“Eh, apaan tuh rame-rame, Kay?”
Atensi Syafa tertarik pada keramaian di sebuah masjid yang berada tidak jauh dari alun-alun kota. Dia sedikit menajamkan pandangan, barangkali dapat menemukan penyebab keramaian itu. Akan tetapi, nihil. Hingga entah dorongan dari mana, ketika seseorang wanita berkerudung berjalan di depannya, tiba-tiba saja Syafa menghentikan wanita itu.
“Mbak, permisi. Maaf, numpang tanya,” ujar Syafa dengan sopan dan berhasil membuat netra Kayla membulat, terkejut bukan main.
“Iya, Mbak. Kenapa?” Wanita berkerudung itu bertanya.
“Itu di masjid sana ada apa, ya, rame-rame?” tanyanya seraya mengarahkan pandangan pada tempat yang dirinya maksud.
“Oh, itu. Lagi ada kajian, Mbak. Udah dari pagi tadi.” Wanita berkerudung itu menjawab seraya tersenyum.
Syafa lantas mengucapkan terima kasih dan wanita berkerudung itu pun melenggang pergi. Dia terdiam untuk sepersekian detik. Netranya terus memandangi masjid tersebut. Kayla yang melihat temannya seperti itu tentu merasa heran. Belum sempat dirinya menanyakan apakah Syafa baik-baik saja, tiba-tiba saja Syafa angkat suara.
“Beli kerudung, yuk!” ajak Syafa dengan antusiasnya.
Lagi, Kayla berhasil dibuat terperangah. Temannya ini tidak sakit, 'kan? Memakai kerudung di sekolah saja rasa ingin melepasnya tinggi sekali lantaran merasa kepanasan. Lalu kini, cuaca siang ini lebih panas berkali lipat.“Seriusan? Kamu ajalah,” tolak Kayla mentah-mentah.
“Ih, ayo. Temenin aku ke kajian.” Syafa, tolong. Lama-lama bola mata Kayla bisa loncat dari tempatnya jika terus terkejut seperti ini.
Kayla meletakkan tangannya di kening Syafa. “Panas,” ucapnya.
“Waras, nih.” Dengan segera Syafa menyingkirkan tangan itu dari keningnya.
“Ayooo, nyari orang yang jual kerudung,” ajak Syafa, lagi. Bahkan kini setengah merengek.
“Keburu selesai kali kajiannya. Lagian denger sendiri, kan, tadi katanya kajiannya udah dari tadi pagi. Ini udah siang, belum nyari penjual kerudung. Baru dapet kerudungnya mereka udah selesai duluan kali, Syaf. Nggak usah ngawur, deh,” omel Kayla mendengar ajakan temannya ini. Selain aneh, juga tidak masuk akal. Seperti bukan Syafa yang dirinya kenal.
“Bakalan nggak keburu beneran kalo kamu ngomel terus, Kaylaaa. Udah ah, ayo buruan!” Syafa menarik tangan Kayla begitu saja. Dengan teramat sangat terpaksa Kayla berjalan, ke manapun arah Syafa menarik tangannya. Sudah seperti anak dan ibu.
Rupanya tidak memakan waktu terlalu lama, Syafa berhasil menemukan tempat penjual kerudung. Untuk mempermudah dirinya yang bahkan memakai kerudung di sekolah hanya saat pelajaran agama saja kemudian melepasnya setelah berganti pelajaran, dia memilih membeli kerudung instan. Satu untuknya dan satu untuk Kayla. Semua Kayla serahkan pada Syafa. Dirinya pasrah.
Setelah berpanas-panasan, akhirnya Syafa dan Kayla berhasil menginjakkan kakinya memasuki masjid. Syafa pikir, di sini sangat sejuk. Nyaman. Dia dan Kayla duduk di paling belakang. Netranya tidak mampu menjangkau siapa pemilik suara itu, tetapi yang pasti perempuan. Hebat sekali. Pengetahuannya luas tentang agama.
Dirinya dengan fokus mendengarkan, sedangkan Kayla terus meminta untuk pulang. Tidak seperti ini rencana awalnya di hari Minggu. Ini sungguh tidak sesuai dengan apa yang Kayla inginkan. Akan tetapi, meninggalkan Syafa sendirian di sini pun rasanya tidak tega. Dia tidak sekejam itu.
Tidak berlangsung lama, kajian itu usai. Syafa menjadi lebih banyak terdiam, seolah merenung selepas mendengar jawaban pengisi kajian ketika ada seseorang yang bertanya. Ya, dia hanya bisa mendengar sesi tanya-jawab dua kali, kemudian selesai.
“Jadi, laki-laki baik untuk perempuan yang baik, ya, Kay?” Begitulah salah satu kalimat yang didengar Syafa saat kajian tadi. Kalimat itu terus terngiang dalam benaknya. Kini mereka berdua sudah berada di rumah Syafa.
Kayla mengangguk. “Udah paham sendiri, 'kan, maksudnya pas kajian tadi?” Kini giliran Syafa yang menganggukkan kepala.
“Tapi kenapa kamu nggak milih jadi baik biar jodohmu baik?” Entah mengapa, terkadang Syafa seperti wanita polos. Padahal membolos sudah hampir menjadi rutinitasnya bersama Kayla.
“Siapa, sih, yang nggak pengin jadi baik, Syaf. Aku juga pengin, tapi kayaknya setan di dalam diriku terlalu kuat, deh. Haha.” Jeda sepersekian detik. Kayla meneguk segelas air putih yang diberikan oleh Syafa beberapa menit lalu.
“Aku lebih milih kalimat jodoh nggak ada yang tau, sih, Syaf. Tadi juga ustazahnya ngomong dan emang ada juga, ‘kan, orang baik tapi nggak ketemu sama yang baik. Barangkali jodohku baik walaupun aku begini banget, nggak jelas, nggak ada baik-baiknya. Ya, walaupun jatuhnya ujian buat dia. Hahaha.” Kayla melanjutkan dan tertawa mengakhiri ucapannya.
“Kalau gus harus banget, ya, sama ning?” tanya Syafa, lagi. Kali ini berhasil membuat Kayla sepenuhnya menghadap kepadanya.
“Umumnya, sih, gitu, Syaf. Tapi nggak menutup kemungkinan juga, sih, sama bukan yang dari kalangan ning. Kayak yang aku ngomong tadi, sih. Jodoh nggak ada yang tau.” Sosok lain dari Kayla pun keluar.
“Tapi berat nggak, sih, menurut kamu, Kay? Pasti dia jauh lebih baik dari segi banyak hal, sedangkan kita gini-gini aja. Keluarga dia juga pasti hebat-hebat banget. Kalau kumpul keluarga juga mungkin bahasanya udah beda lagi. Pasti kerasa banget perbedaannya. Kalau udah minder duluan, apa tetep bisa … bareng?” Panjang lebar Syafa berbicara, tetapi tanggapan Kayla kontra dengan pemikiran dia. Kayla si paling optimis.
“Nggaklah. Kalau udah jodoh mah bisa aja,” sahut Kayla kekeh.
“Tapi tetep bedalah, Kay. Bayangin aja, kamu yang nggak paham agama ternyata sama dia yang paham agama. Dari segi obrolan aja mungkin udah nggak nyambung. Ibarat kamu yang anak tongkrongan sama dia yang anak tongkrongan, kemungkinan besar pasti obrolannya seputar tongkrongan.” Syafa tetap teguh dengan pemikirannya.
“Ya kita ngobrolin hal lain yang nggak menyangkut agama ataupun tongkrongan,” sahut Kayla dengan seenaknya saja. Dia kembali menegak air dalam gelas.
“Ngobrolin hal yang nggak diminati? Hambar banget kali. Kayak begitu seumur hidup. Jelas nggak sefrekuensi. Buat apa ngobrolin hal yang nggak menarik,” cerocos Syafa. Menurutnya Kayla terlalu optimis, atau … dirinya yang terlalu pesimis?
“Buat nambah pengetahuan,” jawab Kayla singkat, padat, dan ngeles.
“Pinter banget ngelesnya,” cibir Syafa. Berdebat dengan Kayla adalah hal yang susah untuk ditaklukkan. Ketika keras kepala bertemu dengan keras kepala. Akan tetapi, Syafa belum menyerah begitu saja dengan pendapatnya.
“Tapi pasti banyak tekanan di kesehariannya, Kay. Bayangin aja saudaranya penghafal Al-Qur’an, sedangkan kita ngafalin pelajarann aja ingetnya pas mau ulangan doang. Selesai ulangan langsung lupa. Masa nggak minder jadi orang yang berbeda. Udah gitu berbedanya nggak baik lagi,” cerocos Syafa, lagi.
“Kamu itu terlalu overthinking. Padahal semuanya tinggal dijalani. Kalau minder, ya, tinggal mencoba memantaskan diri.” Jeda sepersekian detik. “Lagian ini sebenernya siapa yang kamu maksud, sih? Kamu lagi suka sama orang yang beda taraf, ya?”
“Enggak.”
“Oh, aku tau. Kamu suka sama Gus Alkaf, ya?!”
BERSAMBUNG
Halo, semuanya. Terika kasih sudah meluangkan waktunya untuk membaca Istauda'tukallah.
Tegal,
27 Maret 2023
@najwawafzh_
KAMU SEDANG MEMBACA
Istauda'tukallah
Teen FictionIstauda'tukallah. Aku menitipkanmu kepada Allah. Menitipkan segala rasa yang seharusnya tak hadir meski sekadar singgah. Akan tetapi, realitasnya rasa itu menjelma menjadi tuan dalam relung yang telah lama tak bertuan. Gus, mengagumimu layaknya menj...