bahkan gak ngasih kesempatan ke Daddy? Dia sama sekali gak berharga di hidup kita."
Walaupun begitu, Bian bisa melihat apa yang Ayahnya katakan adalah kebohongan. Faktanya, foto wanita itu masih tersimpan di dalam dompetnya.
"Arbian, dengar. Sabrina akan marah jika tau kamu memperlakukan pujaan hatinya seperti ini," jelas Jody dengan nada yang lebih lembut. "Dia akan sangat marah sampai tak mau bertemu denganmu lagi, jadi berhenti. Lagipula kejadian itu sudah sangat lama."
"Seperti yang aku katakan barusan, aku akan berhenti sampai Sabrina hidup kembali atau kalau tidak, sampai aku bertemu dengannya."
"Oke, baiklah. Daddy hanya akan membantu menutupi kenakalanmu itu, boy."
*****
Mata Dasa bergerak mengikuti gerak-gerik ikan hias yang ada di akuarium besar di depannya. Berbagai warna dan bentuk disajikan dalam satu wadah yang membuatnya terlihat indah. Ada beberapa tanaman buatan sebagai pelengkap, juga air mancur yang membuat ikan terlihat kegirangan.
"Mau beli?" tanya Sadha setelah beberapa menit diam, asik memerhatikan Dasa yang terlihat antusias.
"Gak, aku gak pandai ngurus hewan." Dasa menarik tangan Sadha untuk melihat yang lain, seperti lukisan, aksesoris dan lainnya. Mereka juga beberapa kali naik wanaha.
"Ini pertama kalinya aku pergi ke pameran," ucap Sadha saat mereka sudah duduk di bawah pohon besar yang cukup jauh dari tempat pameran.
"Serius?"
"Ya," balas Sadha dengan tegas. "Aku terbiasa sendiri sejak kecil, gak ke mana-mana karena Ibu gak izinin aku pergi. Hidup aku disetir oleh Ibu, aku harus ngelakuin apa yang dia mau."
"Kamu gak punya teman sama sekali, kak?"
"Ada, dua orang. Mereka adik-kakak, dan beberapa tahun lalu hubungan kami menjadi buruk." Sadha tak bisa memberi tau alasannya sekarang. Jujur, dia belum siap. Mengingat kejadian itu saja membuatnya takut.
"Terus sekarang gimana?"
"Seperti yang kamu lihat, aku berantakan sejak gak sama mereka." Perpisahan mereka adalah hari dimana semua ini di mulai. Dia hidup seperti sekarang karena satu hari yang membuatnya merasa di titik terendah.
Mungkin, bukan hanya dia yang sakit, ada banyak pihak yang merasakan yang sama.
"Kalau kaya gitu, aku bakal susun ulang semua yang berantakan." Dasa tersenyum lebar, dia menatap Sadha cukup lama sebelum mengusap bahu lelaki itu beberapa kali. "Jangan ragu buat cerita, aku siap dengar, kok."
Sadha bergeming. Ini adalah moment yang paling dia tunggu selama ini, tetapi rasanya sedikit berbeda. Gadis di depannya bukan orang yang selama ini dia tunggu.
Mungkinkah semuanya akan kembali seperti semula? Tertata dengan rapi dan teratur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silence
Teen Fiction"Hay, apa kabar?" Lelaki itu bertanya tanpa suara pada gadis di depannya. Dia terdiam dan terus menatap ke depan, memerhatikan gadis yang tak ditemuinya hampir satu tahun. "Sangat baik," balas gadis itu dengan senyuman yang mengembang. Sadha terdi...