1. Lamaran Ekstrem

145 18 57
                                    

"Kata siapa saya akan menjomlo lebih lama? Saya sudah ada calon, kok. Doain, ya, bentar lagi insyaallah saya akan menikah."

Suasana auditorium Al-Hikam mendadak riuh. Kegiatan seminar motivasi kesantrian yang diisi oleh Neng* Anisa akhirnya berubah haluan. Mereka malah tertarik dengan kisah asmara perempuan berwajah ayu itu akibat celetukannya tadi.

Bagaimana tidak akan riuh? Putri bungsu Kiai Rifki tersebut diketahui baru saja kembali ke Anwarul Huda setelah menyantri sekaligus mengabdi di salah satu pesantren ternama daerah Kediri lebih sepuluh tahun dan belum terdengar kabar bahwa sang pengasuh akan  bermenantu lagi setelah dua tahun yang lalu, Lora* Adnan---kakak kedua Neng Anisa---menikah.

Para santri bahkan beberapa ustazah yang ada di ruang serbaguna Pesantren Al-Hikmah itu mulai menebak-nebak siapa gerangan lelaki beruntung yang mampu menyentuh hati sang putri kebanggaan Pengasuh kelima Anwarul Huda itu.

"Neng, mohon maaf kalau kami lancang. Tapi ini juga gara-gara Neng Anisa sendiri kami jadi kepo. Kalau tidak keberatan, kami boleh tahu siapa gerangan calon pendamping Neng Anisa?" Mbak Fida, salah satu pemandu acara yang duduk di sebelah kiri Neng Anisa mulai menginterogasi.

Tak mau ketinggalan, Mbak Nayla yang menjadi partner Mbak Fida pun menyeletuk, "Apa beliau juga keturunan kiai, Neng?"

Anggukan yang diberikan Neng Anisa memancing rasa ingin tahu semua orang lebih kuat. Mereka menatap antusias Neng Anisa yang tampak makin berseri-seri ketika membahas perihal pendamping hidup.

"Tapi, ada satu hal yang perlu digarisbawahi. Saya akan menikah bukan atas dasar perjodohan oleh orang tua ataupun leluhur seperti kebanyakan yang berlaku dalam keluarga saya terdahulu. Saya sendiri kurang suka konsep seperti itu. Kebetulan saja beliau keturunan kiai, bahkan kami berada dalam garis silsilah yang sama."

Suasana makin panas. Rasa penasaran yang menggelegak dalam diri masing-masing peserta seminar itu seolah-olah membakar ruangan berukuran 10×6 meter itu. Padahal AC berada di mana-mana dan jendela-jendela ruangan sebagian besar terbuka.

"Siapa, Neeeng?" Mbak Fida kian kepo.

"Apa kami semua mengenal beliau?" tambah Mbak Nayla.

Neng Anisa tertawa pelan melihat ekspresi ingin tahu dari kedua santri Al-Hikmah ini.

"Paman Alif, putra dari Mbah Kiai Farhan—saudara sepupunya Mbah Kiai Luthfan kakek saya. Mungkin kalau dibilang terkenal ke seantero Nusantara, belum segitunya. Tapi, bagi anak-anak Majlis Sholawat Ahbabul Musthafa dan Nurul Musthafa, serta para santri Pesantren Anwarul Huda dan At-Tanwir, beliau cukup populer."

Tergurat rasa kagum yang cukup kentara dari wajah ayu Neng Anisa kala menyampaikan perihal Lora Alif.

"Santri-santri di sini mungkin ada yang tahu dengan salah satu vokalis AM? Soalnya setahu saya beliau yang paling menonjol."

Para santri makin gaduh setelah Neng Anisa menyebut kata "vokalis" dan "menonjol".

Seperti biasa, ketika ada grup banjari yang diundang oleh pihak Al-Hikmah untuk mengisi acara di sana, pasti ada satu dua personel yang akan nenjadi sorotan. Dan peran sebagai vokalis kerap menjadi pusat perhatian, apalagi ditambah dengan rupa yang "mendukung" dan memiliki status yang cukup dipandang orang. Seperti Gus Azmi Askandar dari Majlis Sholawat Syubbanul Muslimin misalnya.

Karena Grup Banjari Ahbabul Musthafa sempat beberapa kali mengisi kegiatan di Pesantren Al-Hikmah ini, otomatis para santri banyak tahu. Dan ketika Neng Anisa menyinggung perihal lora sekaligus vokalis yang paling menonjol di Ahbabul Musthafa, bisa disimpulkan bahwa mereka akan tertuju kepada lelaki si pemilik wajah manis dengan kulitnya yang agak gelap tetapi perihal suara, jangan ditanya.

Validasi (Mahabbah sang Lora Vokalis) Terbit di AE Publishing √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang