Hukuman

87 11 5
                                    

Kini matahari dalam setengah perjalanannya menuju puncak. Suara klakson mobil dan sirine polisi yang bertugas jaga terdengar riuh di tengah kota. Asap abu-abu mengepul ke langit berasal dari kendaraan manusia. Siverra lagi lagi mendengus mengeluh. Memang ya tiada hari manusia tanpa mengeluh.

Siverra, gadis yang malang. Hari ini dia sangat terlambat untuk ke sekolah. Di jam tangannya sudah menunjukkan angka tujuh tepat. Kepalanya tak henti-henti menengok ke kanan dan ke kiri. Harap-harap bus yang biasa ia tumpangi kunjung datang.

Kedua bola mata Siverra melebar tak kala mendapati Griffin Dewanta, teman sekelasnya tengah mengendarai motor Vespa hendak melewati halte dimana ia berada. Siverra tebak pemuda itu juga terlambat seperti dirinya. Siverra tersenyum licik. Tidak ada yang bisa menebak apa yang ada di otak jeniusnya itu.

Namun seperkian detik semua terjadi begitu saja. Suara nyaring bunyi motor yang berhenti mendadak diiringi jeritan kaget orang-orang menjadi bukti aksi kegilaan Siverra Atenzia. Gadis bodoh itu terjun dari trotoar dan menghadang motor Vespa milik Griffin yang beruntungnya bisa berhenti sebelum menabrak tubuh mungil tersebut.

Griffin menghela nafas menatap shock gadis yang merupakan teman kelasnya. "Yang tadi itu bahaya, Siverra. Kamu bodoh apa gila sih?"

"Aku mau numpang ke sekolahan dong, fin." Siverra memegangi stang dan spion motor milik Griffin tak peduli atas pertanyaan yang di lemparnya. Mimik wajah Siverra bahkan di buat se-memelas agak pemuda itu bisa luluh dibuatnya.

"Gadis gila." Griffin merasa speechless pada gadis di depannya ini. Bagaimana bisa dia meminta tumpangan dengan tindakan ekstrim seperti tadi.

"No, i'm not crazy actually."

"Ofc, you are." Griffin mendengus.

Bisik-bisik orang mulai terdengar. Pemuda itu seketika menyadari bahwa orang-orang tengah membicarakan mereka. Terutama gadis gila didepannya ini. Ia segera menarik tangan Siverra menyuruhnya untuk segera naik.

"Helm nya mana?" Tanya Siverra dengan polosnya.

Bodoh. Siapa juga yang niat membawa dua helm ketika awalnya berangkat-pulang sendiri. Griffin menggerutu kesal. Tapi ia tetap merelakan helmnya untuk di gunakan gadis itu. Ia sempat menyenggol pelan kepala Siverra menggunakan helm untuk menyalurkan kekesalannya.

Siverra meringis kecil sambil menerima helm tersebut. Ia mengerucutkan bibirnya mungilnya. "Nggak ikhlas banget sih."

Di sepanjang perjalanan keduanya hanya diam menikmati kebisingan kota. Siverra, gadis paling cerewet yang pernah Griffin temui. Rasanya sangat aneh jika dia tenang seperti air. Ingat kata pepatah, air yang tenang lebih berbahaya daripada ombak di laut. Griffin mencoba melirik melalui kaca spion. Rambut hitam gelombangnya berhembus mengikuti angin. Beberapa helai menutupi wajah Siverra yang entah kenapa terasa berbeda hari ini. Gadis itu sepertinya kurang tidur semalam, terlihat dari warna hitam di bawah matanya. Ketika dia tenang seperti sekarang, dia terlihat polos dan...

...  Lebih cantik?

Griffin segera mengarahkan kembali kaca spion ke jalan. Aneh. Dia bahkan tidak pernah sekalipun berhubungan dengan gadis manapun. Tapi melihat Siverra, rasanya seperti oase di tengah gurun pasir. Bahkan dia lupa kapan terakhir bertindak impulsif seperti hari ini. Bertemu langsung dalam jarak dekat membuatnya tak bisa menahan getaran di dalam hatinya.

"Ini salahmu, Siverra."

Matahari berada diatas dan tersenyum melihat penderitaan dua manusia malang. Satu siswa dan satu siswi tengah berdiri dengan masing masing tangan yang hormat ke arah pusaka negara. Griffin dan Siverra adalah manusia malang yang tengah di berikan hukuman.

"Oh, ayolah, Griffin Dewanta. Aku sudah minta maaf berkali-kali loh."

Semalam Siverra tidak tidur dengan benar. Apalagi kejadian semalam hampir seperti menelannya. Siverra berada diambang kebingungan. Kejadian mengerikan yang terjadj semalam seperti fantasi. Salah satu penyebab dia kesiangan dan berujung terlambat juga karena ini. Banyak kesialan terjadi akhir-akhir ini. Siverra merasa lemah, letih, dan lesu. Tadi pagi gadis itu belum sempat sarapa. Dengan keadaan perut kosong Siverra diharuskan untuk berdiri di bawah sinar matahari.

Siverra mengeluh letih. Baru beberapa saat menjalani aktivitas dan ia sudah berkali-kali mengeluh. Gadis itu mengintip jam tangannya yang kini menunjukkan pukul 8.45 sebentar lagi bell istirahat berbunyi dan hukuman mereka berakhir. Siverra sudah tidak bisa tahan lagi. Ia sudah sangat pusing dan membutuhkan hidrogen yang banyak.

"Kamu nggak apa-apa, Ra?"

Bruk!

Tepat ketika Griffin menanyakan keadaan tiba-tiba saja Siverra ambruk ke samping. Pemuda itu lantas segera bertindak meletakan satu tangannya disela-sela kaki Siverra dan satunya lagi menyanggah bagian leher. Di waktu yang sama bell berbunyi. Siswa-siswi yang menyerbu keluar kelas menangkap keberadaan kedua siswa berbeda gender tersebut. Griffin segera beranjak dengan perasaan tak nyaman karena telah menjadi pusat perhatian.

Griffin terus menunggu. Duduk terdiam diri menatap sosok gadis yang masih tetap terlelap dalam ketidaksadarannya. Jam ke 9 KBM telah terlewati begitu saja tanpa ia ikuti. Beberapa anggota PMR yang bertugas sebenarnya sudah menyuruh pemuda itu untuk kembali ke kelas. Namun dengan kekeh nya ia tetap disana dan menunggu Siverra.

Siverra memiliki kekasih yang juga satu sekolah dengannya tapi beda kelas. Griffin tau fakta tersebut. Tapi ia merasa malas untuk menghubungi kekasih Siverra. Faktor utamanya karena ia tak punya nomor kekasih Siverra dan tidak punya minat untuk mencaritahu.

"Siverra."

Tangannya tertarik untuk mengelus dahi gadis itu. "Aku tak pernah merasa tertarik dengan wanita manapun."

"... Tapi setiap melihatmu, aku seperti Selatan yang bertubrukan dengan Utara."

Griffin menarik kembali tangannya dan menghela nafas berat. "Aku selalu menahan diri untuk tidak melakukan ini."

Griffin mengalihkan pandangan pada benda yang tiba-tiba berkilau di leher Siverra. Liontin berbentuk bintang dengan ukuran unik mengeluarkan sinar keunguan. Ia berdiri mengamati liontin milik Siverra dari kedekatan. Ketika tangannya memegang liontin tersebut lehernya seketika terasa tersengat rasa panas.

Tak menunggu lama Griffin segera keluar dari uks. Entah kemana ia pergi yang jelas setelah kepergiannya Siverra kembali mendapatkan kesadarannya. Gadis itu melihat punggungnya yang dengan tergesa-gesa menghilang dari balik pintu.

"Dia terlihat sibuk." Gumam Siverra memegangi keningnya yang terasa sakit dibagian sebelah saja.

===============

wajib follow
Instagram: @rerenths03

PapillonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang