O2. First Kiss

444 27 1
                                    

Tidak seperti sebelumnya, Andi bangun dari dunia kapuk lebih pagi hari ini. Bila pada akhir pekan Andi biasa santai dan bermalas-malasan di kamar lebih lama, kali ini ia justru sibuk dengan pakaian di dalam lemari. Satu per satu jenis pakaian yang ada di lemari telah berpindah ke atas kasur.

"Ini aja ya?" gumamnya, sembari becermin.

Ketika mengenakan turtleneck warna krem, Andi merasa dirinya tampak lebih dewasa dari usia seharusnya. Tampang wajahnya terlihat bangga, terus memeriksa tampilannya di depan cermin. Ini kali pertama baginya untuk bertemu dengan teman kencan online, jadi ia hendak memberikan yang terbaik.

"Beres. Tinggal ambil duit di atm."

Saat itu masih pukul delapan, dua jam sebelum pertemuannya dengan Derren. Andi tetap berangkat meski merasa masih terlalu pagi. Alasannya? Karena takut kalau nantinya banyak orang yang mengantre di atm dan jalanan mungkin saja padat di akhir pekan.

.

Tungkainya berhenti di depan restoran. Dalam waktu yang singkat, Andi menilik ke arah jam digital pada pergelangan tangannya. Pukul sembilan. Itu artinya masih satu jam lagi.

"Anjirlah gue kepagian."

"Selamat pagi, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?"

'Bukan kak, bapak, tapi tuan–" batin Andi, gelagatnya jadi aneh karena salah tingkah.

"Selamat pagi, Pak. Saya udah reservasi meja jam sepuluh, boleh tunggu di dalem?"

Orang dengan seragam khas pelayan di sana tampak sedikit canggung setelah mendengar pertanyaan Andi. Namun, ia segera mengangguk dan membukakan pintu restoran semakin lebar untuk Andi masuk.

"Atas nama Andi," bisik pelayan itu kepada rekannya yang ada dibalik meja kasir.

"Mari Tuan Andi, saya antar ke meja untuk dua orang," ujar pelayan wanita itu dengan sopan. Senyum pada wajahnya sangat lebar, tapi tampak berwibawa.

Andi melangkahkan kaki mengikuti pelayan wanita itu, menuju ke bagian dalam restoran dan berhenti di sebelah meja persegi dengan dua kursi kayu jati. Kursi itu terlihat berat, tapi pelayan wanita ini dengan mudah menyiapkannya untuk Andi duduk.

"Untuk menu yang kami rekomendasikan hari ini ada prime cut lamb steak, duck with hoisin sauce, and mexican burrito bowl. Mungkin bisa saya bantu untuk pesanannya?"

Dari cara bicara hingga gerakan tangan, pelayan itu benar-benar gesit. Kalimatnya bahkan selesai lebih dulu sebelum Andi membuka halaman pada buku menu.

"Saya order nanti aja, tunggu temen dulu."

"Oh, baik. Bila sudah ingin order, bisa pencet tombol merah di dekat nomor meja ya."

"Iya, terima kasih."

"Terima kasih kembali, saya permisi."

Dibandingkan hanya diam saja –tidak melakukan apa-apa, Andi memilih untuk melihat satu per satu menu di sana. Setidaknya itu dapat membuat dirinya terlihat keren saat Derren datang dan dia sudah tahu mau pesan apa.

Setengah sepuluh. Tersisa setengah jam lagi menuju waktu janjian mereka.

Orang-orang mulai datang memenuhi kursi di sana. Keluarga besar, kolega bisnis, pasangan, mereka semua datang bersama. Tampak akrab satu sama lain, saling berbincang dengan cara yang baik. Hal wajar ketika masuk ke restoran mahal dan punya etika makan yang bagus.

Andi tidak ciut toh dirinya tampan. Ia tetap percaya diri karena hal yang paling penting adalah– ia sudah menarik uang tunai tadi. Jumlahnya setengah dari gajinya bulan ini, baru saja turun kemarin lusa.

PET THE ALPHA | HENXIAOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang