6 (Tamat)

50 7 2
                                    

Bu Epo mendesah lega ketika wajah itu menyambutnya dengan senyum begitu ia membuka pintu Bangsal Melati keesokan harinya.

"Bu Epo." Indah merentangkan kedua tangannya begitu Bu Epo masuk dan mendekat. Bu Epo balas merentangkan kedua tangan dan mereka berpelukan. Mereka sama-sama tak kuasa menahan tangis. Mereka berpelukan beberapa saat untuk melampiaskan tangis mereka.

"Saya bener-bener bersyukur masih bisa lihat Mbak Indah di sini," kata Bu Epo setelah pelukan mereka terurai sembari sebelah tangan menggenggam erat tangan Indah dan sebelah tangan lainnya menyusut sisa-sisa air matanya.

Bu Epo tidak berbohong soal perasaannya ini. Bu Epo terus menerus berdoa agar Tuhan tidak mengambil nyawa Indah. Bu Epo benar-benar khawatir ketika Indah sudah tidak lagi berdaya. Bu Epo semula berpikir Indah sudah tiada sehingga alangkah bersyukurnya Bu Epo ketika Indah hanya pingsan dan dia masih bisa melihat wajah Indah di sini, memberikan senyuman untuknya meski dengan beberapa bagian tubuh yang diperban dan sebagian lainnya luka dan memar.

Indah tersenyum. "Alhamdulillah. Saya juga bersyukur masih ada di dunia ini, Bu. Saya berterima kasih sama Bu Epo. Saya sangat berterima kasih karena Bu Epo sudah mencemaskan saya seolah saya adalah anak Bu Epo sendiri. Saya utang budi sama Bu Epo."

Bu Epo mendecak. "Ah, utang budi apa? Enggak ada itu utang budi," tepisnya.

Giliran Indah yang memegang erat tangan Bu Epo. "Beneran, Bu. Kalau Bu Epo enggak ada di sana buat nolongin saya waktu itu, saya pasti sudah di dalam tanah sekarang."

Bu Epo memukul tangan Indah pelan. "Jangan ngomong begitu ah, Mbak. Saya justru merasa bersalah kalau Mbak Indah ngomong gitu." Bu Epo kemudian menundukkan kepalanya.

Indah mengernyit. "Kenapa Bu Epo malah merasa bersalah?" tanyanya.

Bu Epo terdiam sesaat sebelum menjawab dengan pelan. "Karena secara enggak langsung sayalah yang membuat Mbak Indah jadi seperti ini."

Indah mengerutkan kening. "Kok Bu Epo bisa berpikiran seperti itu?"

"Karena saya, kan, yang kasih tahu alamat Mbak Indah ke Mas Wasa. Gara-gara itu, kan, Mas Wasa akhirnya bisa menemukan Mbak Indah. Coba kalau saya waktu itu bilang enggak tahu apa-apa pas dia tanya-tanya soal warga baru di perumahan mungkin dia enggak akan menemukan Mbak Indah sampe sekarang," terang Bu Epo.

Indah tersenyum simpul. "Kalaupun bukan Bu Epo yang bilang pasti dia tetap akan menemukan saya di sana, Bu. Kayaknya dia bisa menemukan saya di sana karena waktu itu kami memang enggak sengaja berpapasan."

"Yang pas di warung nasi seberang itu?"

Indah mengangguk.

"Ya, ya, ya. Saya ingat kalau Mas Wasa memang mengikuti Mbak Indah sehabis dari warung nasi seberang perumahan tapi dia enggak tahu Mbak Indah masuk ke blok mana, jalan apa, dan rumah nomor berapa," sahut Bu Epo.

Indah mengangguk lagi. "Itu kesalahan saya, Bu. Bisa-bisanya saya lengah. Padahal saya sengaja selalu pergi kemana-mana pagi-pagi sekali biar enggak ketahuan dia karena saya tahu dia pasti nyari saya kemanapun karena dia tahu saya enggak akan bisa pergi jauh karena saya bener-bener buta daerah sini."

"Tuh, kan. Saya jadi makin merasa bersalah. Secara enggak langsung saya biang keroknya, kan, kalau gitu. Coba kalau saya enggak kasih alamat itu mungkin semuanya akan berbeda." Bu Epo makin terlihat murung.

Indah tersenyum. "Enggak papa, Bu. Bu Epo enggak usah merasa bersalah gitu. Malah saya jadi enggak enak sendiri."

"Saya melakukan kesalahan dua kali, Mbak, makanya saya merasa bersalah banget."

Bu Epo Si Tukang Kepo (Novelet) | Tamat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang