chap dua

61 9 7
                                    


— — —
semesta
— — —

"Oh iya kita belum berkenalan, perkenalkan aku Sabrina Septiana, kau bisa memanggilku Sabrina."

Pemuda di hadapannya mendongak, menatap mata indah rubah itu dengan seksama. Sebuah mata sipit yang penuh oleh pancaran cahaya manis. Ia tak pernah melihat itu sebelumnya. Ini adalah pertama kalinya ia menatap sang penolongnya. Ia tak tahu jika yang menolongny adalah seorang yang mungkin seusianya dan memiliki paras cantik, imut manis, dan rupawan.

Wajah di hadapannya menyuguhkan sebuah senyum indah. Senyuman manis yang penuh ketulusan. Senyum yang sudah lama tak pernah ia lihat.

Setelahnya si pemuda dengan perlahan menerima uluran tangan itu. Menjabatnya singkat dan kembali menunduk. Tak penting juga untuk berlama lama berkenalan. Toh nantinya ia juga akan pergi meninggalkannya.

Sementara itu Sabrina yang tengah berdiri di depannya merasa lega. Akhirnya ia bisa berkenalan dan dia mau menerimanya.

"Makasih sekarang kau mau menerimaku, aku harap kita bisa berteman ya?"

Lagi lagi hanya anggukan yang ia dapat, sebuah anggukan singkat yang terlihat begitu ragu. Akankah pemuda di hadapannya masih sulit menerima seseorang baru yang akan muncul dihidupnya?

"Terima kasih.. aku berjanji akan menjadi teman yang baik untukmu."

"Tak perlu, janganlah berjanji untuk sesuatu yang tak kau tahu bagaimana nanti nasib kedepannya."

Hatinya seketika tertegun, omongan singkat itu membuatnya terjatuh. Kalimat singkat yang sangat menyayat hati. Sebuah fakta yang memang kita tidak akan tahu bagaimana kedepannya.

Tapi Sabrina tetap berharap, apa salahnya kembali mencoba? Siapa tahu kini semesta ingin membalik keadaannya.

"Haha, kau benar.. tapi bukankah selama ini semesta seakan mengatakan jika kita akan menjadi teman dekat? Karena entah bagaimana semesta bisa mempertemukan kita dengan tidak terduga. Jadi apa salahnya mencoba?"

"Tidak, semesta hanya ingin mengingatkanku tentang seseorang dan kepergian. Karena jika kau lupa kita adalah manusia biasa, tidak ada yang tahu kapan kita akan berpisah."

Lagi dan lagi.. kalimatnya terbantahkan. Mengapa pemuda di hadapannya bisa selalu mengatakan sebuah fakta tentang perpisahan? Sebenarnya seberapa banyak ia mengalaminya?

"Kau benar lagi, tapi tak apa. Aku percaya kalau sekarang beda."

Pemuda itu akhirnya berdiri. Badan tingginya kini berdiri dengan tegap. Kemudian wajahnya menatap Sabrina dengan lekat dan tajam. Sabrina sedikit takut akan tatapan mata itu, sebuah tatapan yang penuh dengan emosi yang tak diketahui. Matanya berlinang dan sedikit menunjukkan amarah, kesedihan dan putus asa. Deru nafasnya tak beraturan.

Kini Sabrinapun menunduk menghindari tatapannya, kemudian beralih fokus pada gelang yang melingkar di tangannya. Gelang bewarna hitam yang di tengahnya berisi tulisan 'Satria'. Akankah itu namanya?

"Jadi apakah namamu Satria?"

"Tidak, namaku Satya. Bukan Satria, aku mohon jangan pernah memanggilku dengan nama Satria."

Setelahnya pemuda bernama Satya itu berlalu meninggalkan Sabrina yang masih berdiri di tempat memandang ke arah bawah.

Satya terus berjalan pergi keluar dari kamarnya. Kemudian berhenti sesaat di ambang pintu, kembali menoleh ke belakangnya. Menatap Sabrina kembali dan berkata

"Lebih baik kau segera pulang, bukankah aku sendiri yang bilang jika hari ini kau punya banyak kesibukan?"

"Baiklah, tapi aku harap kita tetap bisa berteman ya?" Ucap Sabrina sedikit nanar menahan air mata yang ingin turun dengan derasnya.

"Entahlah, tapi jika memang semesta ingin membuat takdir seperti yang kau katakan. Kau pasti bisa membuktikannya?"

Tak sanggup lagi Sabrina menahan, air matanya turun membasahi pipinya. Ia kemudian mengangguk dan berkata

"Tentu, akan ku buktikan kita akan berteman. Dan akan ku pastikan sekarang semesta akan berpihak padamu di masa mendatang."

"Baiklah, aku harap itu terjadi sebelum perpisahan benar benar memisahkan kita."

Lagi dan lagi, perpisahan keluar dari mulutnya. Ia pun kembali melanjutkan jalannya. Membiarkan sabrina yang masih berdiri menangis di sana.

'semesta, aku berdoa dan berharap agar selanjutnya kau memihak padanya. aku harap aku dan dia akan berteman, agar ia tahu bahwa kau tidaklah sekejam yang dia pikirkan.' -ucap Sabrina dalam hati

_ ._ ._

Sementara itu di sisi lain, Satya tengah berjalan tak tentu arah. Berjalan menyusuri lorong rumah sakit jiwa. Disekitarnya banyak sekali manusia yang tengah tertawa, entah tertawa dengan siapa. Mungkin saja ia memiliki teman yang tak terlihat oleh mata.

Jujur mengapa Tuhan menciptakan manusia dengan penuh rahasia? Mengapa semesta bekerja penuh dengan kejutan yang tak terhingga?

Sebuah kejadian tak disangka kembali muncul di hidup Satya, setelah kepergian seseorang yang tersayang. Ia kembali bertemu dengan seorang baru, seseorang yang tak dikenalnya yang selalu mencoba untuk menggagalkan misinya bertemu dengan orang yang dia sayangi di alam sana.

Dan juga bagaimana bisa Minggu kemarin tiba tiba ia bermimpi. Bertemu ibu yang sedang berbincang dengan orang itu. Seseorang yang baru saja berkenalan dengannya. Seseorang yang bernama Sabrina.

Saat di mimpi ibunda sangat senang dengan Sabrina, ia mengenalkan Sabrina kepadanya. Dengan senyum merekah sambil berkata

"Anakku sayang, ini adalah Sabrina. Seseorang yang dikirimkan semesta untuk menemanimu hingga di akhir tua."

Satyapun menggeleng pelan. Mencoba menghilangkan akan mimpinya seminggu sebelumya. Mimpi yang seakan nyata. Sebuah mimpi yang tak bisa hilang dari ingatannya. Akankah ini memang pesan dari sang ibunda untuknya yang dikirimkan lewat semesta? Akankah setelah ini dia benar benar merasakan hidup di dunia?

Entahlah, Satya masih belum bisa mempercayainya. Ia masih takut akan skenario dari semesta, karena nyatanya itu semua sakit adanya.

_ ._ ._

TBC

Sorry for typo

And thankyou udah baca

Jangan lupa vote ya ෆ

terenzens_

HAPPY BIRTHDAY || SUNGSUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang