01 🔵 Cinta Chapter Dua?

131 17 13
                                    

"Tau nggak, sih? Punggung dia tuh seolah ngajak aku buat jadi tulang rusuknya. Senderable banget. Aaa!" Teriakannya menggema seolah hendak berlomba dengan riuhnya kafe siang ini.

"Please, deh, Kay. Nggak usah lebay. Seganteng apa, sih, dia sampe cewek-cewek jadi lebay begini. Capek banget tau, sana-sini topik pembicaraannya dia mulu. Zaman sekarang banyak yang penampilannya alim tapi ujung-ujungnya sama, bikin sakit hati juga." Bukan sekadar opini, melainkan sebuah pernyataan yang telah melewati observasi dengan tersangka sebagai korban diriku sendiri.

"Ketulusan hati nggak terletak di penampilannya. Lagian ini beda, Syafa. Gila kali kamu nggak tertarik sama kaum adam yang satu ini." Kaum adam mana yang bisa membuatku menarik pernyataan bahwa semua kaum adam sama.

"Udah, stop! Nggak bakal ada cinta bodoh chapter dua." Omong kosong sekali cinta tidak membuat yang merasakannya bodoh. Dunia dan cinta seakan indah di matanya sendiri. Sedangkan orang lain menatapnya bodoh dengan mengatasnamakan cinta.

"Bukan cintanya yang bodoh, tapi manusianya," ucapnya santai seraya mengambil kentang goreng milikku. Tidak akan pernah menyatu dua sudut pandang kami yang berbeda. Fiuh! Melarikan diri dari matematika justru beralih pada debat perihal cinta.

"Aku? Bodoh? Kayak kamu pinter aja," sahutku tak terima seraya merapikan dan kembali mengikat rambutku yang tergerai.

"Kamu mati rasa, deh." Aku tidak mengindahkan ucapannya dengan lebih memilih diam.

Sudah hampir enam bulan berlalu, tetapi namanya masih terus saja hangat menjadi topik pembicaraan orang-orang. Semua seakan membosankan semenjak kepindahannya ke sekolahku tepat pada awal kelas dua belas lalu. Orang-orang terlalu hiperbola ketika tengah menceritakan segala tentangnya. Sedangkan aku? Bahkan netraku pun tidak pernah menangkap wajahnya, apalagi untuk membicarakannya. Sungguh tidak tertarik. Seharusnya dia tidak datang.

"Awas, nanti jatuh cinta sama dia!"

"Nggak bakal. Jatuh cinta sama orang yang dikagumi banyak orang itu namanya menjatuhkan diri ke proses menuju sakit hati."

***

Di sudut bumi lain, seorang lelaki berbaju biru dengan sarung hitam tampak duduk dengan menyilangkan kakinya di teras masjid. Senyuman yang tidak kunjung usai terus menghiasi wajah nyaris sempurna dengan lesung pada kedua pipinya. Bahkan matanya yang sipit kini hampir tampak segaris.

Rokok di tangannya terus mengepulkan asap, beradu dengan obrolan-obrolan ringan beberapa laki-laki di hadapannya. Sesekali dia menanggapi, mencoba melepas sekat yang selalu dikaitkan dengan taraf. Padahal, dirinya pun manusia biasa. Tidak perlulah menaruh sekat berlebihan seperti itu. Hanya akan menciptakan kecewa saat ekspektasi orang-orang terhadapnya tak benar adanya.

Para santri yang berlalu-lalang tidak bisa untuk tidak memusatkan atensinya pada kaum adam itu. Matanya yang teduh, senyumnya yang candu, dan lesung pipi yang menambah kadar manis dirinya. Kalau kata lelucon, pabrik gula mah kalah sama senyumannya.

Namun, atensi para santri terhadapnya harus terpatahkan ketika lengkungan bulan sabit pada wajah putih itu menghilang karena seorang wanita dengan abaya hitam dan jilbab abu-abunya yang berjalan menghampiri lelaki itu.

"Assalamu'alaikum, Gus." Wanita itu menyapa seraya menundukkan pandangan.

Sesaat setelah beberapa lelaki di hadapannya ikut membalas salam, lelaki itu pun mengutarakan rasa penasarannya. "Kenapa, Ning?" Tidak biasanya wanita di depannya ini memunculkan diri di hadapannya, terkecuali ada urusan yang teramat mendesak. Meski dulu mereka berdua sangatlah dekat.

"Ditimbali abuya di ndalem, Gus." Sembari terus menunduk wanita itu berucap.

"Saya pamit dulu, Kang. Lanjutin aja ngobrolnya."

Lelaki yang dipanggil gus itu beralih mengangguk dan berterima kasih. Menit selanjutnya dia beranjak, seiring dengan kepergian wanita cantik berabaya hitam itu. Untuk sesaat mereka melangkah bersama meski berjarak hampir satu meter, hingga pada akhirnya mereka melangkah berlawanan arah. Kakinya terus melangkah menuju tempat di mana abuyanya memanggil.

"Sampean mau, Mas?"

"Terserah Abuya aja, yang terbaik buat kula."

Usai mengatakan itu, dirinya menghela napas. Sempat membuat abuya salah paham, mengira dirinya keberatan untuk keputusan itu. Dia pun kembali mengatakan bahwa dirinya tidak apa-apa menuruti perintah abuyanya. Meskipun sebenarnya sedikit berat. Akan tetapi, itu keinginan abuya dan uminya yang telah terlontar semenjak dirinya masih duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah.

"Hari ini Salma buya suruh pulang buat acara haul lusa." Jeda untuk sepersekian detik. "Sampean jemput dia, ya, di pondoknya. Ajak Kang Hilmi sama Ning Khasna sekalian. Tadi buya udah ngomong sama Ning Khasna."

Lelaki berusia hampir setengah abad itu duduk sembari memegang buku di tangan. Walaupun wajahnya sudah tidak semuda dulu, keteduhan tak sirna pada senyuman dan tatapan beliau. Sejenak tampak tersirat kesedihan pada matanya itu. Menatap putranya yang sudah beranjak dewasa.

"Nggih, Buya. Kalau gitu kula samperin Kang Hilmi dulu."

***

"Cepetan dong, Kay! Bentar lagi Asar, nih." Aku menepuk pundak Kayla. Biasanya kecepatan mengendarai motornya seakan mengajakku berpindah dunia. Giliran buru-buru begini malah lelet banget.

"Kayak yang mau salat aja, sih!" Mulutnya. Ada tidak, sih, tempat tukar teman? Minimal yang mulutnya bisa difilter sedikit kalau ngomong. Ya, walaupun apa yang diucapkan dia tadi tidak salah.

"Lewat jam tiga bakal ada pengajian dadakan, nih. Apalagi kamu ngajak aku bolos hari ini. Udah pulang telat, terus besok ada surat panggilan orang tua dari BK, kayaknya namaku bakal dicoret beneran dari kartu keluarga gara-gara kamu." Aku berhasil mengucapkan kalimat-kalimat itu dalam satu tarikan napas.

"Iya, Syafaaa. Berisik, sih. Abis ujan semalem, masih becek, tuh!" Bukannya menambah, dia justru memperlambat kecepatan saat melewati bangunan bercat dominan hijau ini. "Besok pindah tongkrongan ke sini aja nggak, sih, Syaf? Barangkali ada Gus Al-"

Ucapannya menggantung tidak terselesaikan saat sebuah mobil putih tiba-tiba melintas di samping motor yang kami kendarai dan mencipratkan air genangan tepat mengenai kami. "Sialan!" umpatku, "Makanya nggak usah nyebut nama dia."

"Siapa, sih, woy?! Hati-hati dong kalau bawa mobil!" Lagi, aku mengumpatnya.

Hingga seorang lelaki bersarung dan berpeci-tepat seperti lelaki idaman Kayla-turun menghampiri kami. "Maaf, Mbak. Maaf banget saya nggak sengaja," ucapnya tanpa menatap kami. Bukannya menatap lawan bicara, dia justru menatap jalanan yang jelas lebih menarik kami berdua daripada jalanan yang rusak itu.

"Lain kali hati-hati dong, Mas. Kotor nih baju saya. Kalau nggak bisa naik mobil, ya, nggak usah. Mentang-mentang naik mobil terus seenaknya aja. Besok-besok saya beli mobil sepuluh, kalau jalan saya ciprat-cipratin gitu ke masnya, mau?!" cerocosku masih tidak terima.

"Maaf, Mbak. Saya nggak lihat ada genangan air tadi."

"Syafaaa, Kaylaaa. Maaf banget. Maafin, ya, Kang Hilmi nggak sengaja." Seseorang yang turun dari mobil cukup membuatku dan Kayla terkejut.

"Loh, Khasna?"

"Maaf, ya. Baru ngeh kalian."

Siapa lagi di dalam sana? Meskipun tidak jelas, terlihat masih tersisa seseorang di kursi penumpang bagian depan. Hingga akhirnya rasa penasaranku terwakilkan oleh pertanyaan yang terlontar dari mulut Kayla.

"Kamu sama siapa?" tanyanya.

"Ehm ...." Dia menoleh sejenak, lantas menjawab, "Gus Alkaf."

"Maaf, Mbak. Mari selesaikan baik-baik. Saya buru-buru." Seseorang menyembulkan kepala dari jendela mobil. Membuatku sesaat terdiam, seolah banyaknya pertanyaan yang bermunculan dan rasa heranku terjawab detik ini. Dia ... Gus Alkaf? Lelaki yang namanya sering menyapa indra pendengaranku?

BERSAMBUNG

Halo, semuanya. Aku balik bawa cerita baru. Semoga sukaaa. Jangan lupa vote, komen, share yaa. Masukin ke perpus juga biar nggak ketinggalan info update-nya. Semoga bisa bermanfaat, menghibur, dan menemani bulan puasa nanti. Hehe.

Tegal,
15 Maret 2023
@najwawafzh_

Istauda'tukallahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang