Meneguk secangkir sepi, menikmati kehilangan yang begitu panjang. Sudah sampai mana aku melihat kelap-kelip kembang api yang terbakar di dalam nyeri. Menertawakan semua kepergian yang dalam, mengepul sisa-sisa malam dalam sela-sela kekecewaan. Malam ini adalah puncak dari suatu rasa yang ditinggalkan dengantiba-tiba. Aku mulai memahat sisa kenangan yang terukir sempurna di jantung harapan, merobek semua kata yang mengeja aku dan kamu lalu membakarnya habis-habis bersama air mata. Mungkin benar jika kamu adalah tempat yang hangat untuk semua yang terbakar, dan tempat yang dingin untuk memadamkan rasa. Aku ditertawai oleh semua nyeri yang mulai masuk ke rongga dada, menyisakan isak dan sesak atas hilangnya dirimu di tengah-tengah kasih yang masih tersemai hingga kini. Mungkin benar adanya, jika aku tidak lebih dari sekedar perih, mencintaimu dengan penuh ternyata benar-benar membuat bahagiaku kini tak utuh. Ada yang tak kupunya memang dari dirinya, yaitu hatimu. Hingga perlahan detik mulai tak karuan, semua dingin dalam obrolan membentuk garis bosan, dan perlahan semua tentangku kini kamu lupakan hanya dengan sekejap yang membekas di dalam tangis yang menderas. Kemana lagi aku nanti, mencari bahagia yang pergi dan berlari menemui hatinya. Kemana lagi akan melangkah jika yang kupunya hanya separuh dari semua hati yang patah. Semuanya yang dimulai dengan rapih, dan disudahi dengan pamrih. Cinta yang tak berkesudahan, kita harus benar dipaksa untuk dilepaskan.
"Air mata merayakan lukanya, menyalakan kepergian tanpa ada lagi tempat, untuk berpamitan."
Aku kini berada pada keadaan, ketika semua harus dipaksa tertawa namun hati hancur dengan lukanya. Aku hanya bisa melepaskan, kini. Jika apa yang aku genggam tak ingin dieratkan, jika apa yang aku peluk tak ingin dikuatkan. Aku merayakan beberapa kehilangan dengan malam yang merapalkan dukanya, sepi yang menghardik sunyinya, tidak ada kue atau perjamuan, semua yang kutemui hanya cangkir-cangkir tangis yang mengadu pada takdir untuk tidak terlalu cepat dipertemukan lukanya. Harusnya aku lebih paham ketika kamu memang tidak benar-benar mencintaiku, itu semua terlihat dari gerik canggungmu dan harapan yang masih terikat oleh masa lalu. Harusnya aku juga lebih sadar untuk tidak terlalu cepat-cepat tersasar untuk menemukan jalan keluar dari hati yang mulai dilupakan. Semua peduliku kini hanyalah angin yang dibawa sepinya, tidak ada yang benar-benar bisa merubah dan membangun sedikit tempat di hatimu untuk pulangku. Aku hanyalah tempat yang salah untuk singgah yang kurang tepat. Mungkin aku juga hanyalah ruang untuk menuntaskan sepi yang membawamu bertualang, untuk luka yang diajak berjalan. Aku tidak benar-benar ada di hatimu meski kita pernah bersama. Aku hanya sekejap yang membekas begitu cepat, hanya stasiun yang menjadi tempat atas peralihan lelahmu. Semoga dengan menunggunya, itu sedikit bisa membuatmu lebih jumawa, semoga dengan datangnya lagi di hadirmu bisa membuatmu sedikit lega atas luka yang pernah kamu tumbuhkan di rumahku.
"Semoga perayaan menyambut pulangnya di hatimu, bisa memeriahkan sepi hatimu nanti."
Apakah hadirnya juga menjadi sebab perayaan kehilanganmu. Tidak apa jika itu adalah kado untukmu yang begitu mengesankan dari sekedar persinggahan. Aku, tak apa. Aku kini menanti semua luka untuk benar-benar mengering, untuk semua air yang jatuh bisa menumbuhkan kenangannya. Kita adalah kisah tanpa cerita, sebuah narasi yang hanya terisi jeda di akhirnya. Kita tidak sempat untuk bertukar cerita, kita tidak sempat untuk memulai kisah. Semua yang belum dimulai, usai sebelum semuanya menemukan bahagia. Luka kini lebih cepat untuk memperkenalkan dirinya di hadapanku, melepaskan jemarimu di tengah hadir yang lebih lekas pergi. Terima kasih pernah menjadi suatu kenyataan, bahwa perasaan hanyalah korban dari semua perhatian, hanyalah teman dari suatu kepergian, hanyalah ibu dari suatu kehilangan.
Jika nanti yang tersisa hanya kita berdua, kita sama-sama menyisakan bahagia untuk bekal memenuhi hari tanpa ada lagi lelah yang kamu ceritakan, tanpa ada lagi kesah yang kamu bacakan. Tidak mungkin lagi kita nanti menyisakan sandaran untuk masing-masing pulang yang telah menemukan rumahnya sendiri, tidak lagi kita akan memeluk pelik bersama di tengah riuh badai yang membuat kita jatuh. Semoga dengan pisah, kita bisa menentukan masing-masing arah. Semoga dengan saling pergi, aku tidak berlama-lama disakiti. Walaupun pada akhirnya aku benci kalimat ini, setidaknya semua tentang hilang bisa melegakan masing-masing diri ke arah yang lebih senang. Dan kini apapun hal yang terjadi harus kita rayakan dengan pertemuan, aku menemukan lukanya dan kamu menemukan bahagianya.