Kamar hening bersisa derik jangkrik di pekarangan rumah. Matanya masih menyala, menatap lurus lampu yang tak lagi berpendar. Pikirannya merangkak jauh. Lagi-lagi bergerak menuju masa tiga tahun silam. Melody menghela napas perlahan memejamkan mata.
Pergantian malam dan siang setiap hari selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun tak jua menghilangkan bekas yang sesak di dada. Lekat dan bergumul hingga selalu membuatnya semakin gusar.
Semakin ia memejamkan mata, ingatan itu justru kian meledeknya dengan memutar dirinya dalam bentuk film dokumenter. Kenangan demi kenangan mulai bermunculan.
Bersisa tanda tanya dan rasa bersalah mengungkung dirinya untuk terus ingin meminta maaf entah kepada siapa. Tidak ada jembatan untuk mengirim bahkan sebongkah kata-kata. Lantas, bagaimana? Bicara pada angin? Angin yang katanya membawa salam pada siapa saja itu pun sudah sering menipu.
Lagi-lagi malam panjang harus ia sudahi sebelum dipenggal oleh ingatan sendiri. Lampu yang terang tak lagi berpendar, matanya perlahan menutup malam yang panjang.
•••
Dua hari berlalu, tibalah saatnya Melody dan Rajen mengikuti perlombaan Matematika. Detik-detik pelaksanaan lomba Matematika itu pun berlangsung dengan penuh keyakinan. Keduanya begitu menegangkan bagi mereka.
“Semangat, Lo pasti bisa.” Ucap Rajen menyemangati Melody. Melody tersenyum dan berkata, “Semangat juga, Rajen.”
Keduanya sama-sama mengerjakan dengan serius. Di tengah-tengah keseriusannya, tiba-tiba darah mengalir dari dalam hidungnya. Rajen yang melihat itu pun cepat-cepat menyuruh Melody untuk mendongakkan kepalanya. Rajen merogoh sakunya dan memberikan dua helai tisu kepada Melody. Rajen tampak cemas, ia beberapa kali tidak fokus dan menjaga Melody.
“Gue gapapa, Lo gausa khawatir. Menangin perlombaan ini, ya?” Melody mengucapkan sambil memegang tisu di hidungnya. Rajen menatapnya dalam-dalam dan berkata, “Kalo Lo ga sanggup, bilang sama Gue. Jangan dipaksa.” Ucap Rajen Mengingatkan.
Keringat mulai bercucuran di pelipis wajah keduanya. Setelah melewati masa-masa menegangkan, akhirnya Melody dan Rajen bisa bernapas lega. Melody segera dibawa oleh tim medis untuk mendapatkan pertolongan lebih lanjut. Rajen terus mengikutinya dengan perasaan tidak tenang. Sampai akhirnya Rajen tiba di ruang UGD.
Namun, ada yang lebih menegangkan bagi keduanya, yaitu menunggu pengumuman hasil perlombaan Matematika. Rajen tidak memikirkan hal itu, dipikirannya semoga Melody bisa segera pulih. Rajen merasa bersalah. Harusnya saat pertandingan tadi, ia melarang Melody untuk meneruskan pertandingannya. Ia merutuki kebodohannya yang ia perbuat sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melody Terakhir
Short StoryDi antara potongan dua puluh empat jam sehari, bagiku pagi merupakan waktu yang paling indah. Ketika janji-janji baru timbul seiring embun menggelayut di ujung dedaunan. Ketika harapan-harapan baru merekah bersama kabut yang mengambang di persawahan...