II

29 1 0
                                    


Seminggu lebih kemudian, tibalah hari yang dinanti. Sedari pagi ruang Aula Kesenian SMA Bahastara sudah dipenuhi penonton─siswa dari semua kelas─yang antusias. Acara dimulai sejak pagi dengan meriah. Masing-masing kelas maju menampilkan drama mereka dengan tema dan kisah yang bermacam-macam. Ada total tiga belas peserta terdaftar dari dua belas kelas. Seluruhnya mementaskan drama dengan gaya dan keunikan masing-masing. Mulai dari kisah kolosal zaman kerajaan; kisah anak sekolah; kisah dunia kerja; kisah fiksi ilmiah; sampai kisah percintaan remaja. Beraneka kelucuan, keseruan, dan kejadian unik tercipta sepanjang acara. Beberapa penampilan bergenre komedi berhasil mengocok perut penonton, sebagian lagi yang membawakan kisah sedih atau menegangkan sukses membawa emosi penontonnya turun naik. Tim peserta silih berganti menaiki panggung menampilkan aksi terbaik mereka. Sehingga tibalah giliran tim perwakilan dari kelas XII Mipa 2. Sesuai kesepakatan mereka minggu lalu, mereka mengirim dua tim drama. Tim Via dan rekan-rekan dengan kisah Korea-nya, lalu Tim Sasmi dengan kerarifan lokal dan bahasa Indonesia-nya. Sejak hari mereka bersepakat tentang itu, kedua tim terbentuk dengan cepat. Mereka langsung menggarap penampilan dengan baik. Terus latihan berhari-hari dengan serius, penuh semangat dan antusiasme. Menyempurnakan penampilan, tak mau kalah satu dengan yang lain. Sehingga sampailah pada hari pembuktian.

Kebetulan, Tim Via mendapat urutan tampil lebih dulu dari Tim Sasmi. Mereka naik ke atas panggung, dan mulailah memainkan kisah mereka. Drama mereka berkisah tentang seorang pemuda Korea Selatan yang tersesat di Indonesia saat ingin bertemu seorang teman pena. Alih-alih bertemu dengan teman penanya, si pemuda Korea malah tak sengaja bersua gadis kota–seorang Kpopers–yang terobsesi dengan idol Korea. Bertemu dengan pemuda itu, membuat si gadis langsung tergila-gila karena ketampanannya, menyangka pemuda tersebut adalah idol Korea kesayangannya–meskipun sebenarnya bukan dan hanya mirip saja–, ia begitu tak menyangka seakan mimpi mustahilnya menjadi nyata. Karena obsesinya–dan keyakinan tanpa dasar bahwa si pemuda Korea adalah jodohnya–ia terus mengikuti si Oppa Korea. Gadis itu melakukan banyak cara agar ia terus bersama Oppa-nya.

Via dan rekan-rekan tampil dengan apik. Selain penampilan dan tema yang tidak biasa, mereka juga menyajikan musik pengiring yang tentu menggunakan lagu Korea yang sedang ramai didengarkan. Sesuai ekspektasi, penampilan mereka mencuri perhatian seisi ruangan, bukan-bukan, seisi sekolah. Sukses mengumpulkan para pencinta Korea. Visi Via benar-benar berhasil dengan apa mereka tampilkan. Teriakan histeris dari kaum penggila Korea tak dapat dikira-kira lagi. Saat drama selesai ditampilkan, mereka mendapat tepuk tangan yang lebih meriah dibanding penampil-penampil sebelumnya.

Tak mau kalah, tim Sasmi pun tampil dengan sama baik pula. Saat tiba giliran mereka, majulah mereka dengan semangat yang tak diragukan. Mereka membawakan kisah dengan tema nasionalisme yang tidak gagal membuat kagum para penonton dan juri. Ceritanya sederhana, yakni seorang anak sekolah menengah pertama yang punya keinginan kecil menonton pertunjukan kesenian tradisional daerah yang sudah lama hilang dan tak pernah ditampilkan lagi. Seni tradisional itu dulunya adalah kegemarannya saat kecil. Namun, seiring waktu berjalan hilang begitu saja saat ia tumbuh remaja. Oleh karena itu, si anak bertekad untuk mempelajarinya dari sumber mana pun, termasuk mendatangi desa adat untuk bertanya dan belajar langsung pada tetua dan pemuka budaya. Setelah memahami dan mendapat ilmu yang cukup. Si anak berkeinginan mengadakan penampilan kesenian tradisional tersebut, tapi malang ia tak mendapat dukungan. Ia justru dicemooh teman-temannya, dicap norak karena keinginannya tersebut. Akan tetapi, ia tak mundur. Dengan perjuangannya, ia justru membuktikan bahwa ia mampu membangkitkan seni tradisional yang pernah hilang itu. Teguh pada kecintaan pada budaya lokal, di era teman sebayanya yang memilih budaya modern dan bahkan asing. Sasmi mengangkat kisah ini bukan tanpa sebab. Tentu berangkat dari prinsip teguhnya membawa budaya tradisional di era budaya asing yang bertebaran. Kisah itu juga sekaligus sentilan bagi tim drama yang memilih unsur negara lain. Bahkan Sasmi secara terang-terangan menyisipkan dialog bernada sindiran tajam yang tertuju langsung pada rival sekelasnya, Via. Pada suatu adegan, si anak kecil berargumen untuk membalas cemoohan temannya dengan berkata, "Hah, dasar pemuda makan sumpah. Sumpahnya menjunjung tinggi bahasa persatuan, eh bahasa sendiri kok dikesampingkan!"

Kita Ini IndonesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang