3

0 0 0
                                    

Deru kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya siang itu cukup padat. Debu-debu beterbangan. Terik matahari seakan ingin membakar kulit. Asap-asap kendaraan yang menyembul dari banyak knalpot tak menyurutkan niat untuk menyudahi aksinya siang itu.

Masih memandangi jalanan. Tak lama, terlihat lelaki yang mengendarai sebuah motor berdiri dihadapannya.

"Naik." Ucapnya sembari membuka helm yang dikenakannya.

"Gak perlu."

"Gue cuma mau minta maaf, bukan mau modusin Lo." Melody tak menggubrisnya.

"Seminggu lagi bakal ada perlombaan matematika, Lo inget? Gue Rajendra, Lo bisa panggil Gue Rajen. Gue juga partner Lo di lomba itu." Ucapnya meyakinkan Melody.

"Melody." Lelaki itu menghembuskan nafasnya. Sudah tau pasti lawan bicaranya ini akan menjawabnya dengan singkat.

"Maaf soal tadi siang, Gue gak bermaksud gitu." Terangnya.

"Iya, Gue maafin." Sejujurnya Melody masih kesal, tapi bagaimana lagi? tak mungkin jika ia berlama-lama kesal seperti itu. Lagi pula, lelaki itu merupakan partnernya di lomba nanti.

"Thanks."

•••

Malam begitu tenang mengiringi keindahan suasana rumah di malam hari, sayup-sayup terdengar suara jangkrik memecah keheningan malam, sesekali suara burung malam terbang penuh harapan. Udara terasa dingin menyegarkan.

Langit cerah dihiasi bintang-bintang bertebaran menemani gagahnya raja malam yang bersinar terang menebar cahaya berkilauan. Nyamuk juga tidak mau kalah, terbang kesana kemari berhamburan mencari hamparan kulit untuk mengobati kehausan.

Malam semakin sunyi. Di langit nan kelam menyembul sebuah sabit sang bulan dalam setengah badannya. Teguh terdiam seakan menantikan takdir sang penguasanya. Tak tampak awan berjalan beriring mengawalnya, hanya sendiri dalam sunyi yang senyap, suara alam diterpa desiran angin melagukan khidmat yang dalam.

Suara angin kembali berdesir lirih menyentuh dedaunan muda yang tampak rapuh, tua sebelum waktunya dan berguguran jatuh ke tanah, tersapu lagi dan terus tersapu oleh si angin malam,  kembali terulang dalam putaran waktu yang terasa semakin sedikit.

Melody selalu duduk di balkon rumah tepat di bawah lampu berwarna jingga. Matanya menatap pekatnya malam bersama alunan suara jangkrik yang bersautan, dan semilir angin malam yang menusuk hingga menyentuh tulang. Teringat masa-masa bahagianya dulu yang kini hanya tinggal kenangan saja.

Sekarang ia tinggal seorang diri. Tak ada lagi canda tawa dari keluarganya. Semua telah lenyap meninggalkan ia seorang diri. Kini Melody hidup dengan sendirian dan kesunyian.

Hanya saja, ingatan mengenai tentang keluarga tak pernah terlupakan dan menjadi hiburan kesunyian untuknya. Ingatan itu menjadi hobi tersendiri baginya disetiap malam sepi.

Detik semakin berlabuh sedang malam semakin sibuk bermain dengan bulan di kala purnama datang. Lamunannya semakin menjadi-jadi ketika pikiran semakin menusuk sukma terdalam batinnya. Meneteskan air mata di setiap tengah malam adalah suatu kebiasaan, di lain sisi untuk melepas beban penatnya.

Melody ingin seperti yang lainnya, mempunyai keluarga yang utuh. Seperti teman-temannya yang selalu bercerita bagaimana menyenangkannya di sekolah kepada orang tuanya. Sedangkan Melody? ia harus bercerita kepada siapa?

Tengah malam menjemput pagi, Melody kembali ke ranjangnya  untuk beristirahat. Sebelum tidur, Melody selalu berdoa bahwa jika menutup mata nanti selalu ada cahaya dari kegelapan dan harapan-harapan indah muncul menjemput mimpi bersama keluarganya.

Melody Terakhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang