Beruntungnya aku bisa berteman baik dengan manusia seceria dan sesupel Zihan. Meskipun dia perempuan, tapi dia benar-benar pandai berbaur. Membuatnya disenangi banyak orang dan acapkali diusulkan untuk menjadi ketua OSIS. Sayangnya, Zihan selalu menolak usulan itu meski mayoritas anak seangkatanku dan adik kelasku mengenalnya.
Aku berteman dengan Zihan sejak pertama kali aku duduk di bangku kelas satu SMA. Pertemanan kami sudah hampir tiga tahun berjalan. Hingga saat aku menyusun karya tulis ini, waktuku untuk bisa bersama-sama dengan Zihan hanya tinggal setengah tahun lagi. Tidak genap setengah tahun, karena beberapa bulan-bulan ini kami lebih disibukkan dengan persiapan ujian yang akan datang.
Waktu yang semakin menipis membuat setiap keinginan terdorong. Waktunya tidak banyak lagi, jika tidak sekarang, maka kapan lagi?
Mungkin itu yang dipikirkan oleh Mochtar, biasa dipanggil, Moch. Aku tidak begitu mengenalnya, hanya saja dia adalah mantan ketua OSIS. Tentu saja aku pernah mendengar dan melihat wajahnya di atas podium Pembina ketika upacara bendera dilaksanakan.
Moch adalah anak IPS-1. Dia terkenal sebagai orang yang berpikiran politis, kritis dan sedikit anarkis dalam setiap analisisnya. Moch seangkatan denganku dan Zihan. Ia punya kharismanya tersendiri yang membuat orang-orang tak bisa memalingkan pandangannya ketika dia sedang hadir dihadapan kita.
Siang itu, saat jam istirahat hendak usai, aku sedang duduk di kursi depan laboratorium kimia. Zihan sedang membagikan angket milikku ke beberapa kelas yang ada di lantai atas. Dia memintaku menunggu saja. Jangan kemana-mana, katanya.
Lima menit aku menunggu, laki-laki dengan pikiran politisnya itu sudah duduk disampingku. Suaranya besar namun rendah. "Zihan kemana?"
Aku menoleh setengah kaget. Manusia dengan hawa keberadaan yang sedikit ini tidak bisa lebih mengejutkanku. "Astaga, kupikir siapa. Zihan?"
"Iya, Zihan, kemana?" tanya Moch lagi.
"Dia lagi ke kelas atas. Kenapa?" Sebetulnya, aku sudah tahu kenapa dia bertanya. Moch sudah lama menyukai Zihan. Meski dia belum pernah membicarakannya, namun aku tahu semua pertanyaannya padaku tidak pernah lepas dari Zihan.
"Aku nanya aja. Biasanya kan kalian barengan," ucap Moch.
"Sebentar lagi juga dia turun. Tunggu aja, mau ketemu?" ucapku.
Moch tak bergeming. Ia menatap anak-anak kelas sebelas yang sedang bermain basket di lapangan.
"Aku tuh sebenernya suka sama si Zihan. Cuman bingung harus gimana," ucapnya tiba-tiba.
Aku sudah tahu itu dari dulu, bodoh. Tanpa diberitahu beginipun, aku bisa mengerti tendensi pria penuh kharisma ini pada Zihan.
"Oh, itu." Aku tersenyum singkat.
Moch melihat ekspresiku. Ia sadar jika perasaannya pada Zihan tidak serahasia itu. "Jangan-jangan lo udah tahu ya?"
Aku mengangguk. "Kentara banget. Lagian tiap nanya kan nanyain dia terus."
Moch menunduk. Ia seperti sudah kalah dalam pertandingan yang belum dimulai. "Bego banget gue. Pasti keliatan banget sih ya."
"Terus kenapa? Bingungnya sebelah mana?" tanyaku.
"Ya kan lo tahu sendiri. Zihan itu baik ke semua orang, kalau gue bilang suka sama dia, nanti gimana coba?"
"Ya gimana ya? Kan yang jawab nanti si Zihan, kalo mau tau jawabannya ya harus tanya dia," jawabku berusaha selogis mungkin.
"Gue takut dia emang baik aja sifatnya. Gak ada maksud lain gitu," ketus Moch sedikit muram.
"Tapi perasaan juga harus disampein ke orangnya kan? Kalo gak disampein ya selamanya jadi angan-angan aja."

KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Ben.
Teen FictionBen adalah siswa yang beruntung. Berteman dengan siswi yang diingini semua laki-laki namun menaruh hati pada siswi yang penuh misteri. Akankah semua seperti yang Ben pikirkan?