"Obat, bukan hanya tentang tablet dan kapsul."
*****
"Bu, maaf." Gadis itu berlutut tepat di depan wanita yang baru saja pulang bekerja. Bajunya lusuh dan basah, ributnya terlihat lembab dan berantakan. Wajah pucat itu terlihat berantakan, berbeda sekali dengan saat mereka berpisah.
"Kenapa?" July bertanya dengan nada tenang. Dia pemarah, tetapi melihat putrinya bersujud seperti ini, dia terenyuh. "Dia membuangmu?"
Dasa mendongak, menatap sang Ibu dengan tatapan sedih.
"Seperti yang kamu katakan, hidup dengannya akan tentram dan nyaman. Kamu bisa beli apapun yang kamu mau, kamu tinggal di tempat mewah dan sekolah di sekolah impian." July berhenti sebentar, mengingat apalagi yang dikatakan Dasa saat itu. "Kamu pasti bahagia di sana, Sa."
"Ibu."
"Ibu sambung kamu juga orang baik, dia seorang guru di sekolah menengah kejuruan yang lumayan terkenal. Ramah dan penyayang, dia bisa kasih apa yang ibu gak kasih."
"Bu, tolong." Hari itu, Dasa benar-benar menyesal karena telah berburuk sangka pada ibunya. Dia menangis sampai July ikut menangis.
"Aku bingung harus nyalahin siapa sekarang?" Dirga bertanya saat melihat Dasa yang menangis karena melihat poto July dan Frans yang masih tersimpan rapi di dompet lelaki itu. "Aku udah bilang, Ayah cuma gengsi untuk minta maaf waktu itu dan Bunda datang, mereka tanpa sadar merasa nyaman ."
Remaja itu meringis, mengingat bagaimana kisah cinta rumit kedua orang tuanya.
"Ayah salah mengartikan rasa nyaman dengan cinta, ditambah Ibu saat itu keras kepala. Mereka merasa benar," jelas Dirga setelah mengerti bagaimana alur cerita Frans, July dan Risa. "Bunda juga salah, dia tak seharusnya jatuh cinta pada orang yang belum selesai dengan masa lalunya."
"Kenapa harus kaya gini?" Dasa bergumam pelan, dia kecewa pada Ayahnya yang tanpa sadar menciptakan luka pada banyak orang. Ibunya, bunda, Dea, Dirga dan dirinya. Semua merasakan hal yang sama dengan porsi yang berbeda.
"Bunda udah gak ada, Sa. Dia udah nyerah lebih dulu sama keadaan," balas Dirga. "Dia udah lelah pura-pura kuat di depan Ayah yang dipikirannya bukan dia."
Pikiran yang sedang kalut dipaksa untuk berpikir hanya akan menimbulkan masalah baru. Menghindar juga bukan cara menyelesaikan masalah yang benar. Seharusnya, mereka memperbaiki komunikasi yang mulai renggang, agar pikiran keduanya saling tersalurkan.
Namun, baik Frans maupun July sama-sama keras kepala dan merasa benar sendiri. Mereka mengedepankan ego dibanding dengan konsekuensi yang harus mereka dapatkan.
"Kamu mau ketemu Dea?" Walaupun bukan ide yang bagus—karena Dea masih membenci Dirga sampai sekarang. Melihat bagaimana gigihnya Dirga memperbaiki keluarga ini, membuat Dasa juga berpikir, apakah kalau orang tuanya kembali semuanya akan lebih baik?
"Ibu gimana?"
"Tanpa Ibu tau," balas Dasa dengan tak yakin.
*****
"Kak, jangan banyak drama. Aku capek banget seharian ini," ucap Dea saat mereka sampai di taman yang lumayan jauh dari rumah. Dia menatap ke arah Dirga dengan tajam sebelum memalingkan wajah ke samping.
"Kalau Ibu tau, dia pasti kecewa sama kita."
"Dea, ini bukan salah Dirga." Dasa menatap adiknya yang baru saja masuk SMP ini. Dia tumbuh dengan baik walaupun mungkin hatinya sudah hancur berantakan. Sekarang, tinggi mereka hampir sama dan sering kali berbagi pakaian.
"Iya." Dea sudah sangat lelah dengan drama ini, dia sudah tak ingin tahu lagi. Dia tak peduli dan berusaha untuk tak memikirkannya lagi. Namun, dengan hadirnya sosok ini, Dea menjadi ingat dengan apa yang dia alami selama ini. Semuanya karena lelaki ini.
"Kalian harus bicara," ucap Dasa berharap kedua adiknya ini bisa akur.
Setelah memastikan keduanya bicara dengan kepala dingin, Dasa pulang dengan jalan kaki. Dia tak perlu khawatir dengan Dea karena pasti Dirga mengantarnya pulang.
"Lagi apa di sini?"
"Kak Sadha ngapain di sini?" Dasa bertanya balik dan menatap Sadha dengan wajah terkejut. Tatapannya beralih ke belakang, berharap. Sadha tak melihat dia dan Dirga.
"Kenapa balik tanya?" Sadha mengulurkan keripik kentang yang semula dia beli di supermarket ke arah Dasa. "Kamu ngapain di sini?"
"Jalan-jalan," balas Dasa sembari menghindari tatapan Sadha. Namun, pandangannya salah fokus pada satu hal. "Ya ampun! Kening kamu berdarah!"
Dasa sedikit berteriak dan menyibak rambut Sadha yang mengenai luka di keningnya. Gadis itu meringis, melihat luka itu masih terlihat basah. "Kak?"
"Gak papa, ini masalah kecil," balas Sadha sembari tersenyum dan memegang tangan Dasa dengan lembut, menurunkannya. "Aku harus pulang cepet, ini udah ma—
"Kali ini siapa lagi?" potong Dasa setelah melihat beberapa luka lainnya saat mereka tak sengaja berdiri di bawah lampu jalan. Dia menarik napas pelan, berharap kobaran api emosi segera reda. "Ayo, aku obatin dulu."
Mereka menepi, duduk di trotoar. Dengan mengandalkan cahaya yang seadanya, Dasa membersihkan luka Sadha dengan tisu yang dibasahi air mineral. "Kenapa gak beli obat merahnya sekalian?"
"Aku punya di rumah," balas Sadha seadanya. Dia tersenyum saat melihat Dasa yang sangat khawatir. "Sa, aku mau cerita banyak sama kamu. Tapi aku belum siap, aku takut kamu pergi kaya mereka."
"Sabrina selalu cantik seperti biasa," puji Sadha saat gadis itu turun dari panggung. Dia menerima uluran tangan Sadha dan memeluk tubuh tinggi itu dengan erat.
"Aku deg-degan parah, Dip." Gadis itu mengusap air mata yang ditahan sejak tadi, dia tak bisa mengatakan apa-apa lagi. Rasanya sangat bangga mengingat dia sudah berjuang banyak untuk bisa berdiri di panggung ini.
"Kamu perfect." Suara lain terdengar, membuat Sabrina melepaskan pelukannya pada Sadha dan beralih pada remaja lainnya.
"Kak Bian."
"Selamat, kamu berhasil berdiri di sana dengan percaya diri. Penampilan kamu sangat bagus, Sab." Abrian tak berbohong, dia sangat kagum dengan penampilan Sabrina barusan.
Rasa lelah berlatih hampir satu bulan penuh terbalas, kali ini hanya tinggal menunggu pengumuman juara besok.
"Ini berkat kalian!"
Sadha mengembuskan napas pelan, nyatanya dia belum bisa berbagi apapun pada Dasa. Dia terlalu takut dengan akhir yang sama. Dia sudah cukup senang dengan kehadiran gadis ini.
"Kenapa diem aja?" tanya Dasa yang sejak tadi menunggu Sadha bercerita. Namun, lelaki itu menggeleng dengan senyuman yang terbit dari bibirnya.
Hadirnya Dasa sedikit membuatnya percaya diri dan kuat, dia bahkan sudah mulai terbiasa dengan suara, wangi dan tingkah gadis itu.
"Gak jadi," balas Sadha yang membuat Dasa memukul pundaknya pelan.
"Nyebelin!"
Malam itu, Dasa kembali menghabiskan setengah malamnya bersama Sadha. Mereka bercanda tanpa beban sembari membersihkan luka di tubuh Sadha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silence
Teen Fiction"Hay, apa kabar?" Lelaki itu bertanya tanpa suara pada gadis di depannya. Dia terdiam dan terus menatap ke depan, memerhatikan gadis yang tak ditemuinya hampir satu tahun. "Sangat baik," balas gadis itu dengan senyuman yang mengembang. Sadha terdi...