"Kunci kamar?" tanya Angga pada Bondan.
Bondan pun memberikan kunci kepada Angga, dan langsung membawaku ke salah satu kamar di rumah Bondan. Saat Angga membuka kamar tersebut, terlihat kasur yang cukup lebar lengkap dengan tiang di tiap ujung sisinya. Angga kemudian langsung mengunci pintu kembali agar Bondan tidak mengganggu waktu kami berdua.
Perlahan, Angga melepaskan topeng anjing dari wajahku. Setelah lepas, dia menatapku dengan penuh nafsu. Dia juga melepaskan alat penyedot puting yang dipasang oleh Bondan, lalu mengarahkanku untuk duduk di tepian kasur.
Angga pergi membuka laci dan mengambil beberapa tali serta beberapa sex toys. Angga pun menghampiriku, lalu mendaratkan ciumannya di bibirku. Dia kemudian mengikatkan tali yang melilit tubuhku ke tiang yang ada di kasur.
"Ayah siap?"
Tanpa ragu aku pun menjawab, "Ayah siap menerima semua hukuman darimu."
Mendengarnya, Angga terlihat sumringah. Dia lalu mulai mengikat tubuhku dengan tali, dengan susah payah memposisikan diriku untuk duduk berlutut di kasur. Dia lilitkan tali tersebut ke tiang, hingga kini tubuhku susah untuk bergerak.
Angga terlihat sangat puas ketika ayahnya kini terikat di tiang. Dia kemudian meraba-raba tubuhku dengan lembut. Kuperhatikan dia nampaknya terkagum-kagum dengan proporsi tubuhku yang atletis ini.
Angga dengan cekatan menggunakan berbagai alat untuk mempermainkan tubuhku, mulai dari jepitan yang menjalar di sekujur tubuh hingga aksi oral yang intens, mulutnya yang hangat dan lidahnya yang terampil membuat setiap sentuhan terasa mendalam. Sementara itu, tangannya mulai menjelajah ke area yang lebih intim, jari-jarinya dengan lembut menyentuh dan akhirnya masuk ke dalam, menambah sensasi yang semakin intens. Gerakan maju-mundur dari jarinya menyatu dengan rangsangan yang diberikan pada bagian lain tubuhku, menciptakan sebuah paduan yang sulit dijelaskan. Saat mencapai puncak, tubuhku bereaksi spontan, dan Angga, dengan cekatan, menghentikan aksinya tepat pada waktunya, membiarkan pemandangan yang penuh godaan dan sensualitas terpancar dari wajahnya, membuat segalanya terasa lebih menggoda dibandingkan apa pun yang pernah kurasakan sebelumnya.
Setelah dirasa puas, Angga lalu melepaskan tali dan semua jepitan kayu yang ada pada tubuhku. Ruam merah timbul karena kayu tersebut menjepit sangat keras.
"Sudah cukup sampai di sini, nanti kelelahan. Ayah harus beristirahat. Besok kan Ayah harus bangun pagi dan pergi bekerja."
Bukannya senang, aku justru kecewa mendengar perkataan tersebut. Alhasil aku dengan sengaja memancingnya agar tetap melanjutkan hukumannya.
"Yang lelah itu kamu, bukan Ayah. Bilang saja kalau kamu sudah ingin tidur dan tidak ingin melanjutkan. Lemah sekali kamu."
"Tapi...." Aku potong pembicaraannya, "Sudahlah kalau kamu lelah Ayah main dengan Bondan saja."
Aku pun beranjak pergi meninggalkannya namun Angga langsung menarik tubuhku dan membantingku di kasur dan mulai mengikat lengan dan kakiku ke ujung kasur. Dia juga melepaskan baju yang ia kenakan. Tubuh indahnya membuatku sudah tidak sabar lagi menerima hukuman selanjutnya dari Angga.
Dengan nafas menggebu-gebu, Angga berkata, "Ini terakhir kali Angga bertanya. Ayah yakin mau lanjut? Jika lanjut rasanya hukuman yang Angga berikan akan sangat menyakitkan."
"Lanjutkan saja. Ayah akan menerima semua rasa sakit itu," jawabku dengan penuh percaya diri.
Angga melumuri tubuh kami dengan pelumas, membuat semuanya licin, lalu memposisikan tubuhku dengan bantal di bawah pinggul agar lebih terbuka. Dengan suntikan besar tanpa jarum, dia menyuntikkan pelumas ke dalam anusku, diikuti sex toy yang awalnya dimasukkan setengahnya saja, dan mulai memompanya perlahan hingga ukurannya membesar, meregangkan dan menekan semakin keras. Awalnya ada sensasi nikmat, tapi saat sex toy itu semakin besar, rasa sakit mulai menjalar. Aku merintih kesakitan, namun Angga tetap melanjutkan, memompa hingga mencapai ukuran maksimal. Setelah sex toy mengempis, sensasi lega sesaat muncul, tapi kemudian dia memasukkan kembali dan memompa lagi meski aku memohon untuk berhenti, rasa sakit semakin kuat, hingga aku menangis saat dia terus memaksanya keluar dan memasukkan kembali, tanpa henti, menguji batas kesabaranku.
Merasa risih, Angga pun menutup mulutku dengan tangannya. Namun tangan Angga tetap tidak dapat menahan eranganku. Berulang kali aku menyebut namanya dan memohon untuk menghentikan permainannya.
Akhirnya, Angga mulai menjadi tidak mood. Dia segera mengempiskan sex toy tersebut dan kemudian mengeluarkannya dari dalam anusku. Walaupun sudah tidak ada yang bersarang di dalam anusku, aku masih menangis karena aku masih merasakan perih di dalam anusku. Nampaknya anusku robek karena permainan ini.
Tak hanya melepaskan sex toy, Angga juga membersihkan pantatku. Nampaknya dia sudah ingin mengakhiri permainan kali ini.
"Pantas sakit, anusnya berdarah," Angga tertawa kecil melihat anusku yang berdarah.
"Itu kan salahmu, mainnya sadis sekali," jawabku dengan nada marah.
"Lah, kan Ayah yang minta. Ayah juga harus tanggung jawab. Penis Angga belum lemes nih, masih tegang maksimal," ledeknya sambil mengelus-elus di bibir anusku.
"Anus Ayah terasa perih, Ayah sudah tidak kuat," ujarku.
Angga menindih tubuhku dan wajahnya tepat berada di depan wajahku. Aku berusaha menoleh karena ketika melihat ekspresi wajah Angga yang sedang bergairah, hal itu selalu membuatku menjadi ikut bergairah. Dengan tangan manisnya, dia memposisikan wajahku untuk menghadap wajahnya.
"Angga janji kali ini Angga akan bermain lembut. Boleh yah?" pintanya dengan terus menggesekan penisnya ke bibir anusku.
Merasa tak tega, aku akhirnya mengizinkan Angga, dan dia mulai memasukkannya perlahan ke dalam tubuhku, menyuruhku memeluknya erat agar rasa perih berkurang. Sensasi hangat dari dirinya terasa berbeda, lebih intim daripada apa pun yang pernah kualami. Saat gerakan Angga semakin mantap, aku berusaha menyesuaikan, dan meskipun ada sedikit rasa perih, perlahan semuanya terasa lebih nyaman. Kami saling terhubung, hingga Angga memutuskan untuk mengubah posisi ke tepian kasur, melakukan semuanya dengan lembut namun tetap intens. Dengan setiap gerakan, rasa nyaman bercampur dengan intensitas yang terus meningkat, hingga akhirnya Angga mencapai puncaknya, menyelesaikan semuanya dengan tenang dan membiarkan kami berdua menikmati momen itu dalam kehangatan yang mendalam sebelum akhirnya tertidur bersama.
***
Aku, Bondan, dari ruang tamu aku dengan jelas mendengar erangan Pak Sigit. Pasti saat ini anus Pak Sigit sudah robek karena Angga. Ingin sekali ikut gabung mereka, pasti bakal seru jika aku ikut bergabung dengan mereka. Namun pastinya Angga akan melarangku.
"Angga... sudah.... Ayah sudah tidak kuat... rasanya sakit sekali... Arghhhhhhh...."
KNOCK KNOCK, Aku mendengar seseorang mengetuk pintu rumahku.
"Iya tunggu sebentar!"
Aku pun bergegas membukanya. Ternyata itu ayahku baru pulang dari luar negeri. Dia juga nampaknya mendengar suara erangan Pak Sigit.
"Itu siapa? Indah sekali erangannya," Tanya Ayahku.
"Biasa, itu Angga lagi main sama partnernya," Jawabku.
"Angga ada di sini?" Tanyanya sumringah.
"Iya dia ada di sini."
"Waahhhh... sudah cukup lama gak dikencingin Angga. Jadi pengen ngerasain kencing Angga lagi"
"Dia lagi sibuk, sini Bondan kencingin."
to be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Be My Slave, Dad!
General FictionWarning 21+ [Muscle Bottom] Mohon jadi pembaca yang bijak. "Kisah Angga yang jatuh cinta dengan Ayahnya sendiri. Namun Angga memiliki fantasi berupa BDSM. Apakah Ayahnya menerima cinta dari Angga, dan snggup melakukan BDSM dengannya? Semuanya akan d...