2

20 9 16
                                    

Koridor sekolah tampak ramai dibanjiri siswa-siswa yang keluar dari kelasnya masing-masing. Jam pelajaran sudah selesai, aku segera merapikan meja dan memasukkan buku-buku ke dalam tas. Karena hari ini aku tidak pulang bareng Zihan, aku jadi tidak perlu buru-buru.

Gadis periang itu sudah pergi duluan, hari ini dia pertama kali pulang bareng laki-laki lain selain aku. Syukurlah, seenggaknya dia bisa jadi gadis SMA populer pada umumnya. Banyak loh yang mau sama dia, cuman gak tau kenapa dia nyangkutnya sama aku terus. Aneh emang.

Sebelum pulang, aku mau ambil beberapa angket yang udah disebar Zihan tadi siang. Sebenernya udah keambil semua, cuman kurang satu lagi. Ya, puluhan angket yang dititipkan Zihan sama sahabatnya, Inggit.

Sembari berjalan melewati lorong kelas, senyum Inggit terlintas lagi di memori. Kadar riangnya sama besar dengan apa yang dimiliki Zihan. Entah kenapa dari raut wajah dan caranya berbicara sudah bisa membuatku tersenyum.

Aku pun sampai di depan kelas IPA – 6. Masih banyak siswa didalam kelas, mereka seperti sedang mendiskusikan sesuatu. Dengan sedikit gugup, aku mengetuk pintu kelas. Orang-orang sontak melihat ke arahku. Tidak ada orang yang kukenal di kelas itu, selain Inggit, teman Zihan. Banyaknya tatapan orang asing ke arahku membuatku sedikit kurang nyaman. Sembari mataku terus mengedar mencari keberadaan Inggit.

"Cari siapa?" ucap seorang laki-laki menghampiriku.

"Inggitnya, ada?"

"Inggit? Ada apa emang?" Laki – laki didepanku ini tampak ketus menanggapi ucapanku.

"Mau ambil angket aja sih. Gak ada ya?"

"Oh, angket. Dia gak nitip sih, kayaknya diambil," jawab laki-laki itu.

"Kira – kira saya nyarinya kemana ya?"

"Biasanya di ruangan klub debat. Cari aja kesana, kalo gak ada berarti dia udah balik kali."

Akupun mengangguk. "Oke, makasih ya."

***

Debat, gadis riang itu ternyata senang dengan hal – hal seperti itu. Wajahnya yang riang sungguh membuatku tak berpikir dia punya sisi seperti ini. Wajar aja sih, aku juga baru tahu namanya tadi siang. Caranya tersenyum tentu tidak bisa dijadikan landasan karakternya secara keseluruhan.

Aku bahkan tidak tahu di sekolah kami ada kegiatan ekstrakurikuler yang mewadahi orang – orang untuk berdebat. Menurut perkataan laki – laki yang sekelas dengan Inggit tadi, ruangan debat ada di dekat gor.

Tak perlu waktu lama untuk menjangkau ruangan klub debat. Didepan gor yang juga merupakan gedung serbaguna sekolah, ada sebuah ruangan yang didepan pintunya bertuliskan'Klub Debat'. Aku berhenti sejenak didepan pintu. Entah mengapa jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya. Entah karena aku terlalu payah jika bertemu dengan orang asing atau aku memang kurang handal dalam bersenggama.

"Eh, Ben? Kok kesini?" ucap seorang gadis yang keluar dari ruangan klub debat dengan terburu – buru.

"Eh, iya. Itu aku mau ambil angket yang tadi dititipin Zihan," ucapku gugup. Ternyata gadis yang diikat rambutnya seperti ekor kuda yang melambai itu adalah Inggit.

"Iya, aku tuh kelupaan tau! Aduh maafin ya, angketnya ada di tas aku."

"Oh, gitu ya. Gak apa-apa kok," ucapku tersenyum.

"Yaudah sekarang ikut aku aja. Soalnya aku masih simpen tasku dikelas. Sekalian pulang, kamu mau pulang kan?" tanya Inggit dengan matanya yang berbinar seperti biasa.

Aku hanya mengangguk. Beneran deh, ngobrol sama Inggit ini feel-nya sama banget kayak aku ngobrol sama Zihan. Gak bisa nolak dan gak bisa ngelak.

Hello, Ben.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang