Tiap Persinggahan Ada Ribuan Pelajaran

9 1 0
                                    




Senja itu langit cerah berwarna jingga, Zian tertunduk melihat arlojinya yang tengah menunjukkan pukul 17.30. "Masih 15 menit lagi kerete berikutnya datang" ucapnya lirih. Pikiran Zian mengkhawatirkan jika tiba di Bogor lewat waktu Maghrib sedangkan setelahnya dia masih harus mengajar lagi less private. Ya saat ini Zian tengah mencoba kuliah sambil bekerja sebagai guru less private.

Kereta tengah melaju dengan stabil, ditengah padatnya dalam gerbong kereta, entah kenapa ada selintas ingatan masa lalu kala Zian melihat keluar jendela kereta dan melihat seorang anak yang berjualan koran dengan sepedanya tengah menunggu kereta yang sedang lewat.

Zian teringat bagaimana dulu dia berjualan korang untuk menabung supaya bisa kursus robotika, lalu ingatannya melompat lagi ke masa-masa STM-nya, dia teringat ketika akhirnya bisa belajar robotika, ikut kompetisi robotika, membangun ekskul robotika dan bahkan setelah lulus sekolah, untuk menabung mempersiapkan kuliah Zian sempat kerja di tempat kursus Robotika.

"Maa syaa Allah... Ternyata harapan, impian yang diusahakan menjadi do'a paling mujarab" Ucapnya lirih saat tersadar dari lamunannya itu. Tak terasa Ia sudah tiba di stasiun Bogor. Keluar gerbong kereta, Ia lari menuju Mushola, berusaha wudhu dengan sempurna dan sholat dengan berusaha tenang meski dia harus langusng berangkat ke rumah muridnya lagi setelahnya.

***

Zian makin menapaki krisis demi krisis dalam kehidupannya setelah lulus STM. Usahanya untuk bisa kuliah dengan beasiswa tak dapat diraihnya, dia seperti ditampar bahwa nilai di atas kertas dan lembaran-lembaran sertifikatnya tidak sepenuhnya berharga/berarti. Bahkan beasiswa ketika sekolah pun tak pernah kunjung meski dia telah mencoba menjadi siswa berprestasi yang sering mewakili sekolah lomba atau kegiatan apapun itu, bahkan tak jarang Zian menggantikan gurunya mengajar beberapa mata pelajaran tertentu.

"Allah selalu tau jalan yang terbaik buat kita Bang" Itu yang selalu ayahnya ucapkan.

Zian percaya itu, namun terkadang hatinya bimbang dan mempertanyakan "Apa dosaku?" atau "Aku hanya ingin membanggakan orangtuaku, namun kenapa jalanku tak semulus kebanyakan anak-anak lain?", dia terkadang sering terbesit rasa iri kepada anak-anak yang penuh dengan fasilitas dari orangtuanya namun menyia-nyiakan sekolahnya.

***

TIIIING TOOOONG... Zian menekan bell rumah muridnya. Tak lama dibukalah pintunya oleh asisten rumah tangga muridnya.

"Naik ja Kak, Aif ada di atas" ucap asisten rumah tangga itu.

"Siap Mbak"

Lelah yang tadinya terpancar di wajah Zian saat perjalanan, seketika Ia rubah saat tiba di rumah muridnya. Ia sadar, bahwa energi positif bisa memancar dan menular. Meski dalam hatinya ada perasaan gelisah bahwa masih ada "laporan praktikum" menantinya di rumah dan harus selesai besok.

Zian mengajar dengan santai, namun mudah dipahami muridnya. Dulu sempat Ia digantikan seseorang namun ternyata Ia dipanggil lagi karena ternyata cara mengajarnya yang santai namun efektif membuat muridnya nyaman dan ingin diajarnya terus.

Sambil meminum teh hangat, yang terasa begitu nikmat saat melewati kerongkongan lalu terus terasa hangat hingga perutnya, Zian memperhatikan muridnya mengerjakan soal fisikanya.

"Eits, coba cek lagi... Biasakan tulis dulu data yang diketahuinya, karena dari situ kita bisa tahu apa yang dicari dan harus pakai rumus apa. Kalau bingung yang diketahui apa aja, liat satuannya... Kalau ada 'kg' berarti 'massa, kalau ada 'm' berarti 'ketinggian' kalau konstanta gravitasi itu sudah pasti 10 m/s2 kalau tidak dituliskan. Nah kalau data sudah lengkap kan berarti enak nih nyari apa kita bisa tentuin rumusnya". Jelas Zian saat melihat muridnya keliru saat mengerjakan soal.

"Ok Kak..." Jawab muridnya.

Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 21.30 dan waktunya Zian pulang, namun bukan berarti hari itu selesai... Masih ada laporan praktikum kuliahnya yang harus diselesaikan karena besoknya ada praktikum pagi.

***

Kuliah sambil kerja itu, gak semudah yang dibayangkan. Apalagi harus pergi pulang Jakarta-Bogor, kos di Jakarta harganya tinggi sedangkan penghasilan Zian dari mengajar less private dan "kuli proyek" hanya cukup untuk SPP satu semester yang bisa dicicil 3x dan biaya ongkos hari-hari.

Sebelum akhirnya bisa kuliah, Zian gap year selama kurang lebih 2 tahun dan sempat bekerja di lembaga kursus robotika, terus juga belajar dan mencoba jadi seorang triner motivator, pernah bekerja sebagai karyawan di perusahaan travel haji dan umroh dan terakhir sempat mengajar sebagai guru di sebuah home schooling group. Yaa... Dia "si manusia sejuta provesi", dan itu semua dia lakukan untuk bisa kuliah dan membantu orangtuanya. Dia masih percaya dengan mimpinya yang ingin menjadi ahli teknologi, itu mengapa dia rela kuliah di Jakarta dan mengambil jurusan "Teknik Fisika" yang jadi "Ibunya jurusan Teknik" dan jurusan itu hanya ada di 6 kampus di Indonesia, salah satunya di kampus swasta yang dipilih Zian.

"Bang... Aku belum bayar SPP bulan ini, Senin besok udah ujian. Aku mau minta ke ayah tapi kayanya belum ada uang, soalnya kalau ada... Ayah langsung ngasih" Ucap adeknya ketika turun dari motor sebelum masuk gerbang sekolah saat diantar Zian.

"Hmmm, besok ya dek. Abang belum ambil uang, ada tinggal buat beli bensin nanti... Abang kan sekarang ampe kampus naik motor" Jelas Zian.

"Ok bang, makasih ya"

Zian tak ingin adiknya merasakan apa yang dia rasakan dulu. Saat di STM dan harus membiayai diri sendiri, dia meraasakan bagaimana rasanya ketika "nyaris" tidak bisa ikut ujian karena terlambat belum bayar SPP dan kalau bukan karena prestasinya yang sering mewakili sekolah dan beberapa kali menang, hingga akhirnya gurunya sudi menjamin Zian untuk bisa ujian... Mungkin Zian tidak akan bisa ujian.

Zian bersedia membantu orangtuanya membiayai sekolah adiknya sesekali, meskipun... Konsekuensinya adalah, di harus ekstra mengirit atau mencari tambahan untuk bisa menutupi tabungannya yang terpakai untuk biaya SPP adiknya. Zian tak pernah menganggap membayarkan sekolah adiknya itu adalah "nalangin" yang nantinya dia meminta diganti oleh Ayahnya.

Zian mengenang tiap persimpangan perjalanannya dulu di motor saat menuju kampus. "Berusahalah jadi yang terbaik dan jadi seorag ahli pada apa yang kamu kerjakan", "Diluar ketentuan syari'at... Gak pernah ada keputusan yang salah dalam hidup. Yang salah adalah ketika kamu memutuskan sesuatu, namun kamu menyesali akibatnya atau tidak siap dengan segala kensekuensi dibelakan keputusanmu", Pesan-pesan dari Ayahnya selalu membekas dalam diri Zian dan menjadi motivasi tersendiri untuknya.

Kita & ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang