2. Mungkinkah Diterima?

57 10 39
                                    

"Neng, serius selera ajunan* om-om?" Mbak Nayla membekap mulut begitu sadar dengan kalimat yang baru saja dia lontarkan.

Acara seminar baru saja selesai. Biasanya para pemateri yang diundang ke Al-Hikmah tidak peduli unit lembaga mana (mau MTs, MA atau bahkan kelas diniah) yang mengundang, semuanya akan eyatore dha'ar* di dhalem. Mbak Nayla dan Mbak Fida-lah yang bertugas mengantar Ning Anisa ke sana.

Kebetulan Neng Anisa meminta istirahat sejenak di auditorium sebelum ke dhalem, akhirnya Mbak Nayla tidak tahan untuk tidak bertanya perihal itu. Rasa penasarannya sulit dikalahkan ternyata.

Berbeda dengan Mbak Nayla yang masih terlihat tidak enak hati kepada Neng Anisa, ditambah sungkan karena mendapat kode keras berupa pelototan dari Mbak Fida; perempuan yang mendapat pertanyaan malah menutup mulut dengan sebelah tangan, terlihat sekali sedang menahan tawa. Dia sama sekali tidak merasa tersinggung. Membuat Mbak Nayla makin salah tingkah dan Mbak Fida cukup heran dengan responsnya.

Beberapa santri yang bertugas membersihkan auditorium dan membereskan perlengkapan juga ikut merasa heran sekaligus penasaran. Hanya saja, mereka enggan bersuara, semata-mata karena menghormati Neng Anisa dan enggan berurusan dengan dua seniornya.

"Awas ketahuan orangnya, lo, Mbak. Setahu saya beliau aktif di media sosial, apalagi channel-channel YouTube milik pesantren di Kaduara sampai Kertagena dan sekitarnya seperti Al-Hikmah. Pasti beliau nonton."

Neng Anisa tampak begitu gembira melihat raut wajah Mbak Nayla yang sedikit berubah meski hanya sebentar.

"Santai aja, Mbak. Beliau enggak akan marah andai saja tahu. Saya yakin itu. Lagian siaran langsungnya sudah selesai dari tadi. Enggak bisa kerekam, kan, perbincangan kita barusan? Terkecuali di sini ada TST dan ada yang bagikan rekamannya sama Paman Alif, baru ketahuan."

Ekspresi Mbak Nayla kian macam-macam. Tak ayal, Mbak Fida dan Neng Anisa kompak mentertawakannya. Perempuan kurus dengan ciri khas bulu mata lentik itu menggaruk-garuk belakang kepala antara merasa canggung, malu dan konyol.

"Ngomong-ngomong, TST itu apa, Neng?" Setelah cukup lama mentertawakan Mbak Nayla, Mbak Fida buka suara.

"Televisi sirkuit tertutup, Mbak. Bahasa Indonesianya CCTV."

Mbak Fida manggut-manggut.

"Mari kalau mau ke dhalem, Mbak. Sebentar lagi saya akan dijemput sama Pak Parman. Nanti sore soalnya saya ada kelas di diniah."

Neng Anisa bangkit dari tempat duduknya. Dia raih laptop Asus hitamnya, kemudian dimasukkan dalam tas jinjing hitam berlogo Menara Eiffel. Beberapa kertas, pulpen dan ponsel di atas meja juga dimasukkan. Dua santri Al-Hikmah itu pun sudah ikut bangkit. Namun, masing-masing dari keduanya seolah-olah kompak tidak mau melangkah. Membuat Neng Anisa mengernyitkan kening.

"Ada apa, Mbak?"

"Sepertinya kalau ada penobatan juara mengalihkan topik sampai bikin orang lupa ada kejadian apa sebelumnya, Neng Anisa bakal jadi juaranya, deh."

Raut bingung tercetak jelas di wajah Neng Anisa mendengar kalimat Mbak Nayla. Langkah kakinya yang sudah menapak lantai auditorium sampai diayun kembali hingga menginjak tangga pentas. Mata beningnya menatap lekat Mbak Nayla yang sudah bersisian dengan Mbak Fida.

"Tuh, kan. Jawaban saya belum dijawab tadi sama Neng Anisa, lo."

"Oh." Neng Anisa tertawa lagi. "Ya sudah, kalau saya juara mengalihkan perhatian, Mbak Nayla juara mengingatkan orang yang suka mengalihkan perhatian. Salut saya, lo. Ingatan Mbak Nayla kuat banget."

"Neng Anisa Syarifah yang cantik jelita, mohon untuk tidak menjebak saya lagi sehingga saya lupa dengan pertanyaan saya."

"Nanti Mbak Nayla pastikan sendiri aja, ya. Mbak bisa hadir ke acara haflah tahunannya At-Tanwir biar bisa lihat langsung. Atau kalau sudah kepo maksimal, bisa cek di YouTube-nya Ahbabul Musthafa Kertagena. Mari, kita ke dhalem dan maaf saya tidak menjawabnya karena ... sengaja."

Validasi (Mahabbah sang Lora Vokalis) Terbit di AE Publishing √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang